Tampilkan postingan dengan label Kitab Al-Hikam Terjemah/Tasawuf/Buku Pertama/Ibnu Atha'illah al-Iskandari. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kitab Al-Hikam Terjemah/Tasawuf/Buku Pertama/Ibnu Atha'illah al-Iskandari. Tampilkan semua postingan

Jumat, 02 November 2018

Kitab al-Hikam (Pasal 147-157) : Orang Zâhid Merasa Risih dengan Pujian Manusia, Berbeda dengan Orang 'Ârif

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).

(Pasal 147)
1. Jika kau mendapat pujian, sedangkan kau tidak layak atasnya, pujilah Allah sebagai Dzat yang memang layak menyandangnya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KAU TIDAK LAYAK mendapat pujian karena pujian mereka sesungguhnya tidak ada padamu. Orang-orang memujimu karena Allah menutub aib dan celamu itu. Sekiranya bukan karena karunia Allah kepadamu dan tirai-Nya yang menutupi aibmu, niscaya kau tidak layak mendapat pujian tersebut.

Oleh karena itu, etikanya, kau harus memuji Tuhanmu yang memang layak dipuji agar hal itu menjadi kesyukuranmu atas nikmat ditutupnya tirai darimu dan banyaknya lisan yang memuji kendati kau tidak layak mendapatkannya. Oleh sebab itu, jangan tertipu dan terpesona oleh ucapan orang-orang yang memujimu.

(Pasal 148)
2. Jika kaum zuhud mendapat pujian, hati mereka resah karena mereka melihat pujian tersebut berasal dari makhluk. Ketika kaum 'ârif dipuji, hati mereka senang karena mereka melihatnya berasal dari Allah Yang Maha Haq.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

JIKA ORANG-ORANG zuhud dipuji, mereka akan gelisah karena merasa pujian itu dari makhluk, bukan dari Allah. Mereka gelisah karena takut tertipu oleh pujian itu sehingga kedudukan mereka di sisi Allah akan hilang. Sebaliknya, jika orang-orang 'ârif dipuji, mereka akan senang karena merasa bahwa pujian itu dari Allah Yang Maha Haq.

Mereka selalu hadir bersama Tuhannya dan tidak menyaksikan kecuali dzat-Nya. Jika mereka dipuji, mereka menganggap pujian itu dari Allah, karena itu mereka senang dan bahagia. Itu yang membuat tinggi ahwâl dan kedudukannya karena mereka tidak lagi menyadari dirinya sendiri. Dengan demikian, mereka tidak lagi merasa ujub dan tertipu.

Ini sesuai sabda Rasulullah, "Jika seorang mukmin dipuji di hadapannya, keimanan akan bertambah dalam hatinya."

Oleh sebab itu, Ibnu Atha'illah memuji syekhnya, al-Mursi, dan beliau tetap diam. Pada dirinya, pujian itu menduduki tempat yang agung. Seperti itulah yang dialami kaum 'ârif lainnya. Para pemilik maqâm ini, jika dicela dan dihina, mereka tidak akan merasa resah, kecewa, atau sakit hati karena tidak merasa bahwa celaan itu berasal dari orang yang mencelanya.

(Pasal 149)
3. Apabila kau gembira ketika diberi karunia oleh-Nya dan kecewa saat ditolak-Nya, simpulkanlah bahwa itu adalah bukti dari kekanak-kanakanmu dan ketidaktulusan penghambaanmu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ITU ADALAH sikap kekanak-kanakanmu di tengah orang-orang yang dekat dengan Allah. Maksudnya, kau masih belum termasuk golongan mereka. Kau hanya ikut-ikutan dalam perkara yang tak layak kau ikuti. Seperti halnya anak-anak yang tidak mempunyai rasa malu mendekati tamu yang belum dikenalnya. Ini juga menjadi bukti ketidaktulusan kepada-Nya.

Saat seseorang merasa sempit karena tidak diberi dan merasa lapang saat diberi, ini pertanda ia masih mempedulikan kepentingan dan maslahatnya. Menurut kaum 'ârif, bekerja untuk mendapatkan kepentingan dan maslahat pribadi bertentangan dengan 'Ubudiyyah. Siapa yang mendapati kondisi itu pada dirinya, hendaknya ia mengerti bahwa 'Ubudiyyah-nya masih belum tulus. Sepatutnya juga ia sadar bahwa ia sedang bersikap kekanak-kanakan di tengah orang-orang yang dekat dengan Allah. Terlebih lagi bila ia mengaku-ngaku memiliki kedudukan seperti mereka, padahal tidak demikian.

Lain halnya jika kekecewaan saat ditolak Allah itu timbul karena ia takut tidak sabar dan takut melawan kuasa Ilahi, akan terjadilah padanya rasa bosan. Lain halnya jika kebahagiaan saat diberi Allah itu terjadi karena ia tidak lagi mengalami rasa takut untuk tidak bersabar. Ini adalah bukti perhatian dam kasih sayang Allah kepadanya karena ia tidak dijerumuskan-Nya ke dalam perkara yang menggangu kondisinya. Ini bukanlah bukti sifat kekanak-kanakan dan ketidaktulusan yang disebutkan di atas. Bagaimana pun, orang-orang 'ârif pasti memiliki sisa-sisa sifat kemanusiaan yang ada pada dirinya. Dengan sisa-sisa sifat itu, mereka mampu bergaul dengan manusia dan makhluk lainnya. Itu adalah kebutuhan manusiawi pada dirinya.

(Pasal 150)
4. Jika kau terjatuh pada dosa, janganlah itu membuatmu putus asa untuk beristiqamah bersama Tuhanmu karena bisa jadi itulah dosa terakhir yang ditetapkan atasmu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

JIKA KAU MELAKUKAN dosa sesuai dengan maqâm dan kedudukanmu, hal itu jangan sampai membuatmu putus asa dari kelurusan dan keseimbangan ahwâl-mu dengan Tuhanmu, misalnya dengan meyakini bahwa karena timbulnya dosa itu, kau merasa mustahil untuk beristiqamah. Sikap itu akan mendorongmu melakukan dosa lainnya. Ini tentu langkah yang salah karena istiqamah dalam 'Ubudiyyah tidak mesti terhalang oleh perbuatan dosa yang dilakukan akibat lalai dan alpa jika kau telah ditakdirkan untuk itu.

Yang menghalangi istiqamah adalah keinginanmu yang terus-menerus melakukan dosa dan kembali melakukannya lagi. Oleh karena itu, yang wajib bagimu adalah bertobat langsung kepada Tuhanmu dan kembali kepada-Nya, jangan putus asa dari rahmat-Nya. Bisa jadi itu adalah dosa terakhir yang ditetapkan Allah untukmu sehingga setelah itu, Allah akan menerimamu dengan taufik dan kebaikan-Nya.

Ibnu Atha'illah menyinggung satu sebab mengapa kita harus kembali kepada Allah saat melakukan dosa dengan ucapannya:

(Pasal 151)
5. Jika kau ingin dibukakan pintu asa, lihatlah karunia-Nya kepadamu. Namun, jika kau ingin dibukakan pintu takut, lihatlah amal yang kau persembahkan untuk-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

JIKA KAU INGIN Allah msmbukakan pintu harap untukmu, rasakanlah dalam dirimu kehadiran nikmat-Nya kepadamu, baik yang berupa manfaat maupun perlindungan-Nya dari bahaya, sejak kau masih dalam perut ibumu sampai waktu kau hidup sekarang. Jika kau merasakan hal itu, kau akan di hiasi harapan besar dan tak pernah putus asa dari rahmat-Nya walaupun saat kau terjerumus ke lembah dosa.

Jika kau sudah dikuasai rasa harap dan kau takut hal itu akan membuatmu melanggar perintah Allah, kau akan merasa ingin dibukakan pintu takut kepada-Nya agar bisa menjagamu dari yang kau takutkan. Oleh karena itu, sadarilah apa yang sudah kau berikan kepada-Nya, baik berupa kesalahan, pelanggaran, maksiat, maupun kekurangsopananmu di hadapan-Nya. Jika kau merasakan hal itu, kau akan dikuasai rasa takut kepada-Nya sehingga kau pun akan berhenti melanggar perintah-Nya.

Rasa harap dan takut merupakan dua kondisi yang timbul dari dua kesadaran di atas; kesadaran atas nikmat Allah dan kesadaran atas amal perbuatan yang kau persembahkan kepada-Nya.

(Pasal 152)
6. Boleh jadi Allah memberimu manfaat pada saat malam kesempitan yang tidak kau dapatkan pada saat siang kelapangan. "Kalian tidak mengetahui mana yang lebih bermanfaat bagi kalian." (QS. an-Nisa' [4]: 11)

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

"KESEMPITAN" DIUMPAMAKAN malam hari karena pada kedua keadaan tersebut terdapat kesunyian. "Manfaat" yang dimaksud adalah manfaat ilmu dan pengetahuan. Adapun "Kelapangan" diumpamakan dengan siang hari karena pada kedua kondisi tersebut manusia bertebaran ke seluruh penjuru.

Siapa yang mendapatkan kelapangan maka jiwanya akan bergejolak untuk menampakkan pengetahuan dan hal lain yang dimilikinya. Mungkin ini akan menjadi sebab ia dihijab. Beda halnya dengan orang yang mengalami kesempitan, jiwanya akan lelah dan merasa hina. Ini akan menjadi sebab Allah akan menganugerahinya bermacam kebaikan. Oleh karena itu, orang-orang 'ârif lebih mengutamakan masa sempit daripada masa lapang.

Saat sempit, jiwa tidak memiliki kesenangan dan keuntungan. Ia lebih mampu untuk menunaikan hak-hak Allah dan etika-Nya. Saat sempit, terkadang jiwa juga mengalami ketakutan dan ketidaksabaran dalam melawan kuasa Ilahi. Oleh karena itu, seorang hamba harus sadar dan tahu kadar nikmat Allah kepadanya saat sempit, sebagaimana ia harus mengetahunya saat lapang. Pada dua kondisi itu, ia harus tetap bersandar kepada Tuhannya dan berbaik sangka kepada-Nya karena ia tidak mengetahui mana yang lebih bermanfaat baginya.

Allah swt. berfirman, "Kalian tidak mengetahui mana yang lebih bermanfaat bagi kalian." (QS. an-Nisa' [4]: 11)

(Pasal 153)
7. Tempat terbitnya cahaya Ilahi adalah hati dan relung batin.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

TEMPAT TERBITNYA cahaya maknawi yang berupa bintang-bintang pengetahuan, bulan ilmu, dan matahari tauhid adalah hati dan relung batin. Hati orang 'ârif seumpama langit yang di dalamnya seluruh bintang bersinar.

Cahaya-cahaya maknawi itu lebih terang sinarnya daripada cahaya-cahaya bintang sesungguhnya. Seorang 'ârif berkata, "Jika Allah membukakan tempat-tempat bersinarnya cahaya di hati para wali-Nya, niscaya cahaya matahari dan bulan akan redup oleh pancaran hati mereka. Cahaya matahari dan bulan tak sebanding dengan cahaya hati karena cahaya keduanya masih bisa dihalangi oleh gerhana, selain juga akan tenggelam di malam atau siang hari. Sementara itu, cahaya hati wali Allah tidak pernah tenggelam atau mengalami gerhana.

Asy-Syadzili berkata, "Jika Allah menyingkap cahaya seorang mukmin yang bermaksiat, cahaya itu menyinari semua yang ada di antara langit dan bumi. Lantas, bagaimana halnya dengan cahaya mukmin yang taat?."

Di antara bukti kelembutan Allah untuk seluruh makhluk adalah, Dia tidak menyingkap cahaya-cahaya kaum 'ârif. Al-Mursi berkata, "Jika Allah membukakan hakikat para wali-Nya, niscaya wali-wali itu akan disembah karena sifat-sifat dan watak-wataknya sama dengan sifat-sifat Allah swt."

(Pasal 154)
8. Cahaya yang tersimpan di dalam kalbu bersumber dari cahaya yang datang dari perbendaharaan gaib.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

CAHAYA YANG TERSIMPAN dalam hati disebut nûrul yaqîn (cahaya keyakinan), yaitu yang tersimpan dalam hati orang-orang 'ârif. Cahayanya bertambah terang dengan cahaya sifat-sifat azali yang bersumber dari perbendaharaan gaib. Jika Allah menampakkan diri dan sifat-sifat-Nya kepada mereka, cahaya yang masuk ke dalam hati mereka akan bertambah. Itu adalah bukti perhatian Allah kepada mereka.

Dalam Latha'if al-Minan disebutkan, "Ketahuilah bahwa Allah swt., jika mengangkat seorang wali, Dia akan menjaga hatinya dari segala kebendaan dan menjaganya dengan cahaya-cahaya yang terus meneranginya."

Ibnu Atha'illah mengisyaratkan bahwa cahaya yang tersimpan dalam hati terbagi menjadi dua, sebagaimana dijelaskan hikmah berikut:

(Pasal 155)
9. Ada cahaya yang menyingkap jejak-jejak-Nya dan ada cahaya yang menyingkap sifat-sifat-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ADA CAHAYA YANG menyingkap keadaan makhluk-makhluk sehingga ia menyinari ahwâl para hamba dan menyinari yang ada di atas bumi dan di bawah langit. Ini disebut dengan kasyaf shuwari (pengungkapan bentuk). Kasyaf ini tidak dipedulikan oleh para muhaqqiq.

Ada pula cahaya yang menyingkap sifat-sifat Allah swt. dan keindahan-Nya. Cahaya ini tidak akan terlihat, kecuali pada orang-orang yang darinya tampak sifat-sifat Allah. Ini disebut dengan kasyaf maknawi (pengungkapan immateril). Kasyaf inilah yang dicari oleh para muhaqqiq.

Ibnu Atha'illah tidak mengatakan, "Ada cahaya yang menyingkap dzat-Nya," karena penampakan dzat Allah yang murni dan bersih dari sifat-sifat masih menjadi perdebatan di kalangan mereka. Sebagian dari mereka menafikannya. Sebagian lagi membenarkan kemungkinannya.

Syekh Muhyiddin menyebut penampakan dzat Allah yang murni ini dengan bawâriq (kilat) karena ia datang dan hilang dengan cepat, dan manusia tidak sanggup menerimanya dalam waktu lama.

(Pasal 156)
10. Bisa jadi hati terhenti pada cahaya-cahaya, sebagaimana terhijabnya jiwa oleh gelapnya bayang-bayang ciptaan.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

BISA JADI hati tertutup oleh cahaya-cahaya dan terhenti dari perjalanannya menuju Allah, sebagaimana jiwa tertutup oleh tebalnya ciptaan, syahwat, dan kenikmatan sehingga terhalang dari Allah swt.

Hijab yang menghalangi dari Allah itu ada dua macam:

Pertama, hijab yang bersumber dari cahaya, yaitu ilmu dan pengetahuan. Jika hati berhenti padanya, ia akan merasa cukup dengannya dan menjadikannya sebagai tujuan dan maksud.

Kedua, hijab yang bersumber dari kegelapan, yaitu nafsu syahwat dan kebiasaannya. Ia digambarkan dengan ketebalan dan kegelapan karena tidak bisa dihilangkan, kecuali dengan perjuangan dan penderitaan.

(Pasal 157)
11. Dia menutup cahaya batin dengan tebalnya perbuatan lahir untuk memuliakannya, sehingga tidak menjadi murah lantaran mudah terlihat orang dan tidak diseru dengan lisan yang menyebutkan ketenarannya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ALLAH MENUTUP cahaya hati para wali-Nya dengan perbuatan lahir mereka dan profesi yang mereka geluti dalam kehidupan sehari-hari karena perbuatan lahir para wali itu dapat menghalangi orang lain untuk melihat cahaya hati mereka. Allah melakukan itu demi memuliakan cahaya batin sehingga tidak murah dan tidak tergoda oleh popularitas karena ia memiliki kedudukan tinggi dan rawan godaan. Allah memuliakannya agar ia tidak diobral karena mudah dilihat. Allah menjaganya dari ketenaran di antara makhluk agar tidak menyebabkannya terhina di tengah mereka. Hal ini sudah dijelaskan Ibnu Atha'illah dalam hikmahnya, "Maha Suci Allah yang telah menutup rahasia keistimewaan dengan ditampakkannya sifat-sifat kemanusiaan."

Allah menutup cahaya dan rahasia keistimewaan itu tak lain sebagai bentuk rahmat dan kasih sayang-Nya kepada kaum mukmin. Hal itu disebabkan, jika rahasia kewalian itu ditampakkan pada seseorang, niscaya orang itu akan dituntut untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang tak mampu dilakukannya. Jika ia kurang dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban itu, ia akan terjebak pada sesuatu yang dilarang.

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Rabu, 31 Oktober 2018

Kitab al-Hikam (Pasal 141-146) : Segala Sesuatu Tidak Ada, Allah-lah yang Menjadikannya Ada

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).

(Pasal 141)
1. Allah menampakkan segala sesuatu karena Dia Maha Tersembunyi. Dia menutupi keberadaan segala sesuatu karena Dia Maha Tampak.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ALLAH MEMILIKI nama baik "al-Bâthin" (Yang Maha Tersembunyi). Tak satu pun yang dapat menandingi-Nya dalam hal ketersembunyian. Oleh sebab itu, Dia menampakkan segala sesuatu dan membuatnya lahir. Di dalamnya tidak ada lagi yang tersembunyi, kecuali dzat-Nya.

Allah juga memiliki nama baik "az-Zhâhir" (Yang Maha Tampak). Tak satu pun yang menyamai-Nya dalam hal kelahiran. Oleh sebab itu, Dia menutupi wujud segala sesuatu atau tidak membuat selain-Nya berwujud dengan sendirinya. Bahkan, seluruh alam semesta ini tidak berwujud, kecuali karena wujud-Nya.

Lahir bermakna tersembunyinya segala sesuatu selain-Nya sehingga tak satu pun yang menandingi penampakan-Nya. Saat itu, wujud segala sesuatu akan tertutup dan lenyap.

Batin bermakna tampaknya segala sesuatu sehingga tak satu pun yang menandingi ketersembunyian-Nya. Saat itu, wujud segala sesuatu akan tampak dengan wujud-Nya.

Intinya, Allah Yang Maha Haq adalah Dzat Yang Maha Maujud dan tak ada wujud selain-Nya, kecuali secara dependen (mengikuti wujud-Nya).

(Pasal 142)
2. Allah membolehkan dirimu melihat apa yang terdapat di alam, namun tidak mengizinkan dirimu berhenti padanya. Karena itu Dia berkata, "Katakan, perhatikan apa yang terdapat di langit!" bukan berkata, "Perhatikan langit!" agar perhatianmu tidak tertuju ke benda langit.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ALLAH MEMERINTAHKANMU melihat alam semesta sebagai bukti keindahan-Nya atau menyapukan pandangan hatimu ke sana agar kau menyaksikan bahwa Dia ada di alam semesta dan tampak di sana. Allah melarangmu untuk menghijab dirimu dengan alam sehingga kau tidak bisa melihat-Nya di sana. Allah swt. berfirman, "Katakan, perhatikan apa yang terdapat di langit!"

Dalam Lathâif al-Minan disebutkan, "Alam semesta yang ditampakkan di hadapanmu bukan untuk kau lihat, tetapi agar kau lihat wujud Tuhan di dalamnya. Kehendak Tuhanmu adalah agar kau melihat alam semesta dengan mata orang yang tidak melihatnya. Kau melihatnya dari sisi penampakan Allah di dalamnya, bukan melihatnya dari sisi wujud alam semesta itu sendiri."

Allah membukakan pintu pemahaman atau mengingatkan dan menyadarkanmu atas apa yang di tuntut darimu, yaitu melihat yang ada di alam semesta.

Allah tidak mengatakan kepadamu "Lihatlah langit-langit!" agar tidak menunjukkan kepadamu benda-benda langit saja sehingga dengannya kau menjadi terhijab dan tidak menyaksikan wujud Allah di dalamnya. Hal itu juga dimaksudkan agar alam semesta tidak menjadi fokus dan tujuanmu karena ia hanyalah wasîlah (perantara) dan media. Ia hanyalah benda yang dapat dilihat. Bagi para ahli syuhûd, alam semesta adalah wahana penampakan Allah swt. Namun, bagi para ahli hijab, alam adalah bukti keberadaan-Nya.

(Pasal 143)
3. Alam ini ada dengan penetapan Allah dan ia lenyap dengan keesaan dzat-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

PADA MULANYA, alam semesta ini tidak ada. Alam semesta memiliki sifat wujud dengan penetapan Allah swt. terhadapanya atau dengan penampakan-Nya di dalamnya. Ketetapan alam ini bersifat relatif karena tidak ada yang mutlak, kecuali Dia. Oleh karena itu, Ibnu Atha'illah berkata, "Alam lenyap dengan keesaan dzat-Nya."

Siapa yang melihat kepada keesaan dzat-Nya maka ia tidak akan mendapati alam ini tetap dan berwujud. Alam memiliki sifat tetap dengan memandang kepada keesaan-Nya. Menurut orang-orang 'ârif, keesaan maknanya adalah kemurnian, kemutlakan, dan keterbebasan dari penampakan pada alam semesta. Keesaan dalam arti itu berbeda dengan ke-satu-an karena kesatuan ialah penampakan dzat yang lahir di alam semesta sehingga alam semesta menjadi ada berdasarkan adanya Yang Maha Haq di sana. Oleh sebab itu, mereka berkata, "Keesaan umpama lautan tanpa gelombang, sedangkan kesatuan umpama lautan dengan gelombang."

Bagi mereka, Allah swt. seumpama lautan dan alam semesta ini seperti gelombang yang digerakkan oleh lautan itu. Gelombang tentu berbeda dengan lautan. Inilah tauhid orang-orang 'ârif.

Di dalam kitab ini, Ibnu Atha'illah mengulang-ulang ungkapannya tentang hal ini. Ia mengatakannya dengan berbagai ungkapan berbeda untuk mewujudkan yang benar dan menyingkirkan yang batil dari dirimu. Sebagian orang membahasnya secara khusus dalam satu karya tersendiri atau membahasnya dalam pembahasan tentang wihdatul wujûd (kesatuan wujud).

(Pasal 144)
4. Orang-orang memujimu atas apa yang mereka sangka ada pada dirimu. Karena itu, celalah dirimu atas apa yang kau ketahui ada pada dirimu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

MANUSIA MEMUJIMU atas sifat-sifat terpuji yang ada padamu. Oleh karena itu, jangan kau tertipu dan terpesona oleh pujian mereka kepadamu, tetapi celalah dirimu sendiri. Celalah dirimu karena apa yang tidak sesuai dengan sangkaan manusia kepadamu.

Oleh sebab itu, Ali ra. sering berdoa, "Ya Allah, jadikan kami lebih baik daripada apa yang mereka kira dan jangan tuntut kami dengan apa yang mereka katakan tentang kami. Ampuni dosa kami atas apa yang tidak mereka ketahui."

Ucapan Ibnu Atha'illah "Celalah dirimu!" bukan berarti bahwa kau disuruh untuk mendustakan perkataan manusia atau mencoba mengubah sangkaan mereka terhadapmu. Akan tetapi, maksudnya, kau tidak boleh tertipu atau terpesona dan tidak mengutamakan pengetahuanmu atas sangkaan mereka.

Jika seorang pemuji berbohong, misalnya dengan terlalu berlebihan dalam memuji, dan kebohongannya telah diketahui, laksanakanlah sabda Rasulullah, "Lemparkan debu di wajah para pemuji." Pujian seperti itu dilarang.

Demikian pula jika pujian dapat mendorong orang yang dipuji tertipu dan membuatnya melakukan kesalahan terhadap dirinya sendiri maka laksanakanlah perintah Rasulullah, "Jauhilah pujian karena ia sama dengan tindakan menyembelih seseorang."

(Pasal 145)
5. Seorang mukmin, jika dipuji, akan malu kepada Allah karena ia dipuji dengan sifat yang tidak ia dapati pada dirinya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

MUKMIN SEJATI adalah mukmin yang tidak mendapati pada dirinya sifat-sifat terpuji sehingga layak untuk dipuji. Dia hanya memandang bahwa sifat itu datang dari Allah. Jika manusia memujinya dan menyebut-nyebut kebaikannya, ia akan malu kepada Allah karena ia tidak mendapati sifat yang dipuji itu ada pada dirinya.

Rasa malunya kepada Allah adalah rasa malu penuh takzim dan pengagungan kepada-Nya dengan sifat-sifat yang tak ada padanya. Dengan begitu, ia akan bertambah benci dan jijik kepada dirinya sendiri, pandangannya terhadap kebaikan dan karunia Allah semakin besar. Inilah kesyukuran yang dengannya ia akan mendapatkan yang lebih dan selamat dari sikap nyaman dengan pujian para hamba.

(Pasal 146)
6. Sebodoh-bodoh manusia adalah orang yang meninggalkan keyakinannya karena mengikuti sangkaan orang-orang.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ORANG YANG PALING bodoh adalah orang yang meninggalkan keyakinan atau pengetahuannya tentang kelemahan dan aib diri serta kekurangan hubungannya dengan Allah karena sangkaan orang-orang bahwa dirinya baik sehingga mereka memujinya. Jika orang yang dipuji itu tertipu dan yakin bahwa dirinya layak mendapat pujian tersebut serta terperdaya oleh kesaksian seluruh makhluk tentangnya, ia menjadi manusia terbodoh karena ia mengabaikan keyakinannya dan lebih mengutamakan sangkaan tentangnya. Ia lebih mengutamakan sesuatu yang ada pada orang lain daripada yang ada pada dirinya.

Pujian dusta terhadapmu sama saja dengan ucapan orang-orang yang ingin mengolok-ngolokmu dengan berkata, "Kotoran yang keluar dari mulutmu baunya seperti minyak kasturi." dan kau rela, bahkan senang dengan cemoohan itu. Tentu saja aib diri yang diketahui seorang hamba lebih busuk dan lebih kotor daripada kotoran yang keluar dari mulutmu.

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 138-140) : Nur Yaqîn akan Mendekatkan Akhirat dan Memperlihatkan Kefanaan Dunia

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).

(Pasal 138)
1. Andaikan cahaya keyakinan menerangi dirimu, tentu kau akan melihat akhirat lebih dekat denganmu daripada kau berjalan menujunya, dan tentu kau akan menyaksikan keindahan dunia telah diliputi selubung kebinasaan.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

SEKIRANYA HATIMU diterangi cahaya keyakinan atau ilmu pengetahuan tentang Allah dan janji-Nya yang disampaikan melalui lisan nabi-Nya, niscaya kau akan melihat akhirat lebih dekat denganmu saat kau berjalan menuju-Nya. Kau juga akan melihat keindahan dunia telah diliputi oleh selubung kebinasaan. Karena dengan cahaya keyakinan dan ilmu itu, hakikat segala sesuatu akan terlihat sesuai kondisi aslinya.

Jika cahaya itu menyinari hati, seorang hamba akan melihaylt yang benar tetap benar dan yang batil tetap batil; akhirat adalah benar, sedangkan dunia adalah batil. Dia akan melihat akhirat yang tadinya gaib seakan hadir di hadapannya, seakan akhirat itu tidak sirna dari hadapannya dan amat dekat kepadanya untuk ia tuju.

Dengan begitu, ia akan lebih siap lagi untuk menyongsongnya. Ia melihat dunia yang hadir di matanya telah redup cahayanya, segera musnah dan sirna dari pandangannya. Di matanya, tampaklah kebatilan dunia itu sehingga seakan dia tidak ada. Dengan pandangan penuh keyakinan ini, ia terdorong untuk ber-zuhûd meninggalkan dunia dan perhiasannya, serta lebih mengutamakan akhirat dan bersiap menyongsongnya.

Keadaan ini menandakan kelapangan dada seorang hamba dengan cahaya tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah, "Sesungguhnya cahaya jika masuk ke dalam hati, dada akan lapang dan terbuka karenanya." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah hal itu ada tanda-tandanya?" Beliau menjawab, "Ya, tandanya ialah sikap menjauhi tempat tipu daya, berlindung ke negeri keabadian, dan bersiap menghadapi kematian sebelum datang."

Saat cahaya masuk ke dalam kalbu seorang hamba, syahwatnya akan mati dan jiwanya akan sirna sehingga ia hanya terdorong untuk melakukan kebaikan dan tidak pernah tertarik untuk melanggar. Hamba yang mendapatkan cahaya tidak memiliki tekad, kecuali untuk segera melakukan kebaikan dan menggunakan waktu dan kesempatan karena saat itu ia merasa ajal sudah dekat, sedangkan kebaikan banyak terlewatkan.

(Pasal 139)
2. Bukan keberadaan benda yang menghijab dirimu dari Allah. Akan tetapi, yang menghijabmu dari-Nya adalah sangkaan adanya wujud selain Allah.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

BUKANLAH PERKARA-PERKARA duniawi dan ukhrawi yang menghijabmu dari Allah karena tidak ada wujud selain wujud-Nya. Akan tetapi, yang menghijabmu dari-Nya adalah anggapanmu bahwa sesuatu selain-Nya memiliki wujud, padahal menurut orang-orang 'ârif, aslinya sesuatu itu tidak berwujud. Wujud segala sesuatu laksana bayangan pepohonan di atas air. Ia tidak dapat menghalangi perjalanan perahu di atas air tersebut. Dengan demikian, tak ada hijab antara dirimu dengan Allah, kecuali sangkaanmu bahwa ada wujud lain selain Allah.

Seperti seorang lelaki yang ingin buang air kecil di dekat sebuah gua, ketika ia mendengar suara deru angin dari mulut gua itu, ia menyangkanya suara auman singa. Hal itu menghalanginya untuk buang air. Namun, ketika ia tidak mendapati seekor pun singa di sana, ia akhirnya memberanikan diri untuk menunaikan hajatnya. Tentu saja singa bukan sesuatu yang menghalanginya untuk buang air, melainkan sangkaannya tentang wujud seekor singa di sana.

(Pasal 140)
3. Andaikan Allah tidak tampak di alam, tidak akan ada pandangan yang tertuju pada-Nya. Andaikan sifat-sifat-Nya terlihat, pasti alam menjadi lenyap.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

SEKIRANYA BUKAN karena penampakkan Allah di alam wujud, tidak akan ada pandangan yang tertuju pada-Nya. Jika tidak ada, tentu pandangan itu tidak akan pernah melihat wujud-Nya.

Wujud alam semesta itu tak lain hanya pinjaman Allah semata. Penampakan Yang Maha Haq di dalamnya seumpama pantulan matahari di dalam lentera kaca karena pada hakikatnya, alam semesta ini tidak ada dan tak berwujud, sebagaimana telah dijelaskan.

Penampakan Allah kepada kita dari balik hijab alam semesta itulah yang membuat alam semesta berwujud dan semua pandangan tertuju padanya. Tanpa ada penampakan Allah di alam semesta ini, niscaya semua alam lenyap dan musnah, serta tak satu pun pandangan yang melihatnya.

Allah swt. berfirman, "Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan." (QS. al-A'raf [7]: 143).

Ayat ini menyatakan bahwa sekiranya sifat-sifat-Nya terlihat, seluruh alam semesta akan luluh lantak, bahkan tak akan ada wujud di sana dan tak ada yang melihatnya. Sebagaimana dalam hadis, "Hijab-Nya adalah cahaya." Dalam riwayat lain, "Hijab-Nya adalah api." Sekiranya hijab itu terbuka, Allah akan membakar semua yang ada.

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Selasa, 30 Oktober 2018

Kitab al-Hikam (Pasal 135-137) : Dua Macam Perlindungan Allah

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).

(Pasal 135)
1. Tutup (perlindungan) Allah ada dua: tutup yang menghalangi perbuatan maksiat dan tutup ketika melakukan maksiat. Manusia pada umumnya berharap supaya ditutupi dalam melakukan maksiat karena khawatir derajat mereka jatuh di mata makhluk. Adapun kalangan khusus berharap ditutup (dicegah) dari perbuatan maksiat karena khawatir kedudukan mereka jatuh dalam pandangan Allah.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

TIRAI ALLAH ada dua macam. Pertama, tirai yang menghalangi seorang hamba dari kemaksiatan, misalnya dengan tidak memberinya sebab-sebab untuk melakukan maksiat. Kedua, tirai penutup saat hamba melakukan maksiat, misalnya dengan menutupi aibnya di hadapan semua orang saat ia melakukan maksiat atau sesudahnya.

Manusia awam yang tidak memiliki hakikat keimanan selalu didominasi oleh pandangan mereka terhadap makhluk. Mereka selalu berharap dari makhluk berbagai manfaat dan keselamatan dari bahaya, karena itu mereka bersifat Riya' dan berpura-pura di hadapan semua makhluk. Mereka selalu tamak dan sombong di hadapan manusia. Mereka juga tidak suka jika mengetahui hal-hal buruk yang ada pada diri mereka yang dapat menjatuhkan kedudukan mereka.

Oleh sebab itu, manusia cenderung meminta agar Allah menutupi aib mereka saat melakukan maksiat atau bahkan saat menyukainya. Hal itu dikarenakan, mereka takut martabatnya jatuh di mata makhluk. Jika makhluk mengetahui kondisi mereka, tentu mereka tidak akan mendapatkan apa yang mereka harapkan, yaitu manfaat dan keselamatan dari bahaya. Mereka itulah orang-orang yang bersandar kepada selain Allah. Mereka adalah ahli syirik tersamar yang dapat mengeluarkan pemiliknya dari hakikat keimanan. Tentang mereka, Allah swt. berfirman, "Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka." (QS. an-Nisa' [4]: 108).

Adapun orang-orang khusus yang mendapatkan hakikat keimanan, mereka tidak pernah menoleh kepada makhluk, tidak memuji, tidak pula mencela. Mereka juga tidak berharap dari makhluk manfaat atau takut terhadap bahaya mereka. Mereka tidak pernah bersandar kepada makhluk karena mereka hanya puas dengan pandangan Allah kepada diri mereka.

Orang-orang khusus ini meminta agar Allah menutupi aib mereka dari pandangan manusia dan menjaga bisikan hati mereka untuk tidak melakukan maksiat. Hal itu dikarenakan, mereka takut kedudukannya jatuh di mata Allah akibat pelanggaran dan perbuatan mereka yang memicu murka-Nya.

Inilah yang sering terjadi pada dua kelompok manusia tersebut. Tentu ada perbedaan yang besar di antara keduanya. Terkadang orang-orang awam meminta agar Allah menutupi aibnya. Ini dilakukannya karena ingin melaksanakan perintah Allah dan rasul-Nya untuk menutupi aib orang yang diuji dengan maksiat. Pada diri mereka tak ada rasa penghinaan terhadap maksiat, tidak pula rasa cinta kepadanya. Sesekali orang khusus juga meminta agar Allah menutupi maksiat yang mereka lakukan, tidak membongkarnya di tengah makhluk, tidak pula di hadapan Allah karena mereka malu telah jatuh ke jurang maksiat. Juga karena manusia sering berburuk sangka kepada orang-orang yang dekat dengan Allah jika mereka mengetahui keburukannya.

(Pasal 136)
2. Orang yang menghormatimu sebenarnya menghormati indahnya tutup Allah yang diberikan kepadamu. Oleh karena itu, pujian hanya layak diberikan kepada Dzat Yang Menutupi (aibmu); bukan kepada orang yang menaruh hormat dan berterima kasih kepadamu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ORANG YANG MENDEKATI dan mencintaimu atau berterima kasih kepadamu tak lain dikarenakan keindahan tirai Allah yang diberikan kepadamu. Tanpa tirai itu, mereka tidak akan datang kepadamu, tidak mencintaimu, dan tidak pula melihat kepadamu dengan keramahan. Hal itu dikarenakan jika mereka mengetahui apa yang ada padamu, niscaya mereka akan merendahkanmu dan menganggap dirimu buruk, bahkan mereka akan menghindar darimu.

Saat itulah segala puji hanya layak diberikan kepada Dzat Yang Menutupi aibmu, bukan kepada orang yang menghormati dan berterima kasih kepadamu. Jangan kau berterima kasih kepada orang itu, kecuali atas kebaikan yang diberikannya, bukan karena ia menghormatimu dengan sebenar-benarnya karena tak ada yang memuliakanmu dengan sebenarnya, kecuali Allah semata.

Orang yang didatangi, dicintai, dan dimuliakan oleh manusia kadang melakukan kesalahan sehingga pujian dan sanjungan kepadanya tidak tepat. Manusia yang memujinya sama saja dengan zalim. Ia juga kadang salah dengan melihat pada dirinya sifat-sifat terpuji yang layak mendapat kemuliaan. Maka dari itu, mereka yang memujinya termasuk orang-orang yang bodoh. Mereka bodoh karena hanya melihat kepada amalnya dan lupa kepada karunia Allah atasnya. Oleh karena itu, Ibnu Atha'illah mengingatkan dari dua kesalahan ini.

(Pasal 137)
3. Sahabat sejatimu adalah yang bersahabat denganmu dalam kondisi ia mengetahui aibmu. Tidak lain Ia adalah Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Sebaik-baik sahabatmu adalah yang tidak mengharap keuntungan darimu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

TIADA YANG MENJADI sahabatmu dengan sebenar-benarnya, kecuali Dzat yang memberimu kebaikan-Nya. Dia mengetahui aib dan celamu, namun Dia tidak pernah terhalang untuk mendekatimu dan menjadi sahabatmu, padahal ia mengetahui rincian kekurangan dan aibmu itu. Teman seperti itu ialah Tuhanmu Yang Maha Mulia. Seperti itu pulalah persahabatan kaum sufi dan orang-orang 'arif yang memiliki akhlak seperti sifat-sifat Tuhannya.

Adapun orang-orang yang menemanimu dengan kebodohannya, ia bukanlah sahabatmu sejati karena ia tak kuasa melihat kekurangan dan aibmu. Ia takkan mampu bersabar menanggungnya. Meskipun bersabar, pasti ada tendensi dan tujuan yang diinginkannya.

Sebaik-baik sahabatmu adalah orang yang tidak menuntut apa-apa darimu. Itu hanyalah Tuhanmu atau orang yang berakhlak seperti akhlak-Nya. Adapun orang yang bersahabat denganmu karena kebaikamu dan manfaat yang kau berikan kepadanya, ia bukanlah sahabat sejati karena tujuannya hanyalah menunaikan kebutuhannya darimu. Jika tujuan itu telah terlaksana, ia akan meninggalkanmu.

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 131-134) : Hubungan antara Pengabulan dengan Kehinaan dan Kebutuhan

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).

(Pasal 131)
1. Tiada sesuatu yang lebih menuntutmu, kecuali kebutuhan mendesak. Tidak ada pula yang dapat mempercepat tibanya pemberian selain rasa hina dan butuh.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KEBUTUHAN MENDESAK seorang hamba merupakan sifat terkhusus 'Ubudiyyah-nya kepada Allah. Oleh sebab itu, tak ada sesuatu pun yang lebih menuntut seorang hamba, kecuali perasaan mendesak itu. Maknanya, sebaik-baik peminta adalah kebutuhan mendesak; Ibnu Atha'illah mengumpamakan kebutuhan mendesak ini dengan sosok "peminta".

Kebutuhan mendesak adalah sikap menampakkan kefakiran yang sangat sehingga terkonotasi bahwa kau tak memiliki daya dan upaya apa-apa, serta tidak menemukan satu pun sebab yang bisa kau jadikan sandaran untuk mendapatkannya. Keadaanmu sama dengan keadaan orang yang tenggelam di laut atau yang tersesat di hutan. Kau tak mendapati sesuatu pun yang dapat menyejahterakanmu, kecuali Tuhanmu dan tak berharap keselamatan dari kebinasaanmu, kecuali dari-Nya.

Tak ada yang dapat mempercepat tibanya pemberian selain rasa hina dan butuh karena kehinaan dan rasa butuh merupakan dua sifat yang ada pada seorang yang terdesak. Keduanya tentu akan mempercepat pemberian Allah kepada hamba-Nya yang memiliki sifat itu.

Allah swt. berfirman, "Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Oleh karena itu, bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mensyukuri-Nya." (QS. ali Imran [3]: 123). Karena kondisi itulah, mereka pun akhirnya mendapatkan pertolongan dan kemenangan dari Allah.

(Pasal 132)
2. Jika kau yakin bahwa kau hanya akan sampai kepada-Nya setelah lenyapnya keburukanmu dan sirnanya semua hasratmu, kau selamanya tak akan sampai kepada-Nya. Akan tetapi, jika Dia menghendakimu sampai kepada-Nya, Dia akan menutupi sifatmu dengan sifat-Nya dan watakmu dengan watak-Nya. Dia membuatmu sampai kepada-Nya dengan kebaikan yang diberikan-Nya kepadamu, bukan dengan kebaikan yang kau persembahkan kepada-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KAU TIDAK AKAN sampai kepada-Nya sekalipun kau melakukan riyadhah (olah batin) dan mujahadah berusaha menghilangkan aib dan semua keinginan untuk meraih kekuatan, kehormatan, kekayaan, dan kekuasaan. Itu adalah sifat-sifat inti dan watak yang sudah melekat pada seorang hamba dan tak bisa terlepas darinya. Sampainya kau kepada Allah adalah anugerah-Nya kepadamu, bukan karena usahamu sendiri.

Hal itu diisyaratkan Ibnu Atha'illah dengan ucapannya "Akan tetapi, jika Dia menghendakimu sampai kepada-Nya, Dia akan menutupi sifatmu dengan sifat-Nya, watakmu dengan watak-Nya." Allah akan menutup dan menghapus sifat-sifat buruk darimu. Dia juga akan mengabadikan ketiadaan sifat-sifat burukmu itu dengan menampakkan sifat-sifat yang baik padamu.

Hal itu diisyaratkan Allah dalam sebuah hadis qudsi, "Hamba-Ku terus mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunah sampai Aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengarannya yang digunakannya untuk mendengar, penglihatannya yang digunakan untuk melihat, tangannya yang digunakannya untuk memukul, dan kakinya yang digunakannya untuk berjalan."

Allah akan membawamu sampai kepada-Nya dengan anugerah-Nya kepadamu, yaitu berupa sifat-sifat-Nya yang ditampakkan-Nya kepada dirimu, bukan dengan usahamu dalam beramal.

Asy-Syadzili berkata, "Seorang wali tidak akan pernah sampai kepada Allah selama ia memiliki syahwat, keinginan, dan pilihan. Walaupun Allah sudah memberi jalan baginya, ia tetap tidak akan sampai kepada-Nya. Namun, jika Allah menginginkan untuk mendekatkan hamba itu kepada-Nya, Dialah yang akan mengaturnya, yaitu dengan menampakkan sifat-sifat-Nya yang tinggi dan suci sehingga akan menghilangkan sifat-sifat hamba-Nya yang buruk. Saat itu, hamba tersebut tidak lagi memiliki keinginan dan pilihan, kecuali yang dipilihkan dan diinginkan Tuhannya."

(Pasal 133)
3. Kalau bukan karena keindahan tutup-Nya, tentulah tiada amal yang layak diterima.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KALAU BUKAN karena tirai-Nya yang indah, tentu tidak satu pun amal yang diterima-Nya karena seorang hamba selalu diuji dengan pandangannya terhadap diri sendiri dan kebahagiaannya dengan amalnya. Selain itu, ia juga selalu menisbatkan amalnya itu kepada diri dan kemampuannya. Terkadang ia membuka hujabnya di depan orang sehingga ia menjadi Riya' dan mengharap pujian manusia. Semua ini akan menjadi syirik tersamar yang dapat merusak keikhlasan. Sementara itu, keikhlasan adalah syarat diterimanya sebuah amal.

Dengan demikian, sampainya seorang murid kepada Allah bergantung pada karunia dan kemuliaan-Nya, bukan atas perjuangan dan kerja kerasnya. Sekiranya ia berkata, "Jika bukan karena karunia Allah," tentu akan lebih utama baginya daripada bersikap sombong.

(Pasal 134)
4. Ketika taat, kau lebih membutuhkan belas kasih-Nya daripada ketika melakukan maksiat.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

SEORANG YANG TAAT biasa mengalami keadaan, seperti sombong, 'ujub, meremehkan orang lain, menganggap dirinya layak mendapat pahala, dan kondisi lainnya yang mencerminkan kesombongan. Lain halnya dengan seorang pemaksiat, boleh jadi maksiatnya akan mendorongnya untuk berhati-hati, takut kepada Tuhannya, berlindung kepada-Nya, tunduk dan membutuhkan-Nya.

Oleh sebab itu, seorang hamba lebih membutuhkan belas kasih Allah saat ia taat, melebihi kebutuhannya terhadap belas kasih-Nya saat ia bermaksiat kepada-Nya. Hikmah ini merupakan peringatan tambahan bagi orang yang merasa mampu sampai kepada Allah dengan amalan-amalannya. Sikap ini adalah kesalahan dan kebodohan.

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 127-128) : Larangan Mengklaim Salah Satu Sifat Rububiyyah Allah

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).

(Pasal 127)
1. Bersandarlah selalu kepada sifat-sifat rububiyyah Allah (ketuhanan-Nya) dan wujudkanlah sifat-sifat 'ubudiyyah-mu (kehambaanmu).

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

BERSANDARLAH SELALU kepada sifat-sifat rububiyyah-Nya dan jangan berusaha mewujudkan sifat-sifat itu pada dirimu karena seorang hamba tak mampu melakukannya. Ia hanya bisa bergantung pada sifat-sifat Tuhannya. Maka dari itu, wujudkanlah pada dirimu sifat-sifat 'Ubudiyyah-mu kepada-Nya.

"Bersandar kepada sifat-sifat rububiyyah" bermakna memandang atau memperhatikan maslahat sifat-sifat itu. Namun demikian, tidak layak bagimu untuk bersifat dengan salah satunya.

"Mewujudkan sifat-sifat 'Ubudiyyah" bermakna melihat dan memperhatikan sifat-sifat itu atau mengamati pembentukannya untuk dirinya. Sifat inilah yang harus dimiliki seorang hamba dengan sempurna, bukan sifat-sifat rububiyyah-Nya.

Sifat rububiyyah yang didapat seorang hamba yang ada pada dirinya tak lain hanyalah pinjaman Allah padanya, bukan miliknya pribadi. Jika seorang hamba mendapati sifat kaya dan mampu, mulia dan kuat pada dirinya, tak lain itu hanyalah milik Allah. Ia harus melihat bahwa sifat-sifat asli yang dimilikinya adalah kebalikan dari semua sifat Allah, yaitu miskin, hina, lemah, dan tak berdaya. Kemudian, Allah menyokongnya dengan sifat-sifat-Nya sehingga ia menjadi kaya, mampu, tahu, mulia, dan kuat karena Allah.

Ibnu Atha'illah mendukung hikmah ini dengan hikmah berikut:

(Pasal 128)
2. Allah melarangmu mengakui hak orang lain yang bukan milikmu. Lalu, mungkinkah Dia membolehkan mengakui memiliki sifat-Nya, padahal Dia Tuhan Pemelihara alam semesta.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ALLAH MENGHARAMKANMU untuk mengaku-ngaku sesuatu yang bukan milikmu, misalnya mengaku-ngaku kepemilikan harta yang diberikan-Nya kepada makhluk-Nya yang lain. Tindakan ini disebut Allah sebagai 'udwan (tindakan melampaui batas) dan kezaliman. Jika tindakan ini dilarang-Nya, apakah Dia membolehkanmu mengaku-ngaku sifat-sifat yang dimiliki-Nya?.

Apabila tindakan mengaku-ngaku hak milik orang lain saja diharamkan, tentu saja tindakan mengaku-ngaku sifat Allah lebih dilarang lagi. Tindakan ini merupakan 'udwan dan kezaliman yang lebih besar dan lebih berat.

Jika kau mengaku kaya, berkuasa, terhormat, kuat, dan alim, sebagaimana yang terjadi pada sebagian orang, itu termasuk maksiat dan dosa besar. Bahkan, menurut pandangan orang-orang 'arif, itu merupakan tindakan menyekutukan Tuhan dan kekejian yang paling keji. Hal itu dikarenakan di dalam hati hamba, ada sekutu Allah, yaitu dirinya yang mengaku sifat-sifat rububiyyah Allah, baik dengan keyakinan maupun dengan ucapan. Itu sama dengan tindakan menandingi Allah dan sombong di hadapan-Nya.

Dalam hadist qudsi, Allah berfirman, "Kesombongan adalah serban-Ku dan kebesaran adalah sarung-Ku, siapa yang menandingi-Ku dalam salah satu sifat itu, maka Aku akan menjerumuskannya ke dalam neraka."

Makna "menandingi" di sini ialah mengaku-ngaku dengan ungkapan dan keyakinan.

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 129-130) : Kejadian-kejadian Luar Biasa akan Muncul dari Orang yang Mujahadah-nya Luar Biasa

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).

(Pasal 129)
1. Bagaimana mungkin kau mendapat hal luar biasa, sedangkan kebiasaanmu belum luar biasa.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

BAGAIMANA KAU begitu antusias mendapatkan sesuatu yang luar biasa, misalnya karamah dan kemampuan mempersingkat jarak bumi, sedangkan kau terbiasa melakukan kesombongan dan keangkuhan serta sifat buruk lainnya?. Hal-hal luar biasa terjadi dengan kuasa Allah. Dan itu tidak akan diberikan Allah kecuali pada orang yang membuat kebiasaannya menjadi luar biasa, memusnahkan keinginan dan maslahat pribadinya.

Barang siapa yang belum mencapai maqam ini maka ia tidak boleh berhasrat mendapatkannya. Jika terlihat padanya sebentuk karamah, ia harus takut tertipu dan hendaknya ia tidak mengharapkan dan mencarinya. Jika ia masih mengharapkan dan mencarinya, itu menjadi bukti bahwa ia tetap terkungkung dalam keinginan, maslahat, dan kebiasaannya. Bagaimana bisa hal-hal luar biasa didapat oleh orang-orang yang sifatnya selalu ingin mendapat karamah?.

(Pasal 130)
2. Yang harus diperhatikan bukan sekadar meminta, melainkan bagaimana kau dianugerahi adab yang baik.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

YANG HARUS diperhatikan bukan sekadar berdoa dengan lisan. Sebaliknya, menurut para muhaqqiq, yang penting bukanlah berdoa dengan mengarahkan semua permintaan dan kebutuhanmu kepada-Nya semata. Cara itu belum memenuhi etika-etika dan kesopanan berdoa.

Namun, yang paling penting menurut para muhaqqiq adalah kau meminta seluruh permintaanmu itu dari-Nya semata, bukan bertujuan mendapatkan bagian dan keinginan saja, melainkan memintanya sebagai perwujudan dari 'Ubudiyyah-mu kepada-Nya dan pelaksanaan terhadap hak-hak rububiyyah-Nya. Dengan begitu, kau akan mendapatkan adab yang baik dari-Nya. Permintaanmu dan adab baikmu itu menjadi pelaksanaan yang sesungguhnya dari hak-hak etika dalam berdoa.

Maksud "meminta" dalam hikmah di atas adalah permintaan dengan hati atau hasrat hati kepada suatu tujuan. Jadi, yang harus diperhatikan bukanlah kau meminta sesuatu dari Tuhanmu dengan hatimu, baik dengan disertai permohonan lisan maupun tidak, namun yang paling penting adalah bagaimana kau diberikan adab yang baik oleh-Nya, yaitu tidak meminta kepada-Nya karena kau merasa cukup dengan pandangan Allah terhadapmu.

Etika yang baik dalam berdoa pada ungkapan pertama adalah agar berdoa kepada Allah sebagai bentuk 'ubudiyyah dan pelaksanaan terhadap hak-hak rububiyyah-Nya, bukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi saja. Sementara itu, pada ungkapan kedua adalah meninggalkan doa karena puas dengan bagian yang telah diberikan-Nya dan cukup dengan kehendak-Nya serta sibuk dengan zikir kepada-Nya.

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Sabtu, 27 Oktober 2018

Kitab al-Hikam (Pasal 125-126) : Karunia Allah atas Adanya Amal

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).

(Pasal 125)
1. Apabila Allah hendak memperlihatkan karunia-Nya kepadamu, Dia akan mencipta (amal), lalu menisbatkannya kepadamu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

JIKA ALLAH ingin menganugerahimu karunia-Nya, Allah akan menciptakan amal pada dirimu, lalu menisbatkannya kepadamu. Dia akan menyatakan kepadamu melalui malaikat-Nya bahwa kau adalah orang yang taat, bertaqwa, gigih, dan gemar beramal. Dengan cara lain, Allah akan menisbatkan amal itu kepadamu melalui lisan para hamba-Nya, seperti perkataan orang-orang kepadamu, "Kau adalah orang yang taat, bertaqwa, dan rajin beribadah."

Jika seorang hamba menyaksikan karunia yang amat agung ini dan merasa malu kepada Tuhannya, ia tidak akan menisbatkan sifat-sifat terpuji atau amal-amal baik kepada dirinya karena ia tidak memiliki kelayakan sama sekali untuk itu. Adapun sifat-sifat tercela dan amal yang buruk, menurut etika, sepatutnya ia nisbatkan kepada diri sendiri. Ia harus mengakui bahwa itu akibat kezaliman dan kebodohannya.

Sahal bin Abdullah berkata, "Jika seorang hamba melakukan kebaikan, lalu ia berkata, 'Tuhanku, dengan karunia-Mu aku beramal, Engkau yang membantuku dan memudahkannya,' berarti ia telah bersyukur kepada Allah atas karunia itu. Lalu, Allah pun akan menjawabnya, 'Hamba-Ku, melainkan kau sendiri yang taat dan kaulah yang mendekati-Ku.'

Namun, jika seorang hamba hanya memandang dirinya sendiri, lalu bergumam, 'Aku yang beramal, aku yang taat, dan aku yang mendekat,' maka Allah akan berpaling darinya. Dia akan berkata kepadanya, 'Hamba-Ku, Akulah yang membimbingmu, Aku pula yang membantumu, dan Aku yang memudahkan jalanmu.'

Sekiranya hamba melakukan keburukan, lalu berkata, 'Tuhanku, Engkau yang menakdirkannya, Engkau yang menetapkannya, Engkau pula yang memutuskannya,' maka Tuhan akan murka kepadanya. Dia akan berkata kepada hamba itu, 'Justru kau yang telah berbuat buruk. Kau bodoh dan kau durhaka.'

Sekiranya hamba itu berkata, 'Tuhanku, aku telah berlaku zalim, bodoh, dan buruk,' Tuhan pun akan mendatanginya dan berkata, 'Hamba-Ku, Akulah yang memutuskannya, Aku yang menetapkannya, dan kau pun telah Ku ampuni, Aku maafkan, dan Ku tutupi aibmu.'"

(Pasal 126)
2. Tiada terhingga keburukanmu jika Allah membiarkanmu. Sebaliknya, tiada pernah berakhir kebaikanmu jika Dia memperlihatkan kemurahan-Nya atas dirimu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KEBURUKANMU TIDAK AKAN pernah berakhir jika Allah membiarkanmu sendiri, karena nafsumu selalu terdorong untuk melakukan keburukan. Jika Allah membiarkanmu dan tidak mengaturmu dalam mengontrol hawa nafsu, niscaya nafsu akan menguasai dan mengendalikanmu. Ia akan menjerumuskanmu ke jurang keburukan sehingga tak satu pun amal dan ahwal-mu yang baik. Itulah tanda-tanda kau terusir dan dijauhkan dari rahmat Allah.

Jika Allah menampakkan wujud-Nya kepadamu, misalnya dengan memberimu pertolongan dan perlindungan-Nya dalam mengendalikan hawa nafsumu sehingga tidak menguasaimu, maka tak terhitung pujian orang terhadapmu. Dengan begitu, amal dan ahwal-mu akan menjadi baik dan indah. Kebaikanmu pun tidak akan pernah habis. Itulah tanda bahwa Allah telah memilihmu. Ketahuilah, tak ada jalan selamat dari hawa nafsu dan gejolaknya, kecuali dengan bergantung dan berlindung kepada Allah.

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 120-124) : Manfaat-manfaat Shalat

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).

(Pasal 120)
1. Shalat adalah pembersih hati dari kotoran dosa dan pembuka pintu kegaiban.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

SHALAT YANG sesungguhnya ialah yang menjadi pembersih hati dari pengaruh dan kotoran duniawi dan dosa, serta sifat-sifat lain yang menjauhkan pelakunya dari pandangan kepada Tuhan Yang Maha Perkasa.

Shalat juga merupakan pembuka pintu sesuatu yang tak pernah kau miliki, yaitu berupa makrifat dan rahasia-rahasia Ilahi. Makrifat dan rahasia Ilahi ini diumpamakan dengan harta karun yang tertutup rapat. Jika hati sudah dibersihkan, tutupnya akan diangkat sehingga ia bisa melihat rahasia-rahasia gaib yang tak bisa dilihatnya.

(Pasal 121)
2. Shalat adalah tempat munajat dan kerinduan. Di dalamnya ruang rahasia meluas dan cahaya-cahaya bersinar.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

MUNAJAT BERMAKNA keintiman dan percakapan lembut seorang hamba dengan Tuhannya. Shalat adalah media munajat hamba kepada Tuhannya. Dengan munajat itu, Allah menampakkan sifat-sifat-Nya yang indah sebagai rahmat-Nya kepada para hamba dan seluruh alam semesta. Dengan munajat itu pula, Allah memasukkan ke dalam batin hamba ilmu-ilmu laduni dan rahasia-rahasia pengetahuan.

Shalat juga menjadi sarana pertemuan dan pelepas rindu hamba dengan Tuhannya. Dengan shalat, hamba menghadap-Nya dengan segenap jiwa raga dan mendatangi-Nya secara lahir dan batin sehingga dalam relung batinnya tak ada yang tersimpan selain-Nya. Dengan shalat juga, Allah akan membersihkan hamba-Nya dengan memberi kemampuan syuhud dan mencurahkan karunia dan kebaikan-Nya. Inilah pembersihan yang paling tinggi. Semakin seorang hamba mendekati-Nya maka Allah pun akan semakin lebih mendekatinya lagi.

Di dalam shalat, ruang hati menjadi luas, sehingga bisa menerima rahasia-rahasia yang berlimpah.

Di dalam shalat pula cahaya bersinar terang. Jika cahaya menyinari hati, hati itu akan lapang dan terbuka menerima berbagai ilmu dan makrifat. Itulah buah munajat dan pembersihan yang disebut di atas. Semuanya adalah penegasan dari hikmah sebelumnya bahwa yang dituntut dari hamba adalah mendirikan shalat secara sungguh-sungguh, bukan sekadar melaksanakannya.

(Pasal 122)
3. Allah mengetahui kelemahan dirimu sehingga menyedikitkan bilangan (shalat). Dia juga mengetahui kebutuhanmu terhadap karunia-Nya sehingga melipatgandakan pahala-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ALLAH TELAH mengetahui kelemahanmu, wahai murid, karena kemampuan dan energi manusia tak akan sanggup menyaksikan penampakan Ilahi. Oleh karena itu, Dia mengurangi bilangan shalat dari yang sebelumnya lima puluh waktu menjadi lima waktu saja. Allah juga mengetahui rasa butuhmu kepada karunia-Nya, karena itu Dia memberikan ilmu-ilmu, rahasia-rahasia, dan pengetahuan-Nya ke dalam hati seorang yang shalat. Ungkapan ini ditujukan untuk para murid.

Untuk selain murid, Allah mengetahui kelemahanmu karena kau malas dan sibuk dengan duniawi sehingga tak sanggup melakukan shalat yang banyak. Allah juga mengetahui kebutuhanmu akan karunia-Nya. Oleh karena itu, Dia memperbanyak pahala-Nya dengan memberikan sebanyak lima puluh pahala untuk shalat lima waktu.

(Pasal 123).
4. Ketika kau meminta balasan atas sebuah amal, sebenarnya kau dituntut untuk tulus di dalamnya. Sudah cukup beruntung bila seseorang selamat dari siksa-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KETIKA KAU MEMINTA balasan atas shalatmu atau ibadah lainnya, misalnya dengan berharap pahala langsung di dunia dan akhirat, padahal Allah menuntutmu agar ikhlas dan tulus dalam amalmu, Allah akan menyatakan kepadamu bahwa kau belum tulus dalam amalmu untuk-Nya. Kau hanya beramal untuk kepentingan dan keuntungan dirimu.

Ketulusan dan keikhlasan adalah kesesuaian batin dengan lahir. Sifat inilah yang tidak ada pada diri seorang 'amil (orang yang beramal). Secara lahir, ia memang beramal untuk Allah dan ingin melaksanakan hak-hak ketuhanan-Nya. Namun, di dalam batinnya, ia beramal untuk keuntungan dirinya sendiri. Oleh karena itu, sangat beruntunglah dia bila Allah membebaskannya dari siksa.

Lebih beruntung lagi bila orang yang kurang sempurna dalam amalnya itu diberi pahala oleh Tuhannya, secara langsung maupun tak langsung. Sekiranya ia bertekad dan berniat untuk menyempurnakan amalnya serta yakin atas keluasan rahmat Allah swt., niscaya di hatinya tidak akan pernah terpikir pahala saat ia beramal. Justru ia akan mengikhlaskan amalnya karena Allah. Sekalipun amalnya kurang sempurna, beruntungnya, ia tetap terselamatkan dari siksa Allah. Tuhannya akan berkata kepadanya, "Amal yang kau kerjakan ini tidak layak mendapat pahala-Ku, tetapi cukuplah bagimu jika kau selamat dan tidak Ku siksa."

Hikmah dia atas sebetulnya adalah celaan bagi para pencari pahala atas amal yang dilakukannya. Ia menjelaskan bahwa sebaiknya seorang hamba menyembah Allah berdasarkan keyakinannya atas kebesaran, ketuhanan, dan sifat-sifat rububiyyah-Nya, bukan karena balasan yang akan didapatnya di dunia dan akhirat.

(Pasal 124)
5. Jangan mengharap upah atas amal yang tidak kau lakukan. Sudah cukup sebagai balasan untukmu jika Allah menerimanya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

JANGAN MENGHARAP upah atas amal yang tidak kau lakukan karena yang melakukan sesungguhya adalah Allah. Kau hanyalah objek penampakan-Nya. Jika yang melakukan adalah Allah, betapa lancang kau meminta pahala atas amal itu!.

Dengan kata lain, pencipta sesungguhnya dari amal para hamba adalah Allah semata, sedangkan hamba hanya berusaha. Lantas, apakah pantas ia meminta pahala atas amal yang sebenarnya tidak dilakukannya?.

Cukuplah bagimu jika Allah sudah menerimanya. Maksudnya, jika Allah sudah menerima amalmu, Allah tidak lagi meminta pertanggungjawabanmu atas amalmu yang kurang sempurna, bukan atas amalmu yang tidak kau niatkan untuk mencari pahala.

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 115-118) : Perbedaan antara Orang Berakal dan Orang Lalai dalam Mengesakan Allah

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).

(Pasal 115)
1. Orang lalai memulai harinya dengan memikirkan, apa yang harus dia kerjakan. Sementara itu, orang berakal merenungkan, apa yang akan Tuhan lakukan terhadapnya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ORANG YANG LALAI ialah yang lupa tauhid dan lupa bahwa segala sesuatu terjadi atas ketetapan dan takdir Allah. Di pagi hari, orang seperti ini akan menisbahkan semua amalnya kepada dirinya sendiri. Biasanya, ia berkata, "Apa yang akan ku lakukan hari ini?."

Sementara itu, seorang yang berakal, saat bangun pagi, ia tidak lalai dari tauhid dan tidak lupa bahwa segala sesuatu terjadi dengan ketentuan dan takdir Allah. Ia juga menisbahkan semua amalnya hanya kepada Allah. Orang seperti ini akan berkata, "Apa yang akan dilakukan Allah terhadapku hari ini?."

Orang lalai akan selalu melihat kemampuan dirinya sendiri. Saat Allah membebaninya dengan sebuah pekerjaan, pekerjaan itu tidak akan berhasil. Sementara itu, orang yang berakal hanya akan melihat kepada Tuhannya. Oleh karena itu, Allah akan mencukupi keinginannya dan memudahkan semua permintaannya. Ini adalah sebuah patokan agar murid bisa mengenali kondisi dirinya.

Hal pertama yang harus terdetik dalam hati seorang murid adalah kadar tauhidnya. Seberapa besar kadar tauhidnya? Itu bisa dilihat melalui kadar cahaya yang datang kepadanya. Jika sejak pertama hatinya hanya memandang pada daya dan kekuatannya, ia akan terputus dari Allah. Jika ia sadar dan kembali kepada Allah, tentu ia pun akan sampai kepada-Nya.

(Pasal 116)
2. Para 'abid dan para zahid merisaukan segala sesuatu karena mereka belum melihat Allah dalam segala sesuatu. Kalau mereka melihat-Nya dalam segala sesuatu, tentu mereka tak akan risau oleh sesuatu pun.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

'ABID ADALAH orang-orang yang menuju Allah melalui jalan amal dan ibadah, sedangkan zahid ialah orang-orang yang menuju Allah dengan jalan tawakal. Kedua golongan ini cenderung menjauhi makhluk karena mereka terputus dari Allah, terhalang, dan belum bisa melihat-Nya. Itu diakibatkan oleh sikap mereka yang terlalu memandang diri sendiri dan selalu memperhatikan kemaslahatan pribadinya. Mereka lari dari segala hal duniawi (baik itu manusia maupun materi) yang menghantui pandangan mereka. Mereka takut jika hal duniawi menghalangi tujuan mereka dan menyimpangkan maksud mereka. Mereka khawatir terlena dan tertipu olehnya.

Sekiranya mereka melihat Allah dalam segala sesuatu, sebagaimana orang-orang 'arif dan para muhibbin (kaum pencinta), mereka tidak akan khawatir atau takut terhadap segala hal duniawi karena mereka melihat Allah ada di dalamnya. Tentu mereka tidak akan lagi sibuk memandang dan memperhatikan kemaslahatan diri sendiri. Buahnya, mereka tidak akan merasa risau dan takut tertipu olehnya.

(Pasal 117)
3. Dia memperintahkanmu di dunia ini untuk merenungkan ciptaan-Nya, dan di akhirat Dia akan menyingkapkan untukmu kesempurnaan Dzat-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ALLAH MEMERINTAHKANMU di dunia ini untuk memperhatikan ciptaan-Nya agar dengan mata batinmu kau melihat-Nya tampak di sana. Allah swt. berfirman, "Katakanlah, 'Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.'" (QS. Yunus [10]: 101)

Dengan begitu, di akhirat kelak, Dia akan menyingkapkan untukmu kesempurnaan Dzat-Nya agar kau melihat-Nya dengan mata batinmu. Kemampuan seorang hamba melihat Tuhannya bergantung pada kadar penampakan-Nya di hadapan mereka.

Di dunia, mereka melihat-Nya tampak di alam semesta dengan cahaya mata batin mereka karena Allah menampakkan Diri kepada mereka dari balik hijab mereka sendiri, yaitu alam semesta tersebut. Oleh sebab itu, Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk mengamati dan merenungkan ciptaan-Nya. Di akhirat, mereka akan melihat-Nya langsung tanpa hijab dengan cahaya mata kepala mereka. Itu tak mustahil terjadi.

Inilah puncak dari tajalli (penampakan Allah) dan kasyaf (ketersingkapan Allah) di dunia yang dialami khusus oleh orang-orang 'arif. Di akhirat, tajalli dan kasyaf ini akan dialami oleh seluruh kaum mukmin.

(Pasal)
4. Dia mengetahui bila engkau tidak sabar ingin menyaksikan-Nya. Oleh karena itu, Dia memperlihatkan kepadamu apa yang bersumber dari-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ALLAH MAHA MENGETAHUI jika kau tidak bisa bersabar untuk dapat melihat-Nya langsung, sebagaimana seorang pencinta yang tak tahan ingin melihat kekasihnya. Namun, penglihatanmu kepada Allah tanpa hijab di dunia ini tidak mungkin bisa dilakukan. Maka dari itu, Allah memperlihatkan kepadamu segala jejak, tanda, dan ciptaan-Nya agar kau melihat-Nya pada semua itu dengan mata batinmu.

Namun, jika semua ciptaan itu menghalangi pandanganmu kepada-Nya, sebenarnya kau telah melihat-Nya dari balik hijab. Itulah karunia dan perhatian Allah untukmu karena di dunia pun Dia tidak menghijabmu dari memandang-Nya.

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 119) : Beragamnya Bentuk Ketaatan agar Tidak Membosankan

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).

(Pasal 119)
1. Karena Allah mengetahui bahwa engkau mudah jemu, Dia membuat bermacam-macam cara taat untukmu. Karena Allah mengetahui bahwa engkau rakus, Dia membatasi ketaatan itu hanya pada waktu-waktu tertentu. Agar perhatianmu tertuju pada kesempurnaan shalat, bukan pada adanya shalat. Karena tidak semua orang yang shalat dapat menyempurnakan shalatnya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ALLAH MENGETAHUI bahwa kau mudah bosan dan jemu. Beratnya amal akan mengakibatkanmu meninggalkan amal itu. Oleh karena itu, Dia membuat untukmu bermacam cara dan bentuk ketaatan. Itu adalah rahmat dan kemudahan-Nya untukmu. Jika kau bosan dengan satu cara ketaatan, kau bisa menggunakan cara lainnya. Sekiranya cara itu hanya satu macam, tentu jiwamu akan jemu dan akan meninggalkannya lantaran merasa berat melakukannya. Lain halnya dengan ketaatan yang beragam, tentu dapat membuatmu ringan dan mudah sehingga kau bisa berpindah dari satu ketaatan ke ketaatan yang lainnya.

Tabiat jiwa biasanya tidak sanggup berada dalam satu kondisi secara terus-menerus. Ia akan mencari bermacam kondisi lainnya. Tidakkah kau lihat bahwa manusia, jika terus-menerus memakan satu jenis makanan, ia akan merasa bosan? Sebagaimana yang pernah terjadi pada Bani Israil ketika hidup terasing di tengah hamparan gurun. Makanan yang bisa mereka temukan saat itu hanyalah manna dan salwa.

Allah juga mengetahui bahwa kau begitu tamak, rakus, dan melampaui batas. Kau selalu ingin cepat beramal sehingga membuatmu tidak melaksanakannya secara sempurna. Maka dari itu, Dia pun melarangmu untuk melakukannya pada beberapa waktu tertentu. Hal itu juga dimaksudkan demi meringankanmu.

Kewajiban terlarang dilakukan di luar waktu-waktunya yang telah ditentukan. Sementara itu, ibadah atau amal sunah terlarang dilakukan pada waktu-waktu yang dibenci (makruh). Allah membuat setiap ketaatan memiliki waktu khusus dan tidak membuatnya setiap waktu agar kau tidak tamak dan berlebihan yang akan berakibat pada ditinggalkannya amal itu.

Kesimpulannya, ketaatan dibuat beragam karena adanya rasa bosan. Ketaatan dilarang di waktu-waktu tertentu karena adanya ketamakan pada dirimu. Keragaman dan ketentuan waktu ketaatan ini merupakan dua nikmat yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Di sisi lain, rasa bosan dan sifat rakus adalah dua bencana besar yang dapat memutus amal.

Rutinitas ibadah yang sama dapat mendatangkan rasa bosan sehingga jiwa akan jemu dan merasa berat melakukannya. Namun, jika jiwa diberikan bentuk-bentuk amal yang beragam, ia akan merasa ringan dan menikmatinya.

Jika ibadah diperbolehkan di setiap waktu, tentu akan melahirkan rasa rakus karena ibadah itu dilakukan dengan penuh ketamakan. Saat tamak itulah, pelaksanaan ibadah akan kurang sempurna, seperti orang yang tamak membaca al-Quran, namun tidak menghayati maknanya dan kalbunya tidak hadir bersama Tuhannya ketika membacanya. Oleh sebab itu, Allah menentukan waktu-waktu khusus untuk ibadah dan ketaatan. Itulah hikmah mengapa Allah melarang beribadah di waktu-waktu tertentu.

Allah membatasi shalat dengan waktu tertentu agar tekadmu adalah bagaimana mendirikan shalat dengan baik, bukan bagaimana shalat itu terlaksana begitu saja.

Allah mewarnai dan membuat variasi ketaatan untukmu agar kau tidak bosan. Dia melarangmu beribadah pada waktu-waktu tertentu agar kau tidak rakus. Itu semua dimaksudkan agar tekadmu adalah mendirikan shalat dengan baik, bukan sekadar ada dan terlaksana.

Mendirikan shalat dengan benar adalah dengan menjaga batasan-batasannya seraya menjaga hati agar tetap khusyuk dan hadir bersama Allah sehingga tidak gelisah dan gusar dalam shalat.

Dalam hikmah di atas, shalat disebut secara khusus, tak lain karena ia meruoakan ibadah yang di dalamnya seorang hamba sering melakukan kesalahan.

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Selasa, 23 Oktober 2018

Kitab al-Hikam (Pasal 113-114) : Menghendaki Langgengnya Wirid Lebih Baik daripada Langgengnya Karamah

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).

(Pasal 113)
1. Hanya orang bodoh yang meremehkan wirid. Limpahan karunia-Nya (warid) terus ada hingga negeri akhirat, tetapi wirid terhenti dengan selesainya dunia. Maka dari itu, yang paling perlu mendapat perhatian adalah yang tidak ada gantinya di akhirat (yaitu wirid). Allahlah yang menuntut wirid darimu, sedangkan engkau yang menuntut karunia dari-Nya. Oleh karena itu, sungguh jauh perbedaan antara apa yang Dia tuntut darimu dan apa yang kau tuntut dari-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

WIRID IALAH amal saleh yang mengisi waktu-waktu dan membuat seluruh anggota tubuh menjauhi hal-hal yang dibenci-Nya. Orang bodoh akan meremehkan wirid, padahal di dalamnya terkandung 'ubudiyyah kepada Allah, rasa hadir bersama-Nya, zikir, pembersihan batin, serta dapat menarik cahaya karunia Ilahi. Menjalani wirid tanpa memedulikan hasilnya termasuk kebodohan.

Bin Atha'illah menyebutkan, wirid lebih utama daripada warid bila ditinjau dari dua sisi. Pertama, warid ialah karunia yang masuk ke dalam batin seorang hamba, berupa makrifat Tuhan dan kelembutan jiwa atau cahaya-cahaya yang membuat hati lapang dan bersinar terang. Warid ini akan tetap ada hingga di negeri akhirat. Sedangkan wirid akan musnah dengan musnahnya dunia. Oleh karena itu, yang perlu mendapat perhatian adalah yang wujudnya akan sirna. Artinya, seorang hamba harus memperbanyak wirid sebelum tertinggal karena ia tidak mungkin mengganti wirid yang hilang dan tertinggal.

Kedua, wirid merupakan sesuatu yang dituntut Allah darimu. Adapun warid, kaulah yang memintanya dari Allah. Oleh karena itu, yang kau minta dari-Nya tidak sebanding dengan yang Dia minta darimu. Tentu, yang diminta-Nya darimu lebih utama daripada yang kau minta dari-Nya. Wirid adalah hak Allah atasmu, sedangkan warid (karunia) adalah hakmu atas-Nya. Melaksanakan hak-Nya tentu lebih utama dan lebih patut daripada meminta keuntungan dan bagian dari-Nya.

Ibnu Atha'illah ingin mengingatkan para murid yang tamak terhadap warid (karunia), namun mengabaikan wirid. Tindakan itu merupakan akibat kebodohan dan ketidaktahuannya tentang buah dan hasil wirid. Oleh karena itu, orang-orang 'arif tidak meninggalkan wirid, padahal ahwal mereka lebih baik daripada para murid.

(Pasal 114)
2. Datangnya bantuan Allah sesuai dengan tingkat kesiapan, dan terbitnya cahaya sesuai dengan kadar kejernihan jiwa.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

DATANGNYA PERTOLONGAN Allah kepada hamba-Nya bergantung pada kesiapan seorang hamba membersihkan hatinya dan seberapa sering ia melakukan wirid. Oleh sebab itu, dikatakan, "Bersihkan hatimu dari dunia maka Kami akan mengisinya dengan makrifat dan rahasia."

Setiap warid akan selalu mengikuti wirid, sesuai kondisinya. Jika wiridnya sempurna, misalnya bersumber dari hati yang bersih, warid-nya pun akan sempurna. Jika wirid kurang, warid pun akan kurang. Jika wiridnya banyak, warid-nya akan banyak. Setiap warid akan bergantung pada wiridnya. Jika wiridnya dilakukan terus-menerus, warid pun akan mengalir terus-menerus.

Oleh sebab itu, amal yang paling dicintai Allah adalah yang paling sering dilakukan walaupun sedikit. Jika amal itu sering dilakukan, bantuan Allah pun akan sering diberikan.

Kalimat "terbitnya cahaya sesuai dengan kadar kejernihan jiwa" merupakan penegas dan penjelas ungkapan sebelumnya. Maknanya, terbitnya cahaya keyakinan dan makrifat bergantung pada kejernihan batin dari kekotoran yang diakibatkan sikap bergantung pada dunia. Kejernihan batin itu sendiri tidak akan terjadi, kecuali dengan seringnya melakukan wirid.

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 110-112) : Salah Satu Sikap Sopan Seorang Hamba terhadap Allah adalah Tidak Menangguhkan Permintaan-Nya manakala Dia Menangguhkan Permintaannya

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).

(Pasal 110)
1. Jangan menuntut Tuhan lantaran permintaanmu terlambat dikabulkan. Namun, tuntutlah dirimu lantaran terlambat melaksanakan kewajiban.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

JANGAN PROTES kepada Tuhan dan berburuk sangka kepada-Nya jika permintaanmu terlambat dipenuhi-Nya, baik yang batin, seperti keistimewaan tertentu, maupun yang lahir, seperti kebutuhan-kebutuhan duniawimu.

Jika kau meminta sesuatu dari-Nya dan jawabannya tidak diberi langsung, jangan kau berburuk sangka kepada-Nya dan jangan memaksa-Nya untuk menunaikan permintaanmu itu karena Dia melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya tanpa dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukan-Nya. Jika permintaanmu ditunda, tuntutlah dirimu atas keterlambatan pengabulan doamu itu karena kau telah meminta agar disegerakan jawaban doamu. Tentu ini merupakan sikap yang tidak sopan dan kurang ajar terhadap Tuhan.

Tuntutanmu agar Tuhan segera mengabulkan doamu merupakan bukti bahwa kau berdoa untuk dikabulkan. Doamu hanya memiliki tendensi tertentu. Inilah yang mengurangi kesempurnaan 'Ubudiyyah-mu. Demikian pula halnya dengan keyakinanmu bahwa Dia tidak akan mengabulkan doamu. Ini adalah sikap yang tidak sopan karena belum tentu pengabulan doa itu berupa sesuatu yang kau inginkan langsung. Allah berhak menahannya darimu karena bisa jadi tindakan itu lebih baik bagimu.

Ibnu Atha'illah mengisyaratkan sebuah etika. Jika dipegang oleh seorang hamba, ia akan mendapatkan tujuan dan maksudnya, yaitu sikap istiqamah dan berjalan pada jalan yang lurus, seperti dalam firman Allah, "Tujukilah kami jalan yang lurus." (QS. al-Fatihah [1]: 6).

(Pasal 111)
2. Ketika secara lahir Allah menjadikanmu taat melaksanakan perintah dan secara batin menganugerahkan sikap pasrah kepada-Nya, berarti Dia telah melimpahkan nikmat yang besar padamu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KETIKA ALLAH menjadikanmu taat, dengan memberimu taufik untuk melaksanakan berbagai ketaatan, dan membuatmu rida dengan putusan Tuhanmu, berarti Dia telah melimpahkan karunia yang paling besar kepadamu. Dalam karunia itu, Dia telah menghimpun 'Ubudiyyah batin dan 'Ubudiyyah lahir pada dirimu.

Kedua perkara inilah yang menuntutmu untuk menghambakan diri kepada Allah semata. Lantas, mengapa kau masih tamak? Apa lagi yang kau cari setelah mendapat dua perkara itu jika kau seorang hamba sejati? Ketahuilah, tak ada kedudukan yang sempurna, kecuali saat kau berjuang dalam 'ubudiyyah lahir dan 'ubudiyyah batin.

(Pasal 112)
3. Tidak setiap orang yang memperoleh keistimewaan sepenuhnya terbebas dari dorongan nafsu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

TIDAK SETIAP ORANG yang mendapatkan perkara luar biasa, seperti dapat mempersingkat perjalanan, terbang di udara, atau berjalan di atas air, sepenuhnya terbebas dari gejolak nafsu, dorongan syahwat, kesalahan, dan pelanggaran.

Ibnu Atha'illah berkata, "Tidak semua orang yang mendapat karamah terbebas dari salah." Bahkan mungkin, sebagian orang yang mendapatkan karamah itu tidak mampu istiqamah.

Karamah sejati adalah sikap istiqamah yang dimiliki seseorang. Lain halnya dengan karamah yang berupa perkara-perkara luar biasa yang kadang kala terjadi pada orang yang tidak beristiqamah dengan sempurna. Bahkan, karamah seperti ini banyak terjadi pada para pemula dan tidak tampak pada orang yang sudah benar-benar istiqamah dan tawakal. Sekalipun demikian, keduanya termasuk orang-orang yang dekat dengan Allah. Oleh karena itu, kita harus tetap menghormati mereka dan memuliakannya. Namun, ahli istiqamah lebih harus dimuliakan daripada ahli karamah.

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Senin, 22 Oktober 2018

Kitab al-Hikam (Pasal 107-109) : Salah Satu Tanda Lemahnya Iman adalah Tidak Melihat Lembutnya Takdir

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).

(Pasal 107).
1. Siapa yang mengira kemahalembutan-Nya terlepas dari kemahakuasaan-Nya, berarti ia memiliki pandangan yang sempit.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KEMAHAKUASAAN ALLAH terlihat saat Allah menimpakan petaka dan ujian kepadanya. Jika ia mengira bahwa kelembutan Allah itu terpisah dari kekerasan-Nya, hal itu menandakan pandangannya sempit. Sekiranya pandangannya sempurna, ia akan menyadari bahwa dalam petaka dan ujian itu ia banyak mendapatkan kelembutan Allah.
Misalnya, dengan ujian itu, ia bisa mendekatkan diri kepada-Nya.

Ujian yang ditimpakan Allah kepada hamba-hamba-Nya pasti bertolak belakang dengan keinginan mereka dan membuat nafsu syahwat mereka meronta. Tentu setiap hal yang mengganggu atau menyakiti nafsu pasti akan berbuah baik, bahkan sebelum hamba itu kembali kepada Allah dan mengetuk pintu-Nya. Ini adalah faedah terbesar dari ujian dan cobaan. Hamba yang mendapatkan ujian akan mendapati bahwa jiwanya lemah, kekuatannya terbatas, dan sifat-sifat yang telah mendorongnya melakukan dosa atau maksiat serta menguatkan keinginannya terhadap dunia adalah batil.

Dengan ujian itu, biasanya seorang hamba akan meraih ketundukan hati, sabar, rida, tawakal, zuhud, dan ingin bertemu Allah. Bagaimanapun, sebiji sawi amalan hati lebih baik daripada segunung amalan anggota tubuh. Dengan ujian itu pula, ia akan mendapatkan penghapusan dosa dan kesalahan serta meraih kelembutan Ilahi lainnya.

(Pasal 108)
2. Bukan ketidakjelasan jalan yang dikhawatirkan dari dirimu. Yang dikhawatirkan adalah menangnya hawa nafsu atas dirimu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

"KETIDAKJELASAN JALAN" bermakna ketidakjelasan jalan 'Ubudiyyah yang dapat menghantarkanmu ke hadirat Tuhanmu saat kau mengalami satu ahwal. Padahal, jalan 'Ubudiyyah ini telah dijelaskan syariat. Siapa yang menelaah al-Quran dan sunah maka ia akan mendapatkan bimbingan gamblang dalam meniti jalan itu.

'Ubudiyyah-mu dalam ketaatan adalah dengan menyaksikan karunia ketaatan itu. 'Ubudiyyah dalam maksiat adalah dengan beristighfar dan bertobat. Adapun 'Ubudiyyah-mu dalam kenikmatan adalah dengan mensyukuri nikmat tersebut dan 'Ubudiyyah dalam cobaan adalah dengan bersabar.

Dalam semua kondisi di atas, yang dikhawatirkan dari dirimu adalah kemenangan hawa nafsu atas dirimu sendiri sehingga ia membutakan matamu sampai kau tidak bisa melihat jalan tujuanmu. Ia bisa membuatmu bersikap sombong dan 'ujub atas ketaatanmu, mendorongmu untuk selalu bermaksiat, mengabaikan nikmat dan tidak mensyukurinya, atau gelisah dan sedih saat menerima musibah.

Bisa jadi makna hikmah di atas adalah yang dikhawatirkan darimu, bukan ketidaktahuanmu tentang mana di antara sekian amal yang harus kau utamakan. Ini akan kau alami jika kau tidak dibimbing oleh seorang syekh atau guru. Yang dikhawatirkan darimu justru adalah saat hawa nafsu mengalahkanmu. Hawa nafsu akan menghalangimu untuk melakukan amalan-amalan tersebut sehingga kau malah mengurungkan niat meniti jalan menuju Tuhan. Bahkan, kau meninggalkan jalan yang semestinya kau gunakan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Jika kau tidak mengetahui mana yang lebih utama di antara semua amal itu, sebaiknya kau mencari seorang syekh pembimbing agar kau diajari dan dibimbingnya.

(Pasal 109)
3. Maha Suci Dzat yang menyembunyikan keistimewaan (seorang wali) dengan menampakkan sifat-sifat kemanusiaan (nya), dan memperlihatkan keagungan rububiyah-Nya di dalam kehambaan (makhluk-Nya).

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

DI ANTARA "keistimewaan" yang dimaksud dalam hikmah di atas adalah ilmu pengetahuan dan rahasia-rahasia Ilahi yang diberikan dan dilimpahkan Allah ke dalam hati para wali-Nya.

"sifat-sifat kemanusiaannya" ialah hal-hal duniawi yang biasa dialami dan dihadapi manusia secara umum. Terkadang, sebagian wali berprofesi sebagai pengemudi keledai tunggangan atau penenun. Bisa jadi tak ada seorang pun yang mengetahui bahwa ia adalah seorang wali karena keistimewaan mereka tertutup profesi yang digeluti atau tersamar oleh sikap-sikap mereka yang tidak berbeda dengan kebanyakan manusia lainnya, seperti bertengkar atau beradu mulut dengan orang.

Namun, terkadang pula, Allah menampakkan tanda-tanda keistimewaan itu pada sebagian manusia, seperti pada para dai. Allah menampakkannya pada para dai agar dengan peran mereka seluruh manusia menjadi baik dan sempurna.

Dan keagungan rububiyyah-Nya terlihat ketika Dia memperlihatkan kehambaan makhluk. Artinya, keagungan rububiyyah Allah akan tampak manakala Dia memperlihatkan tanda kehambaan seluruh makhluk. Yang dimaksud dengan tanda kehambaan makhluk adalah kondisi-kondisi yang membuat seorang makhluk membutuhkan Tuhan, seperti penyakit atau kemiskinan. Seorang hamba, jika mengalami salah satu kondisi itu, ia akan berlindung kepada Tuhannya dan memohon agar diselamatkan dari kondisi itu.

Di sinilah rububiyyah Allah akan ditampakkan-Nya kepada hamba-Nya itu. Allah ingin menegaskan bahwa hamba itu memiliki Tuhan Yang Maha Kuasa dan bisa menghilangkan kondisi yang dialaminya. Tanpa hal itu, Allah tidak akan mengenalkan keagungan rububiyyah-Nya. Tanpa hal itu juga, keagungan rububiyyah Allah hanya akan terselubung dan tidak akan tampak ke permukaan.

Oleh sebab itu, asy-Syadzili berkata, "'Ubudiyyah adalah isi. Ia akan ditampakkan oleh rububiyyah."

Maha Suci Tuhan Yang Maha Lembut dan Maha Meliputi segala sesuatu.

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 106) : Penawar Pedihnya Cobaan

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).

(Pasal 106)
1. Agar ujian terasa ringan, engkau harus mengetahui bahwa Allahlah yang memberimu ujian. Dzat yang menetapkan beragam takdir atasmu adalah Dzat yang selalu memberimu pilihan terbaik.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KAU HARUS SADAR bahwa Allah yang mengujimu, bukan yamg lain. Dia yang lebih mengetahui maslahatamu daripada dirimu sendiri. Kesadaran ini akan menjadi sebab kebahagiaan, kesenangan, hiburan, ketawakalan, dan kesabaranmu. Dzat yang menetapkan berbagai perkara yang ditakdirkan untukmu, seperti penyakit, hilangnya harta dan anak, atau yang lainnya, adalah Dzat yang memilihkan untukmu perkara terbaik yang sesuai denganmu.

Dalam kehidupan ini pun kau kerap menyaksikan bahwa orang yang selalu berbuat baik kepadamu bisa saja sewaktu-waktu bersikap buruk dan berbuat kasar kepadamu. Sekalipun demikian, kau tetap sabar menghadapi sikap buruknya karena mungkin saja kekasaran dan keburukan sikapnya itu didasari oleh niat baik dari dalam lubuk hatinya.

Demikian pula seorang hamba, jika ia mengetahui bahwa Allah swt. Maha Pemurah, Maha Lembut, dan Maha Melihat kepadanya, setiap petaka dan ujian yang dijatuhkan kepadanya tidak perlu dipedulikan karena Allah tidak menghendaki darinya kecuali kebaikan. Dengan kesadaran itu, ia akan berbaik sangka kepada Allah dan yakin bahwa itu adalah pilihan-Nya untuknya. Ia harus yakin bahwa dalam ujian itu terkandung maslahat tersamar bagi dirinya yang tidak diketahui, kecuali oleh Allah.

Allah swt. berfirman, "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui." (QS. al-Baqarah [2]: 216).

Abu Thalib al-Makki berkata tentang ayat ini, "Seorang hamba benci kemiskinan, kekurangan, kelemahan, dan bahaya, padahal itu lebih baik baginya di hari akhir. Mungkin ia suka kekayaan, kesehatan, dan popularitas, padahal di sisi Allah itu lebih buruk baginya dan lebih jelek akibatnya."

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 104-105) : Kebutuhan Orang 'Arif terhadap Allah Tidak Pernah Hilang

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).

(Pasal 104)
1. Seorang 'arif selalu merasa butuh pada-Nya dan hanya merasa tenang jika bersama-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KEBUTUHAN SEORANG 'arif selalu ada karena ia melihat kuasa Allah yang Maha Menyeluruh, mengenali dirinya sendiri dengan baik, dan menyadari kebutuhannya setiap saat. Lain halnya dengan orang yang tidak 'arif, ia terkadang butuh, lalu berdoa, terkadang pula berdoa, namun tidak butuh. Hal itu dikarenakan kebutuhan orang-orang awam bergantung pada adanya dorongan sebab-sebab. Mereka terlalu didominasi oleh indra dalam penyaksiannya. Jika sebab-sebab itu hilang dari mereka, kebutuhan mereka pun akan sirna.

Sekiranya mereka melihat kuasa Allah yang menyeluruh, niscaya mereka mengetahui bahwa kebutuhan mereka kepada Allah bersifat abadi. Mereka tidak akan tenang dan hati mereka tidak akan bergantung kecuali kepada Allah semata, karena sesekali mereka merasa butuh kepada sesuatu, tetapi mereka menolak sesuatu itu. Ini menandakan bahwa "kebutuhan akan bantuan-Nya" dan "tergeraknya lisan untuk meminta kepada-Nya" merupakan dua sifat orang-orang 'arif.

(Pasal 105)
2. Allah menerangi alam lahir dengan cahaya makhluk-makhluk-Nya, dan menerangi alam batin dengan cahaya sifat-sifat-Nya. Cahaya alam lahir pasti terbenam, dan cahaya hati tak kan pernah padam. Karena itu seorang penyair berkata, "Matahari siang terbenam dengan datangnya malam, matahari hati takkan pernah sekalipun menghilang."

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ALLAH MENERANGI seluruh langit dan bumi dengan cahaya dari jejak sifat-sifat-Nya atau dengan cahaya matahari, bulan, dan bintang, yang kesemuanya mencerminkan sifat qudrah dan iradah Allah. Seluruh fenomena alam nyata ini menjadi terbuka bagi kita dengan cahaya bintang-bintang. Saat itu, kita bisa melihat seluruh alam semesta dan mengambil manfaat darinya atau menghindari bahayanya.

Allah menerangi relung batin dengan ilmu pengetahuan yang bersumber dari penampakan sifat-sifat-Nya pada hati orang-orang 'arif. Relung batin orang-orang 'arif itu menjadi terbuka dengan cahaya ilmu pengetahuan yang bersumber dari sifat-sifat Allah atau meresapnya sifat-sifat itu dalam hati mereka. Saat itulah, orang-orang 'arif akan bisa melihat berbagai sifat yang ada dalam batin mereka sehingga mereka akan menghindari bahayanya dan mengambil manfaatnya.

Alam semesta bisa nyata dengan cahaya makhluk-Nya dan relung batin bisa nyata dengan cahaya sifat-sifat-Nya. Cahaya makhluk bersumber dari sesuatu yang hadist (baru), sedangkan cahaya sifat-sifat-Nya bersumber dari Dzat yang Qadim (terdahulu). Semua cahaya lahir (yang berasal dari makhluk) itu akan redup.

Cahaya matahari akan hilang di malam hari. Cahaya bintang dan bulan akan hilang di siang hari. Namun, cahaya hati yang bersumber dari penyaksian terhadap sifat-sifat Allah yang Qadim tidak akan pernah hilang dan redup. Tentu saja cahaya yang bersumber dari Yang Maha Qadim tidak akan sirna.

Yang membuat cahaya itu tidak tampak adalah sifat-sifat kemanusiaan yang ada pada diri orang-orang 'arif, sehingga cahaya itu seolah-olah tak ada. Padahal, cahaya itu tetap ada dalam hati mereka. Oleh sebab itu, seorang penyair berkata, "Sesungguhnya, matahari siang terbenam menjelang malam, namun matahari hati tiada pernah tenggelam."

Syair lain mengatakan:

"Matahari pencinta Tuhan akan terbit di malam hari. Ia akan memancarkan sinarnya dan tak pernah terbenam."

Di sini terkandung peringatan bahwa perkara-perkara yang abadi itulah yang harus disukai, disenangi, perlu dilestarikan, dan dijaga kondisinya. Lain halnya dengan perkara-perkara fana yang bisa terbenam, ia tak perlu digandrungi. Bila demikian, seorang hamba akan mengikuti keyakinan dan prinsip Ibrahim saat ia berkata, "Saya tidak suka sesuatu yang terbenam dan hilang."

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 100-103) : Kefakiran adalah Sifat Dasar Manusia

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).

(Pasal 100)
1. Ketergantungan kepada Allah adalah hakikatmu. Sedangkan munculnya sebab-sebab ketergantungan adalah pengingat akan hakikatmu yang tak kau sadari itu. Dan ketergantungan yang bersifat hakiki itu takkan mungkin pernah terpenuhi oleh sesuatu yang nisbi.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

JIKA KAU mengerti bahwa kau tidak mungkin ada tanpa adanya bantuan Allah, berupa nikmat penciptaan dan pemenuhan semua kebutuhanmu, maka sudah semestinya kau sadar bahwa ketergantungan kepada Allah adalah hakikat atau substansi dirimu.

Namun kebanyakan manusia tidak menyadari hakikat diri mereka, terutama ketika mereka sedang diberi nikmat kesehatan dan kekayaan. Bahkan lebih dari itu, mereka tidak hanya lupa terhadap hakikat diri mereka tetapi juga lupa terhadap Tuhan mereka. Oleh karena itu, Allah menurunkan kepada mereka "sebab-sebab ketergantungan kepada Allah" agar mereka kembali sadar dan ingat. "Sebab-sebab ketergantungan kepada Allah" itu bisa berupa penyakit, rasa lapar, haus, panas, dingin, dan sebagainya.

"Sebab-sebab ketergantungan kepada Allah" itu akan membuatmu sadar dan ingat kembali akan hakikat dirimu, yang sebelumnya tertutup oleh kesehatan dan kekayaan. Sehingga di saat itu pula kau akan melaksanakan hak-hak 'Ubudiyyah kepada Allah, dan berdoa kepada-Nya agar memehuhi kebutuhanmu dan menghapus segala deritamu.

Sebagian orang mengatakan, "Yang membuat Firaun berani mengaku sebagai tuhan adalah karena ia selalu dalam keadaan sehat dan segar bugar selama empat puluh tahun. Ia tidak pernah sakit, meskipun itu sakit kepala. Kekayaannya melimpah dan kekuasaannya tak terbatas. Karena itulah ia merasa seperti Tuhan. Seandainya ia sakit, sekali saja, atau merasa bosan dengan kehidupan, niscaya itu akan menghalanginya untuk mengaku diri sebagai Tuhan."

Dan ini pula yang terjadi pada mayoritas manusia. Kecuali orang-orang yang 'arif. Karena mereka selalu menyadari hakikat diri mereka. Dan mereka tidak perlu lagi diingatkan. "Sebab-sebab ketergantungan" yang Allah timpakan kepada mereka hanyalah untuk memperlihatkan kesungguhan penghambaan mereka.

Cobaan dan penderitaan hidup justru semakin membuat mereka merasa tergantung kepada Allah, semakin membuat mereka taat dan kembali kepada-Nya. Dan dengan keridaan dan kepasrahan yang mereka perlihatkan itu, pahala mereka semakin bertambah dan kedudukan mereka di mata Allah pun semakin mulia.

"Ketergantungan kepada Allah" yang merupakan hakikat atau substansi manusia ini tidak mungkin bisa dihilangkan oleh sesuatu yang bersifat sementara atau nisbi. Dengan kata lain, walaupun kau kaya, sehat atau berkuasa, tetap saja kau tidak bisa lepas dari ketergantungan kepada Allah. Kekayaan, kesehatan ataupun kekuasaan adalah relatif dan sementara. Bukan perkara yang sulit bagi Allah untuk menghilangkan itu semua dari dirimu dan menggantinya dengan yang sebaliknya, sehingga kau benar-benar merasa betapa hidup ini tergantung kepada Allah.

(Pasal 101)
2. Sebaik-baik waktumu adalah ketika kau menyadari betapa tergantungnya dirimu kepada Allah dan betapa hinanya dirimu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

INI DIANGGAP waktu terbaik karena di waktu ini kau merasa hadir dengan Tuhanmu. Kau palingkan pandanganmu dari segala media, sarana, dan sebab-sebab yang membuatmu semakin jauh dari-Nya. Lain halnya ketika kau merasa kaya dan mulia, maka itu adalah waktu terburuk bagimu.

Dikisahkan dari 'Atha as-Silmi bahwa ia, selama tujuh hari, tidak mencicipi sedikit pun makanan dan tidak bisa melakukan apa-apa. Namun, hatinya bahagia mengalami hal itu. Ia berkata, "Tuhanku, sekiranya engkau tidak memberiku makan tiga hari lagi ke depan, aku akan shalat menyembah-Mu sebanyak seribu rakaat."

Diceritakan pula bahwa suatu malam, Fatah al-Mushili pulang ke rumahnya. Ia tidak mendapati hidangan makan malam, lampu penerang, dan tidak pula kayu bakar. Ia tetap memuji Allah dengan mengucap alhamdulillah seraya beribadah kepada-Nya. Ia berdoa, " Tuhanku, dengan sebab dan wasilah (perantara) apalagi agar Engkau memperlakukanku seperti memperlakukan para wali-Mu?."

Demikian pula yang terjadi pada Fudhail bin Iyyadh. Ia berkata, "Dengan amal apa lagi supaya aku layak mendapatkan hal ini dari-Mu agar aku terus mengalaminya."

Banyak kejadian serupa yang terjadi pada orang-orang yang dekat dengan Allah. Oleh sebab itu, Ibnu Atha'illah berkata, "Kebutuhan adalah hari raya para murid."

(Pasal 102)
3. Apabila Allah telah membuatmu jemu dengan makhluk, ketahuilah bahwa Dia hendak membukakan untukmu pintu kemesraan dengan-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

DI ANTARA CONTOH sikap jemu terhadao makhluk adalah merasa muak ketika melihat perilaku manusia, merasa lelah menyembunyikan rahasia dari mereka, atau merasa bahwa mereka tidak dapat mencukupi kebutuhanmu sama sekali. Dengan perasaan jemu ini, Allah hendak membukakan pintu kedekatan-Nya denganmu. Jika Dia telah membuka pintu itu dan menyerumu dengan panggilan-Nya, kau akan menjadi milik-Nya sendirian sehingga kau akan membenci selain-Nya.

Ini seperti yang dialami Abu Yazid. Dikisahkan bahwa ia mendapatkan berbagai keajaiban dan keistimewaan. Kepadanya ditanyakan, "Apakah semua itu membahagiakanmu?" Dia menjawab, "Saya tidak sedikit pun merasa bahagia dengan ini semua." Kemudian, kepadanya dikatakan, "Kau benar-benar hamba Allah yang sejati."

(Pasal 103)
4. Ketika lisanmu digerakkan untuk meminta, berarti Dia hendak memberimu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

DIAM ADALAH sifat yang dituntut dari seorang hamba yang tak lagi membutuhkan perkara duniawi dan tidak lagi memperhatikan berbagai kebutuhannya.

Namun, Allah bisa saja melepas tuntutan diam itu darimu. Misalnya, dengan memberimu kemiskinan dan kebutuhan sehingga kau pun terdorong untuk berdoa kepada-Nya. Maka pada saat itulah lisanmu digerakkan untuk meminta kepada-Nya dengan lisan keterdesakan. Ini berarti juga bahwa keinginanmu akan terwujud, sebab janji Allah untuk mengabulkan doa seorang yang terdesak kebutuhan pasti akan ditepati-Nya. Allah tidak pernah melanggar janji-Nya.

Rasulullah saw. bersabda, "Siapa yang diberi kesempatan berdoa maka pengabulannya tidak akan terhalang." Pengabulan doa itu bisa berupa sesuatu yang dimintanya, bisa pula selainnya; bisa langsung atau tidak langsung.

Seseorang berkata, "Pengabulan ini terjadi bila doa itu bersumber dari ikhtiar dan niat baik. Adapun jika ia mengalir saja dari lisan tanpa disertai niat dan tujuan, pengabulannya yang berupa sesuatu yang diminta mungkin agak sedikit telat."

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 98-99) : Dalam Kemunculan dan Kelestariannya, Alam Membutuhkan Allah

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).

(Pasal 98)
1. Ada dua nikmat yang pasti dialami dan dirasakan oleh semua makhluk: nikmat penciptaan dan nikmat pemenuhan kebutuhan.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KEDUA NIKMAT ini dirasakan oleh setiap yang berwujud. Setiap yang ada, awalnya tidak ada dan nihil. Nikmat penciptaan telah menghilangkan ketiadaan itu darinya sehingga ia menjadi ada. Tanpa nikmat itu, niscaya ia tetap tidak ada. Sesuatu yang tidak ada itu tentu tidak berharga.

Ketika keberadaannya membutuhkan pertolongan Ilahi agar sosok dan rangka fisiknya tetap ada, Allah membantunya dengan memberinya manfaat dan melindunginya dari bahaya. Oleh karena itu, nikmat penciptaan telah menghilangkan ketiadaan sebelumnya, sedangkan nikmat pemenuhan atau bantuan Ilahi dapat menghilangkan ketiadaan sesudahnya dan menggantinya dengan wujud yang berkesinambungan.

Tanpa nikmat penciptaan, segala sesuatu tidak akan keluar dari ketiadaan menuju wujud. Ia akan tetap ma'dum (tidak ada). Kemudian, tanpa nikmat pemenuhan dan bantuan Allah, wujud segala yang ada tidak akan sempurna. Ia tidak akan kekal, bahkan ia akan cepat rusak dan luluh lantak dalam waktu yang singkat. Semuanya berlaku pada seluruh makhluk, yang tinggi maupun yang rendah.

Ibnu Atha'illah menyebutkan bagian-bagian dari proses penciptaan itu. Ia berkata:

(Pasal 99)
2. Mula-mula, Dia memberimu nikmat penciptaan, lalu memenuhi semua kebutuhanmu secara terus-menerus.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

SEKIRANYA SEORANG HAMBA mengetahui bahwa awal kesinambungan wujudnya dari Allah, niscaya dia mengetahui bahwa kebutuhan adalah sifat aslinya. Maka dari itu, ia amat membutuhkan pertolongan karena setelah berwujud, setiap saat ia teramat miskin dan papa. Ia amat membutuhkan pertolongan dan pemenuhan kebutuhan.

Berikutnya, pertolongan Ilahi ini pun datang berturut-turut kepadanya. Ada yang berupa makanan untuk membuatnya kenyang dan menguatkan tubuhnya. Ada pula yang berupa makanan untuk ruhnya, seperti keimanan, ilmu, dan pengetahuan.

Peetolongan Ilahi yang pertama meliputi seluruh makhluk, mukmin maupun kafir, seperti halnya nikmat penciptaan. Namun, pertolongan kedua khusus untuk kaum mukmin saja.

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 97) : Maksiat yang Melahirkan Kehinaan Lebih Baik daripada Taat yang Mengakibatkan Kesombongan

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).

(Pasal 97)
1. Maksiat yang melahirkan rasa hina dan kekurangan lebih baik daripada ketaatan yang melahirkan rasa bangga dan kesombongan.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

TAK RAGU BAHWA kehinaan dan kekurangan termasuk sifat-sifat 'Ubudiyyah (kehambaan seorang manusia). Memiliki kedua sifat ini dapat mengantarkan seseorang ke hadirat Ilahi. Sementara itu, sombong dan angkuh merupakan sifat-sifat rububiyyah-Nya yang hanya layak dimiliki oleh Allah. Sifat ini dapat membuat seseorang rendah, hina, dan tidak diterima.

Abu Madyan berkata, "Kekalahan seorang pemaksiat lebih baik daripada kemenangan seorang yang taat."

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Sabtu, 20 Oktober 2018

Kitab al-Hikam (Pasal 94-96) : Penolakan Bisa Jadi adalah Pemberian

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).

(Pasal 94)
1. Ketika Dia memberimu, Dia mempersaksikan kebaikan-Nya. Ketika Dia tidak memberimu, Dia memperlihatkan kuasa-Nya. Pada semua itu, Dia memperkenalkan diri kepadamu dan mendatangimu lewat kelembutan-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KETIKA MEMBERIMU, Allah menampakkan sifat-sifat kebaikan-Nya, berupa kemuliaan, kemurahan, kebaikan, kelembutan, kasih sayang, dan sebagainya. Ketika Dia menolak memberimu, Dia menampakkan sifat-sifat kuasa-Nya yang mengandung keperkasaan, keunggulan, paksaan, kesombongan, kekerasan, dan ketidakbutuhan-Nya. Dalam dua kondisi itu, Allah mendekatimu dan menghendakimu untuk mengenali-Nya.

Kita pun demikian. Bila ingin dikenal orang lain, kita bisa memberi pemberian kepada orang itu, bisa juga menyiksanya. Kedua cara tersebut menjadi sebab kita dikenal oleh orang lain.

Maka pahamilah, dengan kedua cara itu, Allah mendekatimu. Karena pengetahuanmu tentang sifat-sifat kebaikan dan kuasa-Nya merupakan karunia dan kasih sayang terbesar Allah untukmu. Oleh sebab itu, kau harus mensyukurinya.

Kesimpulannya, yang dituntut dari para hamba adalah agar mereka mengenali Tuhannya melalui sifat-sifat dan nama-nama baik-Nya. Tak ada jalan lain untuk mengenali-Nya, kecuali Allah sendiri yang mengenalkan diri-Nya kepada mereka.

Caranya, bisa dengan menurunkan musibah-musibah dan cobaan-cobaan-Nya, bisa pula dengan menganugerahkan pemberian-pemberian-Nya yang sesuai atau berbeda dengan keinginan mereka. Siapa yang mengenal Tuhannya dengan baik, ia tidak akan terlena oleh kepentingan diri sendiri. Ia tidak akan membedakan antara pemberian dan penolakan Allah karena masing-masing merupakan jalan yang membawanya menuju makrifat tentang sifat Allah, baik itu yang berhubungan dengan sifat-sifat baik-Nya maupun dengan sifat-sifat kuasa-Nya.

(Pasal 95)
2. Yang membuatmu kecewa ketika tidak diberi adalah karena engkau tidak memahami hikmah Allah di dalamnya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

BILA KAU merasa kecewa dan sedih karena tidak diberi oleh-Nya, itu artinya, kau tidak memahami hikmah mengapa Allah tidak memberimu. Sekiranya Allah memberimu pemahaman, niscaya kau akan menikmati kondisimu itu. Bila kau paham mengapa kau tidak diberi, tentu kau akan sadar bahwa dengan penolakan-Nya itu, Dia ingin membimbingmu menuju pintu-Nya dan membuatmu bergantung kepada-Nya sehingga kau menjadi salah seorang yang dicintai-Nya. Jika Allah mencintai seorang hamba-Nya, Dia akan melindunginya dari perkara-perkara duniawi. Kau juga akan memahami bahwa Allah mendorongmu untuk menempuh jalur para muqarrabin.

Dikisahkan bahwa Fudhail berdoa, "Ya Tuhanku, Engkau buat aku dan keluargaku lapar. Engkau buat aku dan keluargaku telanjang, tidak memiliki pakaian. Engkau lakukan ini hanya untuk hamba-hamba-Mu yang khusus. Dengan cara apa lagi aku memohon kebaikan ini dari-Mu?."

Bila kau paham mengapa kau tidak diberi, kau tentu sadar bahwa dunia ini fana dan kenikmatannya akan sirna sehingga kau keluar dari sana dengan membawa bekalmu untuk akhirat kelak. Bila kau paham mengapa kau tidak diberi, tentu kau akan sadar bahwa penolakan Allah itu adalah karunia dari-Nya.

(Pasal 96)
3. Adakalanya Dia membukakan pintu ketaatan untukmu, namun tidak membukakan pintu penerimaan. Adakalanya Dia menetapkanmu berbuat dosa, namun ternyata dosa itu menjadi sebab sampainya dirimu kepada-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

HAL ITU DIKARENAKAN, ketaatan terkadang disertai pula dengan kekurangan-kekurangan yang merusak keikhlasan, seperti sifat 'ujub, sikap bergantung pada ketaatan itu, dan kebiasaan merendahkan orang yang tidak melakukan ketaatan. Semua keburukan itu menghambat ketaatanmu untuk diterima Allah.

Di sisi lain, dosa terkadang diikuti dengan permohonan perlindungan kepada Allah dan maaf dari-Nya, penghinaan terhadap diri sendiri, dan pengagungan orang yang tidak melakukannya. Oleh karena itu, dosa bisa menjadi sumber pengampunan Allah untuknya dan sampainya ia ke hadirat-Nya.

Atas dasar itu, seorang hamba tidak patut melihat penampilan lahir segala sesuatu, tetapi hendaknya ia melihat kepada hakikat dan intinya sehingga jika ia sedang taat, ia akan takut. Namun, jika ia sedang bermaksiat, ia tetap berharap.

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.