Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 147)
1. Jika kau mendapat pujian, sedangkan kau tidak layak atasnya, pujilah Allah sebagai Dzat yang memang layak menyandangnya.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
KAU TIDAK LAYAK mendapat pujian karena pujian mereka sesungguhnya tidak ada padamu. Orang-orang memujimu karena Allah menutub aib dan celamu itu. Sekiranya bukan karena karunia Allah kepadamu dan tirai-Nya yang menutupi aibmu, niscaya kau tidak layak mendapat pujian tersebut.
Oleh karena itu, etikanya, kau harus memuji Tuhanmu yang memang layak dipuji agar hal itu menjadi kesyukuranmu atas nikmat ditutupnya tirai darimu dan banyaknya lisan yang memuji kendati kau tidak layak mendapatkannya. Oleh sebab itu, jangan tertipu dan terpesona oleh ucapan orang-orang yang memujimu.
(Pasal 148)
2. Jika kaum zuhud mendapat pujian, hati mereka resah karena mereka melihat pujian tersebut berasal dari makhluk. Ketika kaum 'ârif dipuji, hati mereka senang karena mereka melihatnya berasal dari Allah Yang Maha Haq.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
JIKA ORANG-ORANG zuhud dipuji, mereka akan gelisah karena merasa pujian itu dari makhluk, bukan dari Allah. Mereka gelisah karena takut tertipu oleh pujian itu sehingga kedudukan mereka di sisi Allah akan hilang. Sebaliknya, jika orang-orang 'ârif dipuji, mereka akan senang karena merasa bahwa pujian itu dari Allah Yang Maha Haq.
Mereka selalu hadir bersama Tuhannya dan tidak menyaksikan kecuali dzat-Nya. Jika mereka dipuji, mereka menganggap pujian itu dari Allah, karena itu mereka senang dan bahagia. Itu yang membuat tinggi ahwâl dan kedudukannya karena mereka tidak lagi menyadari dirinya sendiri. Dengan demikian, mereka tidak lagi merasa ujub dan tertipu.
Ini sesuai sabda Rasulullah, "Jika seorang mukmin dipuji di hadapannya, keimanan akan bertambah dalam hatinya."
Oleh sebab itu, Ibnu Atha'illah memuji syekhnya, al-Mursi, dan beliau tetap diam. Pada dirinya, pujian itu menduduki tempat yang agung. Seperti itulah yang dialami kaum 'ârif lainnya. Para pemilik maqâm ini, jika dicela dan dihina, mereka tidak akan merasa resah, kecewa, atau sakit hati karena tidak merasa bahwa celaan itu berasal dari orang yang mencelanya.
(Pasal 149)
3. Apabila kau gembira ketika diberi karunia oleh-Nya dan kecewa saat ditolak-Nya, simpulkanlah bahwa itu adalah bukti dari kekanak-kanakanmu dan ketidaktulusan penghambaanmu.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
ITU ADALAH sikap kekanak-kanakanmu di tengah orang-orang yang dekat dengan Allah. Maksudnya, kau masih belum termasuk golongan mereka. Kau hanya ikut-ikutan dalam perkara yang tak layak kau ikuti. Seperti halnya anak-anak yang tidak mempunyai rasa malu mendekati tamu yang belum dikenalnya. Ini juga menjadi bukti ketidaktulusan kepada-Nya.
Saat seseorang merasa sempit karena tidak diberi dan merasa lapang saat diberi, ini pertanda ia masih mempedulikan kepentingan dan maslahatnya. Menurut kaum 'ârif, bekerja untuk mendapatkan kepentingan dan maslahat pribadi bertentangan dengan 'Ubudiyyah. Siapa yang mendapati kondisi itu pada dirinya, hendaknya ia mengerti bahwa 'Ubudiyyah-nya masih belum tulus. Sepatutnya juga ia sadar bahwa ia sedang bersikap kekanak-kanakan di tengah orang-orang yang dekat dengan Allah. Terlebih lagi bila ia mengaku-ngaku memiliki kedudukan seperti mereka, padahal tidak demikian.
Lain halnya jika kekecewaan saat ditolak Allah itu timbul karena ia takut tidak sabar dan takut melawan kuasa Ilahi, akan terjadilah padanya rasa bosan. Lain halnya jika kebahagiaan saat diberi Allah itu terjadi karena ia tidak lagi mengalami rasa takut untuk tidak bersabar. Ini adalah bukti perhatian dam kasih sayang Allah kepadanya karena ia tidak dijerumuskan-Nya ke dalam perkara yang menggangu kondisinya. Ini bukanlah bukti sifat kekanak-kanakan dan ketidaktulusan yang disebutkan di atas. Bagaimana pun, orang-orang 'ârif pasti memiliki sisa-sisa sifat kemanusiaan yang ada pada dirinya. Dengan sisa-sisa sifat itu, mereka mampu bergaul dengan manusia dan makhluk lainnya. Itu adalah kebutuhan manusiawi pada dirinya.
(Pasal 150)
4. Jika kau terjatuh pada dosa, janganlah itu membuatmu putus asa untuk beristiqamah bersama Tuhanmu karena bisa jadi itulah dosa terakhir yang ditetapkan atasmu.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
JIKA KAU MELAKUKAN dosa sesuai dengan maqâm dan kedudukanmu, hal itu jangan sampai membuatmu putus asa dari kelurusan dan keseimbangan ahwâl-mu dengan Tuhanmu, misalnya dengan meyakini bahwa karena timbulnya dosa itu, kau merasa mustahil untuk beristiqamah. Sikap itu akan mendorongmu melakukan dosa lainnya. Ini tentu langkah yang salah karena istiqamah dalam 'Ubudiyyah tidak mesti terhalang oleh perbuatan dosa yang dilakukan akibat lalai dan alpa jika kau telah ditakdirkan untuk itu.
Yang menghalangi istiqamah adalah keinginanmu yang terus-menerus melakukan dosa dan kembali melakukannya lagi. Oleh karena itu, yang wajib bagimu adalah bertobat langsung kepada Tuhanmu dan kembali kepada-Nya, jangan putus asa dari rahmat-Nya. Bisa jadi itu adalah dosa terakhir yang ditetapkan Allah untukmu sehingga setelah itu, Allah akan menerimamu dengan taufik dan kebaikan-Nya.
Ibnu Atha'illah menyinggung satu sebab mengapa kita harus kembali kepada Allah saat melakukan dosa dengan ucapannya:
(Pasal 151)
5. Jika kau ingin dibukakan pintu asa, lihatlah karunia-Nya kepadamu. Namun, jika kau ingin dibukakan pintu takut, lihatlah amal yang kau persembahkan untuk-Nya.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
JIKA KAU INGIN Allah msmbukakan pintu harap untukmu, rasakanlah dalam dirimu kehadiran nikmat-Nya kepadamu, baik yang berupa manfaat maupun perlindungan-Nya dari bahaya, sejak kau masih dalam perut ibumu sampai waktu kau hidup sekarang. Jika kau merasakan hal itu, kau akan di hiasi harapan besar dan tak pernah putus asa dari rahmat-Nya walaupun saat kau terjerumus ke lembah dosa.
Jika kau sudah dikuasai rasa harap dan kau takut hal itu akan membuatmu melanggar perintah Allah, kau akan merasa ingin dibukakan pintu takut kepada-Nya agar bisa menjagamu dari yang kau takutkan. Oleh karena itu, sadarilah apa yang sudah kau berikan kepada-Nya, baik berupa kesalahan, pelanggaran, maksiat, maupun kekurangsopananmu di hadapan-Nya. Jika kau merasakan hal itu, kau akan dikuasai rasa takut kepada-Nya sehingga kau pun akan berhenti melanggar perintah-Nya.
Rasa harap dan takut merupakan dua kondisi yang timbul dari dua kesadaran di atas; kesadaran atas nikmat Allah dan kesadaran atas amal perbuatan yang kau persembahkan kepada-Nya.
(Pasal 152)
6. Boleh jadi Allah memberimu manfaat pada saat malam kesempitan yang tidak kau dapatkan pada saat siang kelapangan. "Kalian tidak mengetahui mana yang lebih bermanfaat bagi kalian." (QS. an-Nisa' [4]: 11)
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
"KESEMPITAN" DIUMPAMAKAN malam hari karena pada kedua keadaan tersebut terdapat kesunyian. "Manfaat" yang dimaksud adalah manfaat ilmu dan pengetahuan. Adapun "Kelapangan" diumpamakan dengan siang hari karena pada kedua kondisi tersebut manusia bertebaran ke seluruh penjuru.
Siapa yang mendapatkan kelapangan maka jiwanya akan bergejolak untuk menampakkan pengetahuan dan hal lain yang dimilikinya. Mungkin ini akan menjadi sebab ia dihijab. Beda halnya dengan orang yang mengalami kesempitan, jiwanya akan lelah dan merasa hina. Ini akan menjadi sebab Allah akan menganugerahinya bermacam kebaikan. Oleh karena itu, orang-orang 'ârif lebih mengutamakan masa sempit daripada masa lapang.
Saat sempit, jiwa tidak memiliki kesenangan dan keuntungan. Ia lebih mampu untuk menunaikan hak-hak Allah dan etika-Nya. Saat sempit, terkadang jiwa juga mengalami ketakutan dan ketidaksabaran dalam melawan kuasa Ilahi. Oleh karena itu, seorang hamba harus sadar dan tahu kadar nikmat Allah kepadanya saat sempit, sebagaimana ia harus mengetahunya saat lapang. Pada dua kondisi itu, ia harus tetap bersandar kepada Tuhannya dan berbaik sangka kepada-Nya karena ia tidak mengetahui mana yang lebih bermanfaat baginya.
Allah swt. berfirman, "Kalian tidak mengetahui mana yang lebih bermanfaat bagi kalian." (QS. an-Nisa' [4]: 11)
(Pasal 153)
7. Tempat terbitnya cahaya Ilahi adalah hati dan relung batin.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
TEMPAT TERBITNYA cahaya maknawi yang berupa bintang-bintang pengetahuan, bulan ilmu, dan matahari tauhid adalah hati dan relung batin. Hati orang 'ârif seumpama langit yang di dalamnya seluruh bintang bersinar.
Cahaya-cahaya maknawi itu lebih terang sinarnya daripada cahaya-cahaya bintang sesungguhnya. Seorang 'ârif berkata, "Jika Allah membukakan tempat-tempat bersinarnya cahaya di hati para wali-Nya, niscaya cahaya matahari dan bulan akan redup oleh pancaran hati mereka. Cahaya matahari dan bulan tak sebanding dengan cahaya hati karena cahaya keduanya masih bisa dihalangi oleh gerhana, selain juga akan tenggelam di malam atau siang hari. Sementara itu, cahaya hati wali Allah tidak pernah tenggelam atau mengalami gerhana.
Asy-Syadzili berkata, "Jika Allah menyingkap cahaya seorang mukmin yang bermaksiat, cahaya itu menyinari semua yang ada di antara langit dan bumi. Lantas, bagaimana halnya dengan cahaya mukmin yang taat?."
Di antara bukti kelembutan Allah untuk seluruh makhluk adalah, Dia tidak menyingkap cahaya-cahaya kaum 'ârif. Al-Mursi berkata, "Jika Allah membukakan hakikat para wali-Nya, niscaya wali-wali itu akan disembah karena sifat-sifat dan watak-wataknya sama dengan sifat-sifat Allah swt."
(Pasal 154)
8. Cahaya yang tersimpan di dalam kalbu bersumber dari cahaya yang datang dari perbendaharaan gaib.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
CAHAYA YANG TERSIMPAN dalam hati disebut nûrul yaqîn (cahaya keyakinan), yaitu yang tersimpan dalam hati orang-orang 'ârif. Cahayanya bertambah terang dengan cahaya sifat-sifat azali yang bersumber dari perbendaharaan gaib. Jika Allah menampakkan diri dan sifat-sifat-Nya kepada mereka, cahaya yang masuk ke dalam hati mereka akan bertambah. Itu adalah bukti perhatian Allah kepada mereka.
Dalam Latha'if al-Minan disebutkan, "Ketahuilah bahwa Allah swt., jika mengangkat seorang wali, Dia akan menjaga hatinya dari segala kebendaan dan menjaganya dengan cahaya-cahaya yang terus meneranginya."
Ibnu Atha'illah mengisyaratkan bahwa cahaya yang tersimpan dalam hati terbagi menjadi dua, sebagaimana dijelaskan hikmah berikut:
(Pasal 155)
9. Ada cahaya yang menyingkap jejak-jejak-Nya dan ada cahaya yang menyingkap sifat-sifat-Nya.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
ADA CAHAYA YANG menyingkap keadaan makhluk-makhluk sehingga ia menyinari ahwâl para hamba dan menyinari yang ada di atas bumi dan di bawah langit. Ini disebut dengan kasyaf shuwari (pengungkapan bentuk). Kasyaf ini tidak dipedulikan oleh para muhaqqiq.
Ada pula cahaya yang menyingkap sifat-sifat Allah swt. dan keindahan-Nya. Cahaya ini tidak akan terlihat, kecuali pada orang-orang yang darinya tampak sifat-sifat Allah. Ini disebut dengan kasyaf maknawi (pengungkapan immateril). Kasyaf inilah yang dicari oleh para muhaqqiq.
Ibnu Atha'illah tidak mengatakan, "Ada cahaya yang menyingkap dzat-Nya," karena penampakan dzat Allah yang murni dan bersih dari sifat-sifat masih menjadi perdebatan di kalangan mereka. Sebagian dari mereka menafikannya. Sebagian lagi membenarkan kemungkinannya.
Syekh Muhyiddin menyebut penampakan dzat Allah yang murni ini dengan bawâriq (kilat) karena ia datang dan hilang dengan cepat, dan manusia tidak sanggup menerimanya dalam waktu lama.
(Pasal 156)
10. Bisa jadi hati terhenti pada cahaya-cahaya, sebagaimana terhijabnya jiwa oleh gelapnya bayang-bayang ciptaan.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
BISA JADI hati tertutup oleh cahaya-cahaya dan terhenti dari perjalanannya menuju Allah, sebagaimana jiwa tertutup oleh tebalnya ciptaan, syahwat, dan kenikmatan sehingga terhalang dari Allah swt.
Hijab yang menghalangi dari Allah itu ada dua macam:
Pertama, hijab yang bersumber dari cahaya, yaitu ilmu dan pengetahuan. Jika hati berhenti padanya, ia akan merasa cukup dengannya dan menjadikannya sebagai tujuan dan maksud.
Kedua, hijab yang bersumber dari kegelapan, yaitu nafsu syahwat dan kebiasaannya. Ia digambarkan dengan ketebalan dan kegelapan karena tidak bisa dihilangkan, kecuali dengan perjuangan dan penderitaan.
(Pasal 157)
11. Dia menutup cahaya batin dengan tebalnya perbuatan lahir untuk memuliakannya, sehingga tidak menjadi murah lantaran mudah terlihat orang dan tidak diseru dengan lisan yang menyebutkan ketenarannya.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
ALLAH MENUTUP cahaya hati para wali-Nya dengan perbuatan lahir mereka dan profesi yang mereka geluti dalam kehidupan sehari-hari karena perbuatan lahir para wali itu dapat menghalangi orang lain untuk melihat cahaya hati mereka. Allah melakukan itu demi memuliakan cahaya batin sehingga tidak murah dan tidak tergoda oleh popularitas karena ia memiliki kedudukan tinggi dan rawan godaan. Allah memuliakannya agar ia tidak diobral karena mudah dilihat. Allah menjaganya dari ketenaran di antara makhluk agar tidak menyebabkannya terhina di tengah mereka. Hal ini sudah dijelaskan Ibnu Atha'illah dalam hikmahnya, "Maha Suci Allah yang telah menutup rahasia keistimewaan dengan ditampakkannya sifat-sifat kemanusiaan."
Allah menutup cahaya dan rahasia keistimewaan itu tak lain sebagai bentuk rahmat dan kasih sayang-Nya kepada kaum mukmin. Hal itu disebabkan, jika rahasia kewalian itu ditampakkan pada seseorang, niscaya orang itu akan dituntut untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang tak mampu dilakukannya. Jika ia kurang dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban itu, ia akan terjebak pada sesuatu yang dilarang.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.