Tampilkan postingan dengan label Kitab Al-Hikam Terjemah/Tasawuf/Buku Kedua/Ibnu Atha'illah al-Iskandari. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kitab Al-Hikam Terjemah/Tasawuf/Buku Kedua/Ibnu Atha'illah al-Iskandari. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 November 2018

Kitab al-Hikam (Pasal 107-109): Dua Macam Tafakur

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).

Al-Hikam (Pasal 107)
1. Tafakur adalah petualangan hati di medan ciptaan Allah.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

TAFAKUR ADALAH perjalanan hati di ranah kemakhlukan atau di medan makhluk dan ciptaan Allah, berupa langit, bumi, dan seluruh isinya. Dengan kata lain, tafakur adalah perjalanan hati di tengah berbagai jenis makhluk dan ciptaan Allah untuk menghasilkan pengetahuan dan pelajaran serta tanda-tanda yang menghantarkan kepada makrifat Allah dan mengenali sifat-sifat kesempurnaan dan keindahan-Nya. Jika hati bertafakur tentang wujud makhluk, ia akan dituntun kepada wujud Sang Pencipta. Inilah tafakurnya orang-orang awam.

Jika hati bertafakur tentang kebaikan dan buahnya--berupa pahala dan kedekatan dengan Yang Maha Mulia--ia akan terdorong untuk melaksanakan kebaikan karena berharap mendapatkan pahala itu. Jika hati berpikir tentang keburukan dan buahnya--berupa--azab ia akan terdorong meninggalkan keburukan dan tidak mau mendekatinya. Inilah tafakurnya orang-orang abid.

Apabila hati bertafakur tentang kefanaan dan ketidakmampuan dunia untuk memenuhi semua keinginan, ia akan bertambah zuhud dan meninggalkannya. Inilah tafakurnya para zahid.

Bila hati bertafakur tentang nikmat dan karunia Allah. Kecintaannya terhadap Sang Pemberi nikmat akan semakin besar. Inilah tafakurnya orang-orang 'ârif.

Dalam bertafakur, yang boleh dipikirkan hanyalah makhluk Allah, bukan dzat dan hakikat-Nya karena berpikir tentang dzat Allah dilarang. Rasulullah saw. bersabda, "Berpikirlah tentang ciptaan-Nya. Jangan berpikir tentang Khalik karena kalian takkan sanggup memperkirakan-Nya."

Al-Hikam (Pasal 108)
2. Tafakur adalah lentera hati. Jika lenyap, hati pun gelap.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

TAFAKUR SEUMPAMA lentera atau lampu yang menerangi kegelapan. Dengan cahaya yang terpancar dari lentera itu, hakikat dan kebenaran segala sesuatu akan tampak sehingga yang benar tampak benar dan yang batil tampak batil. Dengan tafakur, kebesaran dan kegungan Allah akan dikenali dan dilihat. Dengan tafakur juga, bencana-bencana dan cacat-cacat jiwa, tipuan musuh, dan tipuan dunia dapat dideteksi secara dini. Dengan tafakur pula, cara-cara untuk menghindari semua tipuan itu bisa dipelajari.

Jika tafakur sirna dari hati, hati tidak akan bercahaya. Hati akan hampa dari pikiran dan cahaya, seumpama sebuah rumah yang gelap gulita. Ketika itu, yang ada di hati hanyalah kebodohan dan tipu daya.

Al-Hikam (Pasal 109)
3. Tafakur itu dua macam: tafakur yang timbul dari pembenaran atau iman dan tafakur yang timbul dari penyaksian atau penglihatan. Yang pertama milik mereka yang bisa mengambil pelajaran, sedangkan yang kedua milik mereka yang menyaksikan dan melihat dengan mata hati.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

TAFAKUR MAKNANYA petualangan hati di medan makhluk Allah. Tafakur ada dua macam. Pertama, tafakur ahli iman yang bersumber dari pokok keimanannya. Tafakur ini bertujuan untuk naik ke kedudukan tinggi dan menambah keyakinan. Oleh sebab itu, tafakur ini disebut dengan fikrat at-taraqqi (tafakur untuk naik). Tafakur semacam ini milik para sâlikûn.

Kedua, tafakur yang bersumber dari penglihatan dan pandangan. Tafakur ini disebut dengan fikrat at-tadalli (tafakur untuk turun). Tafakur ini milik para majdzûbûn.

Tafakur pertama milik orang-orang yang bisa mengambil pelajaran, yakni orang-orang yang menyimpulkan bahwa keberadaan akibat (makhluk) dilahirkan oleh sebab (Khalik). Mereka adalah para sâlikûn saat mengalami taraqqi (naik ke atas) karena pikiran mereka bersumber dari pembenaran dan iman.

Adapun tafakur kedua milik orang-orang yang menyimpulkan bahwa keberadaan sebab (Khalik) adalah yang melahirkan akibat (makhluk). Mereka adalah para majdzûbûn saat mereka mengalami tadalli (turun ke bawah). Pikiran mereka bersumber dari penglihatan dan pandangan mata batin. Pikiran ini diperuntukkan bagi orang-orang yang dikehendaki Allah agar ahwâl mereka semakin sempurna.

Jika tidak, sebagian, atau bahkan mayoritas majdzûb akan tetap terpaku dalam kondisinya dan tak akan bangkit. Adapun selain mereka, yakni orang-orang awam, tafakur mereka tak lain hanya untuk mendapatkan pembenaran dan keimanan, bukan untuk menambah pembenaran dan keimanan.

Sumber: Kitab al-Hikam.

Kitab al-Hikam (Pasal 105-106): Umur yang Diberkahi

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).

Al-Hikam (Pasal 105)
1. Siapa yang usianya diberkahi maka dalam waktu singkat, ia mendapat anugerah Allah yang tidak bisa diungkap dengan kata-kata dan tidak bisa dijangkau dengan isyarat.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

SIAPA YANG ingin Allah berkati usianya, Dia akan memberinya kedekatan dengan-Nya sehingga dengan mudah dan dalam waktu singkat, ia akan mendapatkan anugerah Allah yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata dan tak bisa dijangkau dengan isyarat.

Jika Allah ingin memberkati umur seorang wali-Nya, Dia akan memberinya kecerdasan dan kewaspadaan tinggi (kesadaran) sehingga ia terdorong untuk selalu menggunakan waktunya dengan baik. Dengan begitu, ia akan bergerak untuk selalu melakukan amal-amal saleh setiap saat. Dalam waktu singkat, ia akan mendapatkan karunia Allah yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata dan isyarat karena anugerah itu terlampau banyak dan mulia baginya.

Ungkapan dan isyarat tak mampu melukiskannya, mengingat betapa berlimpah dan jernihnya anugerah itu. Dalam satu bulan, misalnya, ia akan meraih kedudukan tinggi yang tak pernah dialami oleh seseorang dalam seribu bulan. Seperti halnya orang yang mendapatkan anugerah malam lailatul qadar. Itu lebih baik baginya daripada beramal selama seribu bulan.

Seseorang berkata, "Setiap malam bagi seorang 'ârif sama dengan malam lailatul qadar."

Abu al-Abbas al-Mursi berkata, "Waktu kami seluruhnya adalah lailatul qadar."

Ada yang mengatakan bahwa inilah makna dari ungkapan "Kebaikan terus bertambah sepanjang umur."

Al-Hikam (Pasal 106)
2. Sungguh amat disayangkan bila kau terbebas dari kesibukan, namun tak juga menghadap kepada-Nya atau bila kau hanya mendapat sedikit rintangan, tetapi tak juga beranjak menuju-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KONDISI DI ATAS terjadi akibat tidak adanya taufik dan bantuan Allah. Sungguh amat disayangkan bila kau terbebas dari kesibukan duniawi, misalnya kau telah memiliki harta duniawi yang cukup, namun kau tidak juga sibuk menghadap Allah dengan sesuatu yang bisa mendekatkanmu kepada-Nya. Sungguh amat disayangkan!.

Amat disayangkan pula jika kau hanya mendapatkan sedikit rintangan dalam menuju Allah, misalnya kau sudah memiliki sandang dan pangan meski agak kurang, namun kau tidak juga menyibukkan diri dengan sesuatu yang mendekatkan dirimu kepada-Nya.

Bagaimana halnya dengan orang yang tidak memiliki harta duniawi yang cukup dan masih membutuhkan usaha dan pekerjaan? Apakah ia dikategorikan sebagai orang yang merugi bila ia sibuk dengan usaha dan pekerjaannya sehingga tidak menghadap Allah dan tidak segera berangkat menuju-Nya? Ya, tetapi ia hanya mendapat separuh kerugian karena hanya menghadap Allah dan berjalan menuju-Nya amat dituntut dari seluruh makhluk. Allah swt. berfirman, "Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk menyembah-Ku."

Oleh karena itu, yang wajib bagi setiap orang ialah menyingkirkan segala rintangan, meninggalkan kesibukannya, dan segera menghadap Allah. Sebuah nasihat mengatakan, "Berjalanlah menuju Allah meski harus tertatih-tatih. Jangan menunggu masa sehat karena menunggu masa sehat sama dengan pengangguran."

Allah swt. berfirman, "Berangkatlah kamu, baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. at-Taubah [9]: 41).

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 103-104): Karamah-karamah yang Diberikan kepada Hamba-Nya

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).

Al-Hikam (Pasal 103)
1. Allah memuliakanmu dengan tiga jenis kemuliaan. Pertama, Dia menjadikanmu berzikir mengingat-Nya. Andai tidak ada karunia-Nya, tentu kau tidak layak untuk berzikir mengingat-Nya. Kedua, Dia menjadikanmu dikenal lantaran Dia menisbatkan zikir tadi kepadamu. Ketiga, Dia menjadikanmu disebut-sebut di sisi-Nya sehingga nikmat-Nya padamu menjadi sempurna.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

TUHAN--YANG MEMBUATMU menyaksikan-Nya, lalu menyuruhmu menyaksikan-Nya--telah memuliakanmu sehingga kau selalu berzikir kepada-Nya dengan lisanmu, beribadah kepada-Nya, dan mendekati-Nya dengan hati dan batinmu. Allah memuliakanmu dengan tiga karamah yang dengannya kau menghimpun semua sebab kebanggaan dan sifat-sifat terpuji.

Pertama, Allah menjadikanmu berzikir kepada-Nya dengan lisanmu dan dengan ibadah lahir dan batinmu. Sekiranya bukan karena karunia-Nya, niscaya kau tidak akan layak disebut-sebut Allah karena kau tercipta untuk selalu kurang, malas, dan enggan. Oleh karena itu, zikirmu kepada-Nya adalah karunia dan anugerah-Nya yang besar kepadamu. Memangnya, siapa dirimu sampai dianggap layak untuk berzikir kepada-Nya, taat, dan bergantung kepada-Nya?.

Kedua, Allah menjadikanmu dikenal orang, yakni kau akan disebut-sebut manusia sebagai wali Allah, makhluk pilihan-Nya, dan ahli zikir kepada-Nya. Di sini Allah akan memasukkan keistimewaan-Nya pada dirimu, yaitu berupa cahaya-cahaya zikir yang menerangi lahir dan batinmu sehingga kau memiliki keistimewaan itu dan menjadi makhluk pilihan-Nya. Keistimewaan itulah yang mendorongmu untuk selalu berzikir dan mengingat-Nya.

Orang yang mendapatkan sedikit pemberian dari seorang raja saja biasanya terdorong untuk selalu mengingat kebaikan raja tersebut. Ia akan bahagia, selalu mengingatnya, dan selalu menjaga nama baiknya. Lantas, bagaimana sekiranya kau mendapatkan karunia agung dari Tuhan, Raja seluruh alam semesta, sehingga kau selalu disebut-sebut di sisi-Nya dan dikenal di tengah-tengah kaum mukmin hingga akhir zaman?.

Tengok misalnya para ulama dan orang-orang saleh yang banyak berzikir kepada Allah. Saat mereka meninggal, pujian terhadap mereka akan terus terngiang. Namanya selalu disebut orang dan tak sedikit yang mendoakan.

Ketiga, Allah menjadikanmu disebut-sebut di sisi-Nya. Kondisi ini sesuai dengan hadis qudsi, "Siapa yang mengingat-Ku dalam dirinya, Aku pun akan selalu mengingatnya dalam diri-Ku. Siapa yang berzikir mengingat-Ku di satu tempat, Aku akan mengingatnya di satu tempat yang lebih baik daripada tempatnya itu." Allah menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu dengan menyebut-nyebut namamu di sisi-Nya.

Allah swt. berfirman, "Dan sesungguhnya mengingat Allah (zikrullah) adalah lebih besar." (QS. al-'Ankabût [29]: 45). Ada yang berpendapat bahwa makna zikrullah pada ayat di atas adalah "ingatan Allah", bukan "mengingat Allah". Artinya, ketika hamba mengingat-ingat nama Allah, Allah akan jauh lebih mengingat-ingat hamba tersebut.

Al-Hikam (Pasal 104)
2. Tidak sedikit umur yang panjang, namun kurang manfaat. Tidak sedikit pula umur yang pendek, namun penuh manfaat.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

BANYAK ORANG yang berumur panjang, tetapi manfaatnya sedikit, seperti halnya umur orang-orang yang lalai dari Allah dan hanya sibuk memikirkan nafsu syahwatnya. Walaupun umur mereka panjang, hakikatnya pendek karena kurang bermanfaat.

Banyak pula orang yang berumur pendek, tetapi manfaatnya banyak. Sekalipun umur tersebut terlihat pendek, hakikatnya amat panjang karena banyak manfaatnya. Itulah makna keberkahan dalam umur.

Faedah umur tidak mesti sejalan dengan panjangnya umur karena terkadang pemilik umur pendek mendapatkan manfaat dan faedah lebih banyak daripada yang umurnya lebih panjang.

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 98-102): Meminta Imbalan atas Amal adalah Bukti Tidak Adanya Kesungguhan dalam Penghambaan

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).

Al-Hikam (Pasal 98)
1. Bagaimana kau dapat menuntut imbalan atas amal, padahal Allah yang menyedekahkan amal itu kepadamu? Bagaimana kau dapat meminta ganjaran atas keikhlasan, padahal Allah yang menghadiahkan keikhlasan itu kepadamu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

BAGAIMANA KAU MEMINTA pahala atas amal yang telah Allah sedekahkan untukmu? Tentu sikap ini tidak layak bagimu karena manusia tidak meminta imbalan dari orang lain, kecuali ia mengerjakan satu pekerjaan yang manfaatnya kembali kepada orang itu. Di sini sifat tersebut tidak ada karena manfaat amal itu hanya kembali kepada dirimu, bukan kepada Allah swt. Dia sama sekali tidak membutuhkan dirimu dan amalmu.

Selain diberikan atas dasar amal, pahala juga diberikan berdasarkan ketulusan dan keikhlasan di dalam amal itu. Dalam beramal pun, kau tidak layak meminta balasan atas ketulusanmu karena ketulusan itu adalah hadiah Allah untukmu. Oleh sebab itu, Ibnu Atha'illah berkata, "Bagaimana kau dapat meminta ganjaran atas keikhlasan, padahal Allah yang menghadiahkan keikhlasan itu kepadamu?."

Di sini Ibnu Atha'illah menggunakan lafal "sedekah dan hadiah" sebagai pengingat atas hal yang disebutkan, yaitu bahwa amap dan ikhlas di dalamnya tak lain manfaatnya untuk dirimu sendiri. Oleh sebab itu, tak patut dan amat buruk bagimu jika meminta imbalan atau pahala atas amal tersebut. Maka dari itu, ungkapan hikmah di atas menggunakan lafal pertanyaan "bagaimana" yang menunjukkan pertanyaan, tetapi berkonotasi cibiran.

Dalam hikmah di atas, untuk mengungkapkan amal lahir, Ibnu Atha'illah menggunakan lafal "menyedekahkan", sedangkan untuk mengungkapkan keikhlasan yang merupakan amal batin dan poros diterimanya amal lahir, beliau menggunakan lafal "menghadiahkan". Hal itu dimaksudkan untuk menjelaskan perbedaan antara keduanya (amal dan keikhlasan) dalam hal kemuliaan, seperti perbedaan antara sedekah dan hadiah. Sedekah diberikan kepada kaum fakir, sedangkan hadiah diberikan kepada orang-orang kaya sehingga hadiah lebih menunjukkan kehormatan orang yang diberi hadiah itu.

Al-Hikam (Pasal 99)
2. Ada kaum yang cahayanya mendahului zikir. Ada kaum yang zikirnya mendahului cahaya. Ada kaum yang zikir dan cahayanya berada dalam posisi yang sama. Ada pula kaum yang tidak memiliki zikir dan cahaya, na'ûdzu billâh.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KAUM YANG cahayanya mendahului zikir adalah kaum majdzûbûn (orang-orang yang didekatkan Allah kepada-Nya) dan murâdûn (orang-orang yang dikehendaki Allah untuk dekat dengan-Nya). Ketika mereka menghadapi cahaya, terdengarlah pada mereka zikir-zikir tanpa beban. Zikir-zikir itu pun dengan mudah mempengaruhi mereka.

Ada pula kaum yang zikirnya mendahului cahaya. Mereka adalah para murîdûn (yang menghendaki kedekatan dengan Allah) dan sâlikûn (yang meniti jalan menuju Allah). Mereka adalah orang-orang yang terbiasa ber-mujâhadah dan bersusah payah dalam beribadah. Mereka melakukan zikir dengan penuh perjuangan. Dengan zikir itu, mereka bisa mendapatkan cahaya.

Golongan pertama, mereka meraih ketaatan kepada-Nya dengan bantuan karamah Allah. Kondisi mereka ini sesuai dengan firman Allah, "Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar." (QS. al-Baqarah [2]: 105)

Sementara itu, golongan kedua meraih karamah Allah dengan ketaatan kepada-Nya. Kondisi mereka ini sesuai dengan firman-Nya, "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (QS. al-'Ankabût [29]: 69)

Ibnu Atha'illah menyebutkan hikmah lain untuk menjelaskan kondisi dua golongan tersebut:

Al-Hikam (Pasal 100)
3. Ada orang yang berzikir agar terang hatinya, lalu dia pun menjadi pezikir. Ada orang yang terang hatinya, lalu dia pun menjadi pezikir. Ada pula yang zikir dan cahayanya sama sehingga dengan zikirnya itu ia mendapat petunjuk dan dengan cahayanya itu ia melangkah.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ADA ORANG yang berzikir agar terang hatinya. Mereka adalah para sâlikûn. Kemudian, ada orang yang terang hatinya, lalu ia berzikir. Mereka itulah para majdzûbûn. Baginya berzikir seakan bernapas seperti biasa, bahkan lebih ringan lagi. Beda halnya dengan golongan pertama (sâlikûn).

Seperti telah dijelaskan, sâlik lebih sempurna daripada majdzûb karena sâlik benar-benar mengetahui jalan menuju Allah. Mereka mendapatkan karamah dengan perjuangan dan penderitaan, sedangkan majdzûb tidak demikian karena mereka tidak pernah meniti jalan menuju Allah. Mereka mendapat karamah Allah karena Allah yang menarik mereka untuk didekatkan kepada-Nya. Seperti itulah kondisi mayoritas majdzûb. Jika tidak, sebagian dari mereka mungkin akan meniti jalan yang dipersingkat oleh pertolongan Allah untuknya sehingga ia menempuhnya dengan cepat. Di sini mungkin ia tetap menempuh jalan, tetapi ia tidak mengalami liku-likunya dan menapaki panjang jaraknya.

Ibnu Atha'illah mengisyaratkan hal-hal yang berhubungan dengan majdzûb dan sâlik dengan ucapannya:

Al-Hikam (Pasal 101)
4. Zikir yang terlihat bersumber dari penyaksian batin dan hasil berpikir.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ZIKIR YANG lahir tak lain bersumber dari penyaksian terhadap Tuhan secara batin dan hasil tafakur tentang-Nya. Masing-masing dari majdzûb dan sâlik tidak mengucapkan zikir secara lahir, kecuali setelah menyaksikan Tuhan secara batin dan memikirkan-Nya. Seorang majdzûb akan mengalami hal itu, sedangkan sâlik tidak mengalaminya karena tebalnya sifat kemanusiaannya. Meski demikian, ia tetap tidak kehilangan cahaya secara total. Jika tidak mendapatkan cahaya tersebut, tentu ia tidak akan berzikir. Seperti telah disebutkan di awal, "Sekiranya tidak ada karunia Ilahi, tidak akan ada zikir," atau, "Sekiranya tidak ada tajalli (penampakan Ilahi), tidak akan ada tahalli (penyerapan sifat-Nya)."

Maksud zikir di sini adalah seluruh amal lahir. Disebut zikir karena zikir adalah ruh amal-amal tersebut karena semua amal mengandung zikir (mengingat Allah). Masing-masing dari penyaksian dan tafakur untuk melakukan zikir dijalani oleh majdzûb dan sâlik.

Al-Hikam (Pasal 102)
5. Allah membuatmu menyaksikan-Nya sebelum memintamu menyaksikan-Nya. Maka dari itu, seluruh anggota tubuh pun mengakui ketuhanan-Nya dan semua hati dan relung batin menyadari keesaan-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ALLAH MENAMPAKKAN diri-Nya dalam hatimu. Dengan begitu, kau bisa menyaksikan-Nya berdasarkan kadar diri dan kedudukanmu sebelum Dia memintamu untuk bersaksi atas keagungan-Nya dengan zikir dan ibadahmu, karena zikir dan ibadah adalah sebentuk kesaksianmu atas keagungan Tuhan yang patut disembah dan diingat, serta pengakuan atas keesaan-Nya. Oleh karena itu, semua anggota tubuhmu akan berbicara tentang ketuhanan-Nya atau berbicara tentang segala hal yang menunjukkan ketuhanan Allah, sedangkan hati dan batin akan menyadari keesaan-Nya.

Kemungkinan maknanya adalah, di alam gaib Allah membukakan hakikat ketuhanan, keesaan, dan kepengaturan-Nya untuk para arwah. Di alam nyata, Dia juga menampakkannya dengan cara memasukkan hakikat itu ke dalam jasad-jasad. Selanjutnya, melalui lisan para nabi-Nya, para jasad itu dituntut untuk bersaksi atas ketuhanan-Nya maka semua jasad pun bersaksi dengan lisan dan ucapannya. Kesaksian itu keluar dari jasad ketika ia dituntut untuk bersaksi berdasarkan apa yang disaksikannya.

Makna ucapan Ibnu Atha'illah "Allah membuatmu menyaksikan-Nya" adalah Allah menampakkan keesaan-Nya di alam arwah. "Sebelum memintamu untuk menyaksikan-Nya" bermakna, Dia memintamu bersaksi setelah menempatkan keesaan-Nya di dalam jasad sehingga jasad berbicara tentang ketuhanan-Nya dengan lisan dan ucapan. Maksudnya, ketika Allah meminta jasad melalui lisan para nabinya untuk bersaksi, jasad pun angkat bicara dan menyaksikan keesaan-Nya.

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.

Jumat, 23 November 2018

Kitab al-Hikam (Pasal 95-97): Perbedaan antara Majdzûb (yang Didekatkan kepada Allah) dan Salîk (yang Menempuh Jalan Menuju Allah)

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).

Al-Hikam (Pasal 95)
1. Dia menunjukkan wujud nama-Nya lewat keberadaan makhluk-Nya. Dia menunjukkan sifat-sifat-Nya lewat keberadaan nama-Nya. Dia menunjukkan wujud dzat-Nya lewat keberadaan sifat-sifat-Nya. Pasalnya, tidak mungkin sifat tersebut ada dengan sendirinya. Orang-orang yang ditarik kepada-Nya (majdzûb) akan diperlihatkan kepada kesempurnaan dzat-Nya, kemudian dibawa untuk menyaksikan sifat-Nya, lalu digiring untuk bergantung kepada nama-Nya, selanjutnya dikembalikan lagi untuk menyaksikan makhluk-Nya. Adapun para sâlik, mereka mengalami kondisi sebaliknya. Akhir perjalanan para sâlik adalah awal perjalanan kaum majdzûb (yang ditarik kepada-Nya). Sementara itu, awal perjalanan sâlik adalah akhir perjalanan kaum majdzûb. Hal itu tidak berarti bahwa keduanya sama. Bisa saja keduanya bertemu di jalan. Yang satu sedang naik, sedangkan yang lain sedang turun.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ALLAH MENUNJUKKAN asma'-Nya lewat keberadaan jejak-jejak atau ciptaan-ciptaan-Nya yang baik dan sempurna. Semua ciptaan tidak akan berwujud, kecuali dari Dzat Yang Maha Mampu, Maha Berkehendak, dan Maha Mengetahui.

Dia juga menunjukkan sifat-sifat-Nya seperti qudrah (Maha Kuasa), irâdah (Maha Berkehendak), dan 'ilmu (Maha Mengetahui) lewat keberadaan asma'-Nya. Lewat sifat-sifat-Nya itu, Dia menunjukkan wujud dzat-Nya karena tak mungkin sifat ada sendiri tanpa sosok yang memiliki sifat itu.

Inilah kondisi para sâlik. Hal pertama yang tampak bagi mereka adalah jejak-jejak Allah, yaitu berupa perbuatan-Nya (af'al). Mereka kemudian menjadikan perbuatan-Nya itu sebagai bukti adanya asma' Allah. Asma tersebut menunjukkan adanya sifat-sifat-Nya. Dengan sifat-sifat itu pula, mereka membuktikan adanya dzat Allah. Merekalah yang berkata, "Kami tidak pernah melihat sesuatu, kecuali setelah itu kami melihat Allah padanya."

Sebaliknya dengan orang-orang majdzûb. Hal itu diisyaratkan oleh Ibnu Atha'illah melalui butiran hikmah sebagai berikut:

"Orang-orang yang ditarik kepada-Nya (majdzûb) akan diperlihatkan kepada kesempurnaan dzat-Nya," yaitu agar mereka melihatnya dengan mata kepala sendiri dan perasaannya.

"Kemudian, mereka dibawa untuk menyaksikan sifat-Nya," bermakna melihat hubungan sifat-sifat itu dengan dzat-Nya.

"Lalu digiring untuk bergantung kepada nama-Nya, selanjutnya dikembalikan lagi untuk menyaksikan makhluk-Nya," misalnya dengan menyaksikan hubungan antara asma' Allah dengan makhluk. Karena makhluk itu sendiri bersumber dari asma' Allah, mereka akan dikembalikan lagi untuk menyaksikan makhluk-Nya.

Hal pertama yang tampak bagi kaum majdzûb adalah hakikat Dzat Yang Suci, lalu mereka ditarik dari sana untuk melihat sifat-sifat-Nya. Selanjutnya, merekq kembali untuk bergantung kepada asma'-Nya. Setelah itu, mereka diturunkan lagi untuk melihat makhluk-makhluk-Nya. Mereka itulah yang berkata, "Kami tidak melihat sesuatu, kecuali kami sebelumnya melihat Allah."

Jika akhir perjalanan para majdzûb adalah meilhat makhluk-makhluk Allah setelah melihat Allah, akhir perjalanan para sâlik berbeda. Di akhir perjalanannya, para sâlik menyaksikan Dzat suci-Nya dan mengungkap kesempurnaan-Nya setelah sebelumnya melihat makhluk-Nya.

Dengan demikian, awal perjalanan para sâlik adalah akhir perjalanan kaum majdzûb. Namun demikian, tidak berarti kedua golongan itu sama karena di akhir perjalanannya, meski mereka juga akan ditarik Allah (jadzab), para sâlik harus memiliki terlebih dahulu keteguhan dan ilmu tentang kondisi perjalanannya serta pengetahuan tentang hambatan jiwa.

Mereka tidak akan ditarik Allah, kecuali setelah melalui perjuangan dan kesulitan. Lain halnya dengan awal perjalanan para majdzûb, mereka tidak perlu memiliki keteguhan. Oleh sebab itu, di awal perjalanannya, mereka kerap mengalami ghaibah (ketidaksadaran) dan tidak mengetahui apa yang mereka lakukan. Terkadang mereka meninggalkan kewajiban dan melakukan kemungkaran-kemungkaran syar'i. Namun, mereka tidak disiksa atas hal itu karena akal mereka, yang merupakan poros taklif, tengah tertutup oleh cahaya.

Di awal perjalanan para sâlik, mereka tidak menyaksikan kesempurnaan dzat, asma', dan sifat-Nya. Lain halnya dengan akhir perjalanan para majdzûb, mereka tidak mengalami kesadaran, kecuali setelah melihat kesempurnaan dzat, asma', dan sifat-Nya.

Para sâlik beramal untuk meningkatkan diri mereka di jalan kefanaan dan kesirnaan. Sementara itu, para majdzûb dipaksa berjalan untuk menuruni jalan keabadian dan kesadaran. Jika demikian, bisa saja keduanya bertemu di tengah jalan. Yang satu sedang naik dari makhluk menuju Khalik, sedangkan yang lain sedang turun dari Khalik menuju makhluk.

Mungkin keduanya bertemu dalam tajalli asma' dan sifat-sifat-Nya, yakni masing-masing dari mereka menyaksikan asma'-Nya. Namun, seorang majdzûb, jika berpindah dari situ, berarti ia berpindah kepada makhluk, sedangkan sâlik berpindah kepada sifat. Tentu sâlik lebih utama dari majdzûb karena ia banyak mengambil manfaat dari perjalanannya. Lain halnya dengan majdzûb, jika Allah menghendaki untuk menyempurnakan kondisinya, Allah akan membuatnya sadar.

Masing-masing dari ilmu sâlik dan majdzûb bersumber dari perasaan walaupun prinsip ilmu sâlik lebih bersifat deduktif, sebagaimana yang disimpulkan dari ungkapan, "Dia menunjukkan wujud nama-Nya lewat keberadaan makhluk-Nya...."

Seorang majdzûb, selama masih mengalami jadzab, tak layak untuk mendapat gelar "syekh" karena ia belum melewati berbagai maqâm dan belum mengetahui berbagai petaka jiwa. Selain itu, ia masih sibuk menjalani satu kondisi sehingga melupakan kondisi lainnya.

Demikian pula seorang sâlik, jika ia belum mencapai taraf musyâhadah dan tajalli, ia tidak layak mendapat gelar "syekh" karena ia belum sempurna. Yang layak mendapat gelar "syekh" hanyalah orang yang telah berhasil menghimpun keduanya, baik perjalanan sulûk-nya lebih dahulu dari jadzab-nya maupun sebaliknya.

Terkadang seorang majdzûb melewati berbagai maqâm dengan cepat dan ia juga mengetahui berbagai peraka jiwa sehingga ia layak menjadi syekh meski harus tetap dengan kondisi jadzab-nya. Namun, ini terjadi pada beberapa orang majdzûb saja, seperti sosok Sayyid Ahmad al-Badawi, bukam terjadi pada setiap majdzûb.

Al-Hikam (Pasal 96)
2. Kadar cahaya kalbu dan rahasia jiwa hanya diketahui dalam selubung malakut, sebagaimana cahaya langit hanya tampak di alam dunia ini.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

"CAHAYA KALBU atau rahasia batin" ialah ilmu pengetahuan laduni dan cahaya kebenaran yang terkandung di dalamnya. Cahaya kalbu ini tidak diketahui, kecuali dalam selubung malakut-Nya yang gaib dari kita, yaitu alam akhirat. Maka dari itu, siapa beriman kepada yang gaib dan berupaya melembutkan jiwanya sampai mendapatkan cahaya itu, ia dapat meraih keuntungan yang banyak di sana walaupun di dunia ia terhina dan terabaikan.

Al-Hikam (Pasal 97)
3. Buah ketaatan yang dirasakan di dunia adalah kabar gembira bagi orang-orang yang beramal tentang adanya balasan ketaatan di akhirat.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

BUAH KETAATAN yang dimaksud adalah cahaya yang masuk ke dalam hati dan memancar dalam lahir mereka yang beramal. Buah ketaatan yang bisa dirasakan langsung di dunia merupakan kabar gembira dari Allah tentang adanya balasan ketaatan itu di akhirat. Ini juga pertanda bahwa amal itu diterima Allah swt., sebagaimana dalam bait hikmahnya, "Buah amal di dunia menunjukkan adanya penerimaan Allah."

Namun demikian, hikmah ini tidak menegaskan bahwa amal boleh ditujukan untuk mendapatkan pahala dan bahwa tujuan tersebut adalah mulia.

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 93-94): Perbedaan antara Kondisi di Mana Engkau Menyertai Alam dengan Kondisi di Mana Alam Menyertaimu

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).

Al-Hikam (Pasal 93)
1. Kau tunduk kepada alam selama belum melihat Penciptanya. Jika kau telah menyaksikan-Nya maka alam akan tunduk kepadamu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KAU HANYA akan terpaku pada alam dan bersandar kepadanya selama kau tidak melihat siapa pencipta alam itu. Jika kau sudah melihat Sang Pencipta di dalamnya, alam akan bersamamu. Dengan kata lain, kau tidak membutuhkannya, namun kau akan memilikinya. Alamlah yang akan membutuhkan dan melayanimu. Jika kau meminta sesuatu dari alam, permintaanmu akan cepat terwujud. Jika kau katakan kepada suatu benda alam, "Jadilah!", niscaya ia akan terjadi dengan izin Allah.

Oleh karena itu, tak heran jika sebagian wali ada yang berkata kepada langit, "Turunkan hujanmu!" atau berkata kepada angin, "Bertiuplah!" maka angin itu pun bertiup dan awan menurunkan hujannya. Sebabnya adalah karena para wali merasa gaib dari alam dengan menyaksikan penciptanya. Dalam kondisi syuhûd ini, seorang wali akan kehilangan indranya dan kehilangan kemanusiaannya, tetapi tidak mesti ia harus mengalami kefanaan. Oleh sebab itu, Ibnu Atha'illah berkata:

Al-Hikam (Pasal 94)
2. Adanya keistimewaan tidak berarti lenyapnya sifat-sifat manusia. Keistimewaan tersebut ibarat sinar mentari siang. Ia tampak di cakrawala, padahal bukan bersumber dari cakrawala. Kadang kala mentari sifat-Nya terang di malam wujudmu. Kadang kala pula Dia mencabutnya kembali darimu dan mengembalikanmu pada batas semula. Siang tersebut bukan berasal darimu dan bukan pula menuju kepadamu. Namun, ia datang dari Allah untukmu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ADANYA KELEBIHAN yang diberikan Allah kepadamu berupa kekuatan dan kemampuan melakukan apa saja terhadap semua benda dan mengungkap semua rahasianya tidak berarti hilangnya sifat kemanusiaanmu, seperti sifat tidak memiliki, lemah, tak berdaya, hina, dan bodoh. Sifat-sifat manusia itu merupakan hal yang bersifat inti dan pasti melekat pada diri setiap hamba.

Ibnu Atha'illah mengumpamakan kelebihan itu dengan mengatakan, "Keistimewaan itu ibarat sinar mentari siang hari." Keistimewaan seumpama sinar yang sangat panas dan terang benderang. Ia muncul di cakrawala langit, tetapi tidak bersumber dari cakrawala itu sendiri. Jika matahari siang muncul di cakrawala yang gelap gulita, kegelapan itu akan bersinar terang. Jika ia tenggelam, cakrawala akan kembali gelap seperti sedia kala. Hal itu dikarenakan, benderangnya cakrawala bukan merupakan sifat dasar cakrawala itu, melainkan hanyalah asupan dan pemberian. Tentu sifat-sifat asupan tidak bisa menghilangkan sifat-sifat dasar.

Seperti itulah sifat-sifat manusia yang ada pada dirimu, seperti kemiskinan, kelemahan, dan ketidakberdayaan, persis dengan keadaan di malam hari. Jika matahari muncul di malam hari atau jika Allah menampakkan diri-Nya pada dirimu dengan sifat-sifat kaya dan kuasa-Nya, dzatmu akan bersinar terang dengan kekayaan dan kekuasaan. Namun, apabila cahaya itu diambil lagi, dzatmu akan kembali seperti semula. Inilah yang diisyaratkan Ibnu Atha'illah dengan ucapannya, "Kadangkala mentari sifat-Nya terang di malam wujudmu."

Maksudnya, sifat-sifat Allah yang diumpamakan dengan matahari akan tampak pada sifat-sifat pribadimu yang diumpamakan dengan malam hari. Dengan demikian, keistimewaanmu akan tampak dan kau pun menjadi mampu dengan kuasa Allah, kuat dengan kekuatan Allah, dan tahu dengan ilmu Allah, demikian seterusnya. Jika Allah menampakkan diri-Nya padamu dengan sifat-sifat kuasa-Nya, kau akan memiliki kekuatan yang dapat menutupi kelemahanmu. Apabila Dia menampakkan diri-Nya padamu dengan sifat ilmu-Nya, kau akan memiliki ilmu yang menutupi kebodohanmu, demikian seterusnya.

Terkadang, Allah mencabut sifat-sifat-Nya kembali dari dirimu dan mengembalikanmu seperti semula; lemah, tak berdaya, dan bodoh. Dengan begitu, keistimewaanmu menjadi tidak tampak. Oleh sebab itu, terkadang pada diri Rasulullah saw. tampak sifat-sifat kekuatan dan kemampuan sehingga tak heran jika beliau bisa memberi makan seribu orang dengan hanya satu sha' gandum. Namun, sesekali beliau lemah dan tak berdaya sehingga beliau harus mengikat batu di perutnya demi menahan rasa lapar yang menderanya. Seperti itu pula yang dialami oleh para wali pewarisnya.

Keistimewaan yang tampak padamu bukan berasal dari dirimu sendiri, bukan sifat-sifat dasarmu. Ia adalah sifat asupan atau pemberian dari Yang Haq Allah swt. Jika Allah menghendaki, Dia akan mengabadikannya padamu. Jika Dia menginginkan sebaliknya, Dia akan menghilangkannya lagi.

Oleh sebab itu, pada waktu-waktu tertentu, para wali terlihat memiliki kekuatan. Namun, terkadang mereka lemah dan tak berdaya. Meski demikian, cahaya hati mereka dan rahasia batinnya tetap tidak hilang dan tidak tenggelam. Yang tenggelam dan hilang dari mereka hanyalah keistimewaan yang tampak pada tampilan lahir mereka.

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.

Kamis, 22 November 2018

Kitab al-Hikam (Pasal 92): Orang yang Terpenjara adalah Orang yang Belum Dibukakan di Hadapannya Ruang-ruang Gaib

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).

Al-Hikam (Pasal 92)
1. Orang yang berada di alam ini dan masih belum mengetahui dunia gaib berarti terkungkung oleh sejumlah hal yang mengitarinya dan terkepung oleh kerangka dirinya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

SEMUA ORANG yang ada di dunia dan hatinya belum dibuka untuk menerima ilmu dan pengetahuan gaib berarti masih terbelenggu dan terpenjara oleh syahwat dan kenikmatannya, serta terikat oleh kebiasaannya, seperti makan, minum, dan berpakaian. Mereka juga terkurung oleh kerangka dirinya, yaitu syahwat dan kenikmatannya.

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 90-91): Manusia Berada di antara Kerajaan Dunia dan Kerajaan Akhirat

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).

Al-Hikam (Pasal 90)
1. Allah menjadikanmu berada di alam pertengahan antara alam materi dan malakut-Nya guna memperkenalkan tingginya kedudukanmu di antara makhluk. Kau adalah mutiara yang tersembunyi dalam kulit ciptaan-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

WAHAI MANUSIA, Allah menjadikanmu di alam pertengahan antara kerajaan-Nya (materi) dengan malakut-Nya (kerajaan gaib-Nya). Alam materi adalah alam nyata dan alam malakut adalah alam gaib. Manusia tidak murni dari alam nyata, tidak pula murni dari alam gaib. Akan tetapi, ia berada di pertengahan antara keduanya, baik secara indrawi maupun secara maknawi.

Secara indrawi, Allah menciptakannya di antara langit dan bumi. Dia menciptakan makhluk lain, seperti binatang dan tumbuhan, tak lain untuk diambil manfaatnya oleh manusia. Adapun secara maknawi, Allah menciptakannya dalam bentuknya yang paling sempurna dan menjadikannya sosok yang mengandung seluruh rahasia benda-benda yang berwujud, di atas maupun di bawahnya, yang lembut maupun yang keras. Dengan begitu, manusia terdiri ruh dan jasad, langit dan bumi. Oleh sebab itu, manusia sering di sebut dengan alam terkecil.

Sering pula manusia dikatakan sebagai miniatur dari seluruh alam semesta karena di dalam dirinya terdapat sifat-sifat malaikat, seperti akal, makrifat, dan ibadah; menyimpan sifat-sifat setan, seperti suka menggoda, memberontak, dan melampaui batas; memiliki sifat-sifat hewan, seperti amarah dan nafsu syahwat, tamak dan ganas, serta penuh tipuan. Saat marah, manusia menjadi seperti singa. Saat dikuasai nafsu, ia menjadi seperti babi yang tidak peduli di mana ia berkubang. Saat tamak dan ganas, ia menjadi seperti anjing. Saat menipu, ia menjadi seperti serigala.

Pada diri manusia juga tersimpan sifat tumbuhan dan pepohonan. Pada awalnya, manusia seumpama dahan yang lembut, kemudian tumbuh hingga akhirnya menjadi keras dan berwarna hitam. Manusia juga menyimpan sifat langit, yaitu tempat menyimpan segala rahasia dan cahaya serta tempat berkumpulnya para malaikat. Ia mengandung sifat bumi, yaitu bahwa ia tempat tumbuhnya akhlak dan tabiat, yang lembut ataupun yang keras. Ia juga menyimpan sifat 'arsy, yaitu bahwa kalbunya menjadi tempat penampakan Ilahi. Selain itu, ia memiliki sifat lauh, yaitu menjadi tempat disimpannya ilmu; sifat qalam, yaitu bahwa ia mampu mengatur ilmu itu. Manusia juga menyimpan sifat surga, yaitu jika akhlaknya baik, semua temannya akan merasa nikmat dan nyaman saat bersamanya. Ia juga menyimpan sifat neraka, yaitu jika akhlaknya buruk, semua temannya akan ikut terbakar.

Allah menjadikanmu seperti itu untuk memperkenalkan tingginya kedudukanmu di tengah para makhluk-Nya. Semua makhluk itu diciptakan untukmu agar kau manfaatkan dengan baik. Oleh karena itu, kau harus meninggikan tekadmu dari semua itu dan hanya sibuk dengan Tuhanmu.

Abu al-Abbas berkata, "Alam semesta (benda) semuanya adalah hamba yang diciptakan untukmu dan kau adalah hamba Allah." Ini adalah makna pertengahan indrawi, seperti yang disebutkan.

Adapun makna secara maknawi, Ibnu Atha'illah mengisyaratkannya dengan ucapannya, "Kau adalah mutiara yang tersembunyi dalam kulit ciptaan-Nya." Bahasa lainnya adalah tersimpan dalam kerang ciptaan-Nya karena sifat-sifat semuanya ada di dalam dirimu. Allah tidak menciptakan makhluk dengan sifat seperti ini, kecuali manusia.

Oleh sebab itu, Allah menciptakannya sesuai dengan sifat-sifat-Nya dan menjadikannya khalifah yang melaksanakan semua perintah dan menjauhi larangan-Nya. Allah memberinya dua arah: satu arah menuju Allah dan satu arah menuju makhluk. Adapun malaikat dan makhluk lainnya yang tercipta dari ruh, mereka tidak memiliki kecuali satu arah saja, yaitu menuju Allah.

Semua sifat ini berlaku pada setiap manusia. Namun, sifat-sifat tersebut tidak akan tampak pada dirinya, kecuali setelah ia melakukan olah batin dan mujâhadah. Setelah itu, ia akan disebut insan kâmil (manusia sempurna). Inilah rahasia-rahasia yang tidak diketahui, kecuali dengan dzauq (perasaan) dan tidak terdengar oleh selain pemiliknya.

Ibnu Atha'illah menyebutkan keistimewaan lain yang dimiliki manusia dengan ucapannya:

Al-Hikam (Pasal 91)
2. Alam dapat menampungmu dari sisi fisik, tetapi ia tak dapat menampungmu dari sisi ruh.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ALAM, YAITU BUMI yang kau huni, dapat menampungmu secara fisik karena fisikmu adalah bagian dari alam. Kemaslahatannya pun bergantung pada alam. Namun, alam tidak dapat menampungmu dari sisi ruhani karena ruh bukan berasal dari alam ini dan tidak sejenis dengan alam. Oleh karena itu, ruh tidak layak bergantung kepada sesuatu yang berasal dari alam ini. Ruh hanya layak bergantung kepada Allah swt.

Kesimpulannya, manusia adalah gabungan dari dua hal: jasad dan ruh. Antara jasad dengan alam terdapat kesesuaian dan kesamaan. Oleh karena itu, jasad pantas bergantung pada alam. Jika jasad mengkomsumsi yang ada di alam ini, jasad akan mampu bertahan di alam ini. Jika tidak, ia akan binasa, sebagaimana yang telah ditetapkan sunnatullah. Namun, antara ruh dan alam tidak terdapat kesesuaian dan kesamaan. Oleh karena itu, ruh tidak layal bergantung pada alam. Ia hanya patut bergantung pada Sang Pencipta alam, yaitu Allah swt.

Maka dari itu, kita harus berusaha menyempurakan ruh dengan zikir-zikir dan olah batin agar semua kotoran kemanusiaannya hilang sehingga ia layak bergantung kepada Tuhan Yang Maha Agung. Adapun untuk jasad, kita tidak perlu mempedulikan apa yang layak baginya karena Allah telah menjaminnya.

Dalam sebuah syair disebutkan:

Wahai pelayan tubuh, betapa kau menderita saat melayaninya.
Kau mengharap keuntungan dari sesuatu yang jelas merugikan.
Sebaiknya, kau memperhatikan ruh dan menyempurnakan kemuliaannya.
Dengan ruh, kau disebut manusia, bukan dengan jasad.

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 89): Perjalanan Menuju Allah dan Apa yang Tidak Layak Dilakukan Seorang Penempuh Jalan Menuju Allah

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).

Al-Hikam (Pasal 89)
1. Jika bukan karena medan nafsu, tentu tak akan ada perjalanan orang-orang yang menuju Allah karena tak ada jarak antara dirimu dan diri-Nya yang harus kau tempuh, juga tak ada permusuhan antara kau dan Allah yang harus diselesaikan.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

SEKIRANYA TIDAK ada syahwat dan keinginan nafsu, niscaya perjalanan para sâlik menuju Allah tidak akan pernah ada karena Allah lebih dekat kepada seseorang daripada dirinya sendiri. Jadi, tak ada yang perlu ditempuh para sâlik untul menuju Allah karena Allah swt. telah berfirman, "Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (QS. Qaf [50]: 16)

Jauhnya jarak yang perlu ditempuh menuju yang dicintai telah terbentang di hadapanmu, wahai hamba. Ketahuilah bahwa jarak itu adalah syahwatmu sendiri. Jika syahwat ini tidak ada, kau tidak perlu berjalan jauh atau menempuh jalan menuju Allah karena jarak tersebut tidak ada, sebagaimana diisyaratkan Ibnu Atha'illah dalam hikmahnya, "Karena tak ada jarak antara dirimu dan diri-Nya yang harus kau tempuh, juga tak ada permusuhan antara kau dan Allah yang harus diselesaikan."

Permusuhan antara dirimu dengan Allah yang harus kau selesaikan juga tidak ada. Permusuhan tidak terjadi, kecuali pada dua hal yang saling berlawanan. Sementara di sini, kau membutuhkan cinta dan hubungan dengan-Nya. Memangnya siapa dirimu sampai berani memusuhi Allah?.

Kesimpulannya, saat syahwatmu hilang, kau tidak perlu lagi menempuh perjalanan panjang menuju Allah. Perjalanan ke sana bermakna memutus halangan dan rintangan jiwa, menghapus pengaruhnya, serta menyingkirkan watak dan kebiasaan buruknya agar ia bersih dari itu semua, layak dekat dengan-Nya, dan meraih kebahagiaan pertemuan dengan-Nya. Sekiranya tanpa perjuangan dan penderitaan seperti ini, perjalanan menuju Allah tidak pernah ada karena Allah swt. lebih dekat kepadamu daripada dirimu sendiri. Jarak yang harus kau tempuh itu adalah syahwatmu sendiri yang menjadi penghalang dan yang harus kau singkirkan. Syahwatmu menjadi hijab terbesar yang menghalangimu dari Allah. Dengan mengekang dan mematikannya, kau akan sampai kepada Allah.

Abu Madyan berkata, "Siapa yang nafsunya belum mati, ia tidak akan melihat Yang Maha Haq."

Abu al-Abbas al-Mursi berkata, "Tidak ada pintu masuk untuk menemui Allah, kecuali dua: pintu kefanaan yang besar, yakni kematian, dan pintu kefanaan diri dengan mengekang nafsu."

Hatim al-Ashamm berkata, "Siapa yang ikut cara kami ini, hendaknya ia menyimpan pada dirinya empat warna kematian. Pertama, kematian merah, yaitu menentang hawa nafsu. Kedua, kematian hitam, yaitu tegar menerima penganiayaan manusia. Ketiga, kematian putih, yaitu menahan rasa lapar. Keempat, kematian hijau, yaitu menepis kebodohan dan sifat tak tahu malu."

Ketika menempuh jalan menuju Tuhan, seorang murîd harus ditemani seorang syekh dan mursid yang sudah berhasil melembutkan jiwa dan menaklukkan hawa nafsunya. Ia harus taat dan patuh kepadanya dalam setiap hal yang dinasihatinya, tanpa bertanya, ragu, atau gamang. Orang-orang berkata, "Siapa yang tidak memiliki syekh (guru), setan adalah syekhnya."

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 88): Konsekuensi Pencinta Sejati

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).

Al-Hikam (Pasal 88)
1. Pencinta bukanlah orang yang mengharapkan imbalan atau upah dari kekasihnya. Sejatinya, pencinta adalah yang mau berkorban untukmu, bukan yang menuntut pengorbanan darimu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

PENCINTA SEJATI bukanlah orang yang mengharapkan imbalan dari kekasihnya atas pengorbanan yang diberikannya. Ia tidak berniat mengharap surga dan selamat dari neraka dengan amal saleh yang dilakukannya atau tidak meminta upah berupa materi duniawi dan ukhrawi atas amalnya itu.

Pencinta sejati adalah orang yang mau berkorban untukmu, bukan orang yang menuntut pengorbanan darimu. Sesungguhnya, cinta sejati adalah selalu mengenang sifat-sifat kekasihnya di dalam hati sehingga pada diri pencinta tak ada keinginan sama sekali untuk menoleh kepada selain kekasihnya. Siapa yang menyembah Allah untuk mengharap surga-Nya, berarti ia tidak mencintai Allah, tetapi hanya mencintai surga-Nya.

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 87): Orang Mukmin Sibuk Memuji Allah dan Lupa dengan Dirinya Sendiri

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).

Al-Hikam (Pasal 87)
1. Orang mukmin disibukkan dengan memuji Allah sehingga lupa menyanjung diri sendiri. Ia juga disibukkan dengan menunaikan kewajiban kepada Allah sehingga tidak ingat kepada kepentingan dirinya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

MUKMIN YANG SEMPURNA adalah mukmin yang selalu disibukkan dengan puji-pujian terhadap sifat-sifat indah Allah sehingga ia tidak bangga dengan sifat-sifat baik dirinya. Jika ia berkata, "Saya sudah shalat dan puasa," lalu menisbatkan semua amal terpuji itu kepada dirinya, berarti ia belum menjadi mukmin sesungguhnya karena sebenarnya, kedua amal itu perbuatan Allah. Sementara itu, manusia hanyalah media penampakannya. Oleh karena itu, tak ada gunanya memuji manusia yang kemampuannya hanya menampakkan perbuatan Allah. Seharusnya, ia memuji pelaku sesungguhnya, yaitu Tuhan Yang Maha Memberi dan Menganugerahi.

Mukmin yang sejati tidak akan menisbatkan perbuatan baik dan ahwâl-nya kepada dirinya sendiri dan tidak pernah memandang dirinya atau mengagungkannya. Mukmin sejati adalah mukmin yang merasa hampa dari semua perbuatan dan ahwâl tersebut karena menisbatkannya kepada pelaku sesungguhnya dan sumber utamanya, yaitu Allah swt.

Mukmin sejati juga lebih disibukkan oleh menunaikan hak-hak Allah daripada menunaikan hak-hak dirinya. Bahkan, ia tidak pernah mengingat keuntungan pribadinya sama sekali. Ia menyembah Allah karena Dzat-Nya, bukan karena mengharap surga-Nya atau ingin selamat dari neraka-Nya.

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 83-86): Orang yang Berusaha Membuktikan Dirinya Tawâdhu' Sejatinya Dia Orang yang Sombong

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).

Al-Hikam (Pasal 83)
1. Siapa yang merasa dirinya tawâdhu', berarti ia sombong karena tawâdhu' tidak muncul dari orang yang merasa mulia. Maka dari itu, ketika kau merasa mulia, berarti kau telah sombong.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

SIAPA YANG merasa dirinya rendah hati (tawâdhu'), berarti ia sombong karena pengakuan diri orang yang tawâdhu' itu bersumber dari perasaan ketinggian kedudukan yang sebenarnya layak ia dapatkan, namun ia rendahkan.

Ketika kau merasa tinggi dan mulia seraya merasa ber-tawadhu', berarti kau benar-benar telah sombong. Sifat sombong ini tidak akan sirna darimu, kecuali dengan adanya perasaan ketidakberdayaan, misalnya dengan melihat kedudukan itu sebagai sesuatu yang tidak afa nilainya sama sekali.

Al-Hikam (Pasal 84)
2. Orang tawâdhu' bukanlah orang yang ketika merendah ia melihat dirinya lebih mulia daripada yang diperbuat. Namun, orang yang tawâdhu' ialah orang yang melihat dirinya lebih rendah daripada yang diperbuat.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ORANG YANG merendah hati bukanlah orang yang saat melakukan sikap tawâdhu', misalnya dengan duduk di barisan belakang suatu majelis, ia melihat dirinya lebih mulia daripada yang diperbuatnya atau merasa bahwa sebenarnya ia layak duduk di barisan depan majelis. Orang yang tawâdhu' ialah orang yang jika melakukan perbuatan tawâdhu', misalnya dengan duduk di barisan belakang majelis, ia melihat bahwa dirinya lebih rendah daripada yang diperbuatnya dan merasa layak untuk duduk di barisan paling belakang.

Kesimpulannya, seorang yang tawâdhu' adalah orang yang tidak menyatakan bahwa dirinya tawâdhu' karena merasa hina dan tidak memiliki kemampuan dan kedudukan. Orang yang memiliki sifat tawâdhu' sejati adalah orang yang jika melakukan perbuatan-perbuatan tawâdhu', ia tidak menetapkan sikap tawâdhu' bagi dirinya dan tidak mengaku tawâdhu' karena melihat dirinya lebih rendah daripada yang telah dilakukannya dalam rangka bersikap tawâdhu' itu. Sikap tawâdhu' seperti itulah buah dari syuhûd yang diraihnya. Jika ia menetapkan dirinya tawâdhu' dan merasa lebih tinggi daripada yang telah diperbuatnya dalam rangka bersikap tawâdhu' itu, berarti ia sombong.

Oleh sebab itu, asy-Syibli berkata, "Siapa yang melihat dirinya mulia, ia bukan termasuk orang yang tawâdhu'."

Di antara tanda seseorang bersifat tawâdhu' ialah, ia tidak marah jika dicela atau diabaikan. Ia juga tidak benci jika dihina dan dituduh melakukan dosa besar. Ia tidak mau jika di mata manusia dianggap memiliki kedudukan dan kehormatan. Ia tidak ingin mendapat tempat di hati mereka.

Al-Hikam (Pasal 85)
3. Tawâdhu' yang sebenarnya bersumber dari syuhûd (menyaksikan keagungan-Nya) dan penampakan sifat-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

SIKAP RENDAH HATI sesungguhnya adalah sikap yang timbul setelah menyaksikan keagungan dan kebesaran Allah serta tajalli (penampakan) sifat-Nya. Keagungan Allah yang tampak di mata seorang hamba itu yang menuntutnya untuk selalu merendahkan diri karena bisa memadamkan gelora nafsu dan menyingkirkannya serta menggugurkan harapannya.

Allah tidak menampakkan diri pada sesuatu, kecuali membuat sesuatu itu tunduk dan merendah kepada-Nya sehingga pohon kesombongan dan watak suka kekuasaannya akan patah dengannya.

Ada pula sikap tawâdhu' yang tidak hakiki, yaitu yang bersumber dari pandangan bahwa diri ini lemah dan serba kekurangan. Tawâdhu' ini bukan rendah hati yang sesungguhnya karena terkadang masih tercemari oleh sekeping kesombongan atau sikap ujub. Oleh sebab itu, al-Junaidi berkata, "Tawâdhu' menurut ahli tauhid bukanlah takabur."

Al-Ghazali mengomentari ucapan al-Junaidi ini dengan berkata, "Mungkin maksudnya, seorang yang bersikap rendah hati itu biasanya menganggap dirinya tinggi terlebih dahulu, baru kemudian merendahkannya. Berbeda dengan ahli tauhid, sejak awal ia tak menganggap dirinya tinggi dan bernilai sama sekali sehingga tak perlu merendahkannya lagi."

Orang yang rendah hati akan merasa diri dan perasaannya fana setelah melihat kebesaran Allah. Dalam 'Awarif al-Ma'arif disebutkan, "Seorang hamba tidak akan mencapai hakikat tawâdhu', kecuali saat terpancarnya cahaya musyâhadah di hatinya. Saat itu, jiwanya akan melebur. Saat melebur, akan tampaklah kejernihannya yang bebas dari kotoran sikap sombong dan ujub."

Al-Hikam (Pasal 86)
4. Yang membuatmu keluar dari sifat angkuh adalah penyaksianmu terhadap sifat agung Tuhan.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

TAK ADA yang membuatmu keluar dari sifat-sifat burukmu, seperti sombong dan ujub, kecuali setelah kau menyaksikan sifat-sifat Allah, seperti kemuliaan dan keagungan-Nya. Seorang hamba tak bisa terbebas dari sifat-sifat dirinya, kecuali setelah ia menyaksikan sifat-sifat Tuhannya.

Siapa yang melihat kesombongan Tuhannya, ia tidak akan sombong lagi. Siapa yang melihat kekayaannya, ia tidak akan merasa kaya lagi. Siapa yang melihat kuasa-Nya, ia tidak akan merasa memiliki kekuasaan dan kemampuan apa-apa. Dengan begitu, ia akan hidup dengan Tuhannya, bukan dengan dirinya sendiri. Maka dari itu, siapa yang menyaksikan sifat-sifat Tuhannya, tak ada lagi keangkuhan dalan dirinya.

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 81-82): Jangan Lengah dengan Setan yang Selalu Mengintai

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).

Al-Hikam (Pasal 81)
1. Jika kau mengetahui bahwa setan tidak pernah lupa kepadamu, jangan kau lalai terhadap Dzat yang menggenggam nasibmu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

JIKA KAU mengetahui bahwa setan tidak pernah lupa keadamu, juga tidak bosan menyesatkan, menggoda, dan memerangimu, jangan kau lalai terhadap Dzat yang memegang ubun-ubunmu karena setan takkan pernah berhenti menjerumuskanmu. Setan telah berjanji akan terus menggoda manusia, seperti yang tertulis dalam firman-Nya, "Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)." (QS. al-A'raf [7]: 17)

Dalam satu riwayat disebutkan bahwa setiap manusia memiliki setan yang menaruh belalainya di hati manusia. Jika manusia lupa berzikir kepada Allah, setan akan membisikinya. Sebaliknya, jika manusia berzikir, setan akan mundur dan menutup diri. Oleh karena itu, jangan lupa kepada Dzat yang menentukan nasibmu, yaitu Allah swt. Jangan kau lupa untuk berlindung kepada-Nya karena Dialah yang akan mencukupi dan melindungimu.

Allah swt. berfirman kepada setan, "Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu (setan) terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikuti kamu, yaitu orang-orang yang sesat." (QS. al-Hijr [15]: 42)

Dalam ayat lain, "Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya." (QS. an-Nahl [16]: 99)

Siapa yang memiliki sifat-sifat keimanan, 'Ubudiyyah, tawakal, dan selalu berlindung kepada Allah, pasti Allah akan menolongnya dalam mengalahkan musuhnya.

Dzun Nun Al-Mashri berkata, "Jika setan bisa melihatmu dari tempat yang tak bisa kau lihat, Allah bisa melihat setan itu dari tempat setan tak bisa melihat-Nya. Oleh karena itu, mintalah pertolongan Allah atas gangguan setan ini."

Diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri ra., ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Iblis berkata kepada Tuhannya: Demi keagungan dan kebesaran-Mu, aku tidak akan berhenti menggoda anak Adam selama ruh mereka masih dalam jasad mereka. Maka Allah berkata kepada Iblis: Demi keagungan dan kebesaran-Ku, Aku tidak akan berhenti mengampuni mereka selama mereka meminta ampun kepada-Ku.'"

Al-Hikam (Pasal 82)
2. Allah menjadikan setan sebagai musuhmu agar kau benci kepadanya dan berlindung kepada-Nya. Dia juga tetap menggerakkan nafsumu supaya kau selalu menghadap kepada-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ALLAH MENJADIKAN untukmu musuh, yaitu setan. Allah swt. berfirman, "Sesungguhnya setan adalah musuh bagi kalian." Hal itu dimaksudkan agar kau benci padanya sehingga kau terdorong untuk berlindung kepada Allah. Jika kau menyadari bahwa kau tak mampu melawan setan sendirian, tentu kau akan terdorong untuk meminta bantuan kepada Yang Maha Kuat dan Maha Perkasa. Kau pasti akan berlindung dan bertawakal kepada-Nya untuk melawan setan.

Permusuhan setelah itulah yang mengembalikanmu kepada Allah. Inilah tujuan utama dijadikannya setan sebagai musuh manusia. Namun demikian, bagi orang-orang yang mengarahkan tekadnya kepada Yang Maha Haq, mereka tidak lagi membutuhkan musuh untuk mereka benci karena ketergantungan mereka kepada Allah sudah menjadi kebiasaan. Mereka tidak akan menoleh kepada Iblis. Sekiranya Allah tidak memerintahkan mereka untuk berlindung kepada-Nya dari iblis itu, mereka tidak akan berlindung darinya. Memangnya siapa Iblis sampai harus ditakuti?.

Allah juga menggerakkan nafsumu atau membuatmu selalu mengikuti hawa nafsumu agar kau selalu menghadap kepada-Nya. Kau takkan sanggup melawan hawa nafsumu dan mengekang geloranya yang sudah menyatu dengan darah dan dagingmu, kecuali kau berlindung kepada Dzat yang lebih kuat darimu, yaitu Allah swt.

Allah menggerakkan nafsumu agar kau selalu berlindung kepada-Nya karena nafsu adalah musuh bebuyutanmu. Nafsu seumpama musuh dalam selimut. Musuh dalam selimut lebih berbahaya daripada musuh yang nyata. Oleh sebab itu Rasulullah saw. menganggap jihad melawan hawa nafsu adalah jihad terbesar.

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 79-80): Seorang Hamba Selayaknya Hanya Melihat Tuannya

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).

Al-Hikam (Pasal 79)
1. Ketika kau sedih lantaran tidak disambut oleh manusia atau dicela mereka, kembalilah pada pengetahuan Allah tentang dirimu. Jika pengetahuan-Nya tidak juga membuatmu puas, deritamu lantaran tidak puas dengan pengetahuan-Nya jauh lebih menyakitkan daripada derita karena disakiti manusia.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KETIKA MANUSIA menyakitimu dengan tidak menyambutmu dan malah mencelamu, kembalilah kepada ilmu Allah tentang dirimu. Cukup Allah saja yang mengetahui siapa dirimu yang sebenarnya. Jangan pedulikan yang orang-orang ketahui tentang dirimu. Jika kau telah melakukan semua amalmu dengan tulus di hadapan Allah dan bahkan semua amalmu itu telah diterima-Nya, mengapa harus tertekan dengan celaan manusia yang tidak mengetahui apa-apa tentang dirimu sebenarnya? Jika kau dihina dan dibenci Allah karena kau beramal tidak ikhlas, apa untungnya sambutan, keridaan, dan pujian manusia untukmu?.

Jika pengetahuan Allah tentang siapa dirimu yang sebenarnya tidak juga membuatmu puas, misalnya kau ingin juga manusia mengetahui siapa sebenarnya dirimu, bagaimana amalmu, dan seberapa hebat keikhlasanmu agar manusia menyambut dan mengagungkanmu, kau akan menderita. Kenapa? Karena kau tidak pernah puas dengan pengetahuan-Nya tentangmu. Bahkan, derita itu jauh lebih berat daripada deritamu ketika disakiti manusia. Celaan dan penolakan manusia memang merupakan sesuatu yang menyakitkan, namun di sisi lain, hal itu terkadang justru bisa membuatmu kembali kepada Allah.

Secara lahir, celaan mereka terhadapmu adalah musibah bagimu, namun secara batin, itu adalah nikmat. Oleh karena itu, tak patut bagi seorang murîd untuk mempedulikan selain Allah swt. Janganlah kau merasa berbahagia bila kau tidak merasakan kedekatan-Nya denganmu dan kau tidak boleh merasakan kesedihan, kecuali kesedihan karena jauhnya Dia darimu. Kau tidak boleh mencari perhatian makhluk. Kau tidak layak mempedulikan penyambutan, pengabaian, celaan, atau pujian mereka karena mereka tidak pernah bisa mencukupi kebutuhanmu sedikit pun.

Siapa yang merasa tertekan dengan penolakan atau celaan manusia, hendaknya ia kembali kepada Tuhannya. Cukup baginya apa yang Allah ketahui tentang dirinya. Ia tidak boleh menyertakan pengetahuan Allah tentang dirinya itu dengan pengetahuan manusia dengan tujuan agar mereka memuji dan mengagungkannya.

Ibrahim at-Taimi berkata kepada salah seorang temannya, "Apa yang dikatakan orang-orang tentangku?" Temannya menjawab, "Kata mereka, kau Riya' dalam amalmu." Ibrahim berkata, "Sekarang amalku semakin baik." Temannya menjawab, "Bagus! Cukup Allah saja yang mengetahui siapa dirimu sebenarnya." Setelah itu, Ibrahim pun hanya mencukupkan diri dan puas dengan apa yang Allah ketahui tentang dirinya. Ia tidak pernah mempedulikan apa yang diketahui dan dikatakan manusia tentang dirinya.

Basyar al-Hafi berkata, "Menerima pujian dari manusia lebih berat rasanya bagi hati daripada melakukan maksiat."

Al-Hikam (Pasal 80)
2. Allah mendatangkan gangguan lewat tangan manusia agar kau tidak merasa tenteram bersama mereka. Dia ingin membuatmu kesal terhadap segala sesuatu agar tidak ada yang melalaikanmu dari-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ALLAH MENDATANGKAN gangguan manusia kepadamu agar kau tidak merasa tenteram bersama mereka dan tidak bergantung kepada mereka dalam mendapatkan manfaat atau menghindari bahaya. Dia juga ingin membuatmu kesal dengan perlakuan manusia kepadamu agar kau tidak lalai dari zikir kepada-Nya.

Dalam Latha'if al-Minan disebutkan, "Aku mengetahui bahwa para wali pada awalnya dikuasai oleh makhluk. Itu terjadi agar mereka bisa mensucikan diri dari sisa-sisa kotoran hati dan menyempurnakan keistimewaan mereka agar selanjutnya mereka tidak lagi merasa tenteram dengan makhluk, cenderung kepada mereka, dan bersandar kepada mereka. Penguasaan makhluk atas para wali Allah di awal langkah mereka ini adalah sunnatullah bagi para kekasih-Nya dan bagi orang-orang pilihan-Nya."

Siapa yang menyakitimu, berarti ia telah membebaskanmu dari perbudakan utang budimu atas kebaikan yang telah diberikannya kepadamu. Siapa yang berbuat baik kepadamu, berarti ia telah memperbudakmu dengan kebaikan-kebaikannya.

Abu al-Hasan asy-Syadzili berkata, "Orang-orang menyakitiku sehingga aku merasa tertekan karenanya. Setelah itu, aku tidur dan bermimpi. Di dalam mimpi itu, ada orang yang berkata kepadaku bahwa diantara tanda ketulusan seseorang adalah banyaknya musuh yang membencinya, namun ia tidak mempedulikan mereka."

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 76-78): Buah Ilmu yang Bermanfaat

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).

Al-Hikam (Pasal 76)
1. Ilmu yang bermanfaat adalah yang cahayanya melapangkan dada dan menyingkap tirai kalbu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ILMU YANG bermanfaat ialah ilmu tentang Allah, sifat-sifat-Nya, asma'-Nya, dan ilmu tata cara beribadah kepada-Nya dan bersopan santun di depan-Nya. Ilmu inilah yang cahayanya melapangkan dada sehingga mudah menerima Islam dan menyingkap tirai serta selaput penutup kalbu sehingga hilanglah segala macam angan dan keraguan darinya.

Malik bin Anas berkata, "Ilmu diraih bukan dengan banyaknya periwayatan, melainkan ilmu adalah cahaya yang dipancarkan Allah ke dalam hati."

Manfaat ilmu ialah mendekatkan hamba kepada Tuhannya dan menjauhkannya dari pandangan terhadap diri sendiri. Itulah puncak kebahagiaan seorang hamba dan akhir dari keinginan dan pencariannya.

Al-Mahdawi berkata, "Ilmu yang berguna adalah ilmu tentang waktu, kejernihan hati, kezuhudan di dunia, dan ilmu tentang hal-hal yang mendekatkan diri ke surga, menjauhkan diri dari neraka, membuat takut kepada Allah dan berharap kepada-Nya, serta ilmu tentang kebersihan jiwa dan bahayanya."

Itulah ilmu yang dimaksud dengan cahaya yang dipancarkan Allah ke dalam hati siapa saja yang dikehendaki-Nya, bukan ilmu lisan, ilmu logika, atau ilmu manqul.

Al-Junaidi merangkum semua keterangan itu dengan kata-kata, "Ilmu yang sesungguhnya adalah ilmu tentang Tuhan (makrifat) dan ilmu bersopan santun di hadapan-Nya."

Ibnu Atha'illah mendefinisikan ilmu yang berguna dengan hikmah berikut:

Al-Hikam (Pasal 77)
2. Sebaik-baik ilmu adalah yang disertai rasa takut pada-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

RASA TAKUT kepada Allah adalah rasa takut yang disertai pengagungan terhadap-Nya. Ada yang mengatakan, rasa takut yang dimaksud adalah pengagungan yang disertai penghormatan. Ada lagi yang berpendapat, ilmu adalah rasa takut yang harus disertai amal. Dengan kata lain, ilmu yang terbaik adalah ilmu yang disertai rasa takut kepada Allah.

Allah swt. memuji para ulama dengan ilmunya yang disertai rasa takut kepada-Nya. Dia berfirman, "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama." (QS. Fâthir [35]: 28)

Setiap ilmu yang tidak disertai rasa takut tidak akan ada gunanya dan tidak mengandung kebaikan sama sekali. Pemiliknya tidak disebut alim sejati.

Ilmu yang benar adalah yang harus disertai rasa takut, sikap menjaga hukum Allah, taat dan percaya kepada-Nya, berpaling dari dunia dan para pencarinya, mengurangi kebendaan dan menjauhi pintu-pintunya, memberi nasihat kepada makhluk dan berakhlak baik terhadap mereka, tawadhu', menemani orang-orang fakir, serta mengagungkan para wali Allah.

Lain halnya dengan ilmu yang tidak disertai rasa takut, ia selalu memupuk keinginan terhadap dunia, menciptakan kesombongan pemiliknya, memalingkan tekad untuk mencarinya, menumbuhkan kesombongan, membuat panjang harapan, dan melupakan akhirat. Jika seorang alim mencintai dunia dan para pencarinya, serta mengumpulkannya melebihi kecukupannya, berarti ia lalai dari akhirat dan dari ketaatan kepada Allah sebesar kelalaiannya.

Al-Hikam (Pasal 78)
3. Jika ilmu disertai rasa takut, ia akan berguna bagimu. Namun, jika tidak, ia akan menjadi petaka bagimu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

JIKA ILMU disertai rasa takut, kau akan mendapatkan manfaatnya di dunia dan akhirat. Jika tidak, kau akan mendapatkan bahaya dan petakanya di dunia dan akhirat.

Sufyan ats-Tsauri berkata, "Ilmu dipelajari tak lain untuk menumbuhkan rasa takut kepada Allah. Ilmu lebih diutamakan daripada yang lain karena dengan ilmu akan timbul rasa takut dan takwa kepada Allah." Jika tujuan ini diabaikan dan niat pencari ilmu itu telah rusak, misalnya ia meyakini bahwa ilmunya bisa mendatangkan keuntungan duniawi berupa harta, kehormatan, dan kedudukan, pahalanya akan gugur dan amalnya akan jatuh. Kemudian, ia akan mengalami kerugian yang nyata.

Allah swt. berfirman, "Siapa menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan siapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat." (QS. asy-Syûrâ [46]: 20).

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 74-75): Orang Bodoh Mencari Lahir Perkara-perkara Dunia, Sedang Orang 'Ârif Menghindari Batin Perkara-perkara Dunia

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).

Al-Hikam (Pasal 74)
1. Allah sengaja menjadikan dunia sebagai tempat perubahan dan sumber kekeruhan agar kau tidak terpaut dengannya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ALLAH MENJADIKAN dunia sebagai tempat perubahan berbagai keadaan, seperti penyakit, ujian dan petaka, serta membuatnya sebagai sumber kekeruhan, agar kau menjauhinya. Hal itu dikarenakan, hal yang mendorong keinginanmu di dunia tak lain adalah apa yang kau duga dapat mewujudkan tujuan dan keinginanmu di sana tanpa penderitaan atau kepahitan, padahal itu tidak akan terjadi.

Oleh karena itu, yang patut bagimu adalah kau harus berzuhud dan meninggalkan dunia karena akibat perkaranya adalah kefanaan dan kemusnahan. Terkadang pula ia dapat menyibukkanmu dari mengingat Allah swt. Perlu diketahui pula bahwa zuhud dari dunia ini tidak serta-merta terjadi dengan nasihat dan peringatan para dai saja, tetapi juga dengan musibah dan ujian di dalamnya. Oleh karena itu, Ibnu Atha'illah melanjutkan ucapannya:

Al-Hikam (Pasal 75)
2. Allah mengetahui bahwa kau sulit menerima nasihat begitu saja. Oleh karena itu, Dia membuatmu bisa merasakan pahitnya musibah agar kau mudah meninggalkan dunia.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ALLAH MENGETAHUI bahwa kau sulit menerima nasihat baik tanpa terlebih dahulu diberi penyakit, petaka, dan ujian. Hal itu dikarenakan, yang bisa menerima nasihat baik hanyalah orang-orang yang tidak dikuasai rasa cinta terhadap dunia dan kenikmatannya yang fana. Sementara itu, bagi orang yang amat suka terhadap dunia dan kenikmatannya, nasihat baik semata tidak cukup untuk menyadarkannya dan menerima hidayah. Ia harus diberi tambahan peringatan berupa ujian, petaka, dan penyakit.

Oleh karena itu, Allah membuatmu merasakan apa yang seharusnya kau rasakan, yaitu penyakit dan petaka serta ujian agar mudah bagimu untuk meninggalkan dunia.

Jika seorang hamba mengalami suatu musibah, biasanya ia akan berharap segera mati dan meninggalkan dunia. Dengan demikian, petaka ini merupakan nikmat dari Allah swt. walaupun ia tidak menyadarinya karena dominasi tabiatnya. Hal ini telah dijelaskan dalam butir hikmah, "Siapa yang tidak mendekati Allah dengan kelembutan kebaikan-Nya, ia akan diseret kepada-Nya dengan belenggu ujian."

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 71-73): Sedikitnya Kesenangan adalah Sebab Sedikitnya Kesedihan

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).

Al-Hikam (Pasal 71)
1. Tatkala berkurang apa yang membuatmu senang maka berkuranglah pula apa yang kau sedihkan.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KETIKA HARTA dan hal lainnya berkurang padamu, berkurang pula apa yang membuatmu bersedih. Siapa yang darinya Allah singkirkan kelebihan dunia, lalu ia rida atas hal itu, puas dengan yang sedikit, dan tidak mencari tambahan, baik berupa harta maupun kedudukan, berarti akalnya sempurna dan pandangannya terhadap dirinya baik. Ia telah mampu menghindarkan kerusakan akibat kesedihan dari dirinya dengan meninggalkan kesedihan itu. Ia juga tidak melihat kepada maslahat berupa kebahagiaan yang timbul dari sesuatu yang bisa cepat hilang.

Menurut orang yang berakal, "Menghindarkan kerusakan lebih didahulukan daripada mencari maslahat. Dan sesuatu yang disenangi adalah juga yang disedihkan. Jika yang disenangi sedikit, kesedihannya pun sedikit. Jika yang disenangi banyak, kesedihannya pun banyak."

Al-Hikam (Pasal 72)
2. Jika kau tidak ingin dipecat, jangan memangku jabatan yang tidak kekal.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

INI ADALAH penegasan dari hikmah sebelumnya. Jabatan selalu akan berakibat pada kesedihan. Kesedihan yang timbul adalah akibat hilangnya jabatan itu, baik disebabkan oleh kematian, dipecat, maupun karena faktor lain. Orang yang berpandangan baik dan berakal sehat selalu meninggalkan jabatan yang disenangi agar ia tidak dipecat atau kehilangan jabatan itu sehingga bersedih dan menderita.

Al-Hikam (Pasal 73)
3. Jika awalnya memikat, akhirnya akan menjemukan. Jika lahirnya memanggilmu, batinnya akan mencegahmu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

JIKA PADA awalnya jabatan itu memikatmu karena tampilan lahirnya indah dan orang yang menjabatnya tampak berwibawa serta hidup sejahtera, ketahuilah bahwa ujungnya akan berakhir dengan bahaya dan kerugian di dunia dan akhirat. Hal itu dikarenakan, akhir dari jabatan adalah, kau meninggalkan jabatan itu dengan dipecat atau dengan kematian sehingga kau akan mengalami kerugian duniawi dan ukhrawi. Dengan jabatan, amat sedikit orang yang agamanya selamat. Hal itulah yang mendorong orang berakal untuk meninggalkan dan menghindari jabatan.

Jika tampilan lahir jabatan itu berupa pakaian indah, makanan, enak dan rumah mewah yang merayumu untuk mendudukinya, batinnya sebenarnya melarangmu untuk itu karena jabatan selalu membuatmu lalai dari Allah dan mendatangkan kerugian dan bahaya bagi mereka yang menjabatnya.

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.

Selasa, 13 November 2018

Kitab al-Hikam (Pasal 70): Kenikmatan Sempurna adalah Rezeki yang Mencukupi

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).

Al-Hikam (Pasal 70)
1. Di antara bentuk kesempurnaan nikmat atasmu adalah ketika Dia memberi sesuatu yang mencukupimu dan menahan sesuatu yang akan mencelakakanmu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

DI ANTARA bentuk kesempurnaan nikmat Allah atasmu adalah ketika Dia memberimu sesuatu yang dapat mencukupi kebutuhanmu dan menahan sesuatu yang akan mencelakakanmu atau menjerumuskanmu ke dalam tindakan berlebihan (thughyan), terutama dalam urusan harta.

Allah swt. berfirman, "Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas karena dia melihat dirinya serba cukup." (QS. al-'Alaq [96]: 6-7).

Di dalam hadits disebutkan, "Apa yang sedikit dan cukup lebih baik daripada yang banyak, tetapi melenakan."

Pemberian yang tidak mencukupi kebutuhan, biasanya, akan membuat seseorang sibuk dan melalaikan ketaatan kepada Allah. Pemberian semacam itu tidak disebut sebagai kesempurnaan nikmat.

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 66-69): Seorang Sâlik Tidak Layak Berharap Langgengnya Karamah

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).

Al-Hikam (Pasal 66)
1. Jangan sekali-kali mengharapkan kekalnya wârid yang telah selesai membentangkan cahayanya dan menyingkapkan seluruh rahasianya. Semua yang kau butuhkan ada pada Allah dan kau tidak memerlukan yang lain.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

JANGAN SEKALI-KALI mengharapkan kekalnya ahwâl kalbu yang telah selesai membentangkan cahayanya kepadamu, yakni dengan mengajari lahir dan batinmu cara-cara beribadah dan melaksanakan 'ubudiyyah atau yang telah selesai menyingkapkan rahasia-rahasianya kepadamu, yaitu berupa keagungan-keagungan rububiyyah yang tampak jelas di hadapan hatimu. Sekalipun kau telah merasakan faedah yang diberikan wârid itu, hendaknya kau jangan sekali-kali berharap wârid itu kekal bercokol dalam dirimu, lalu kau bersedih bila ia pergi meninggalkanmu karena yang sebenarnya kau butuhkan adalah Allah, bukan yang lain.

Seseorang berkata, "Setiap hal yang hilang darimu akan ada gantinya. Akan tetapi, jika Allah hilang darimu, takkan ada pengganti-Nya."

Allah menempatkanmu le dalam satu keadaan batin agar kau mengambil manfaat yang berupa perkenalan dengan-Nya. Jika manfaat tersebut telah sampai ke tanganmu, jangan kau harap ia tetap ada padamu, sebagaimana keberadaan seorang rasul tidak lagi diperlukan setelah risalahnya tersampaikan. Keberadaan seorang penjaga amanat tidak lagi dibutuhkan setelah amanatnya terlaksana. Jika kau meminta agar rasul dan penjaga amanat itu tetap ada, berarti kau menjadi budak mereka.

Ibnu Atha'illah menjelaskan hal itu dengan ucapannya:

Al-Hikam (Pasal 67)
2. Keinginanmu terhadap kekalnya sesuatu selain Allah menjadi bukti bahwa kau belum bertemu dengan-Nya. Kerisauanmu lantaran kehilangan sesuatu selain Allah menjadi bukti bahwa kau belum sampai kepada-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KEINGINANMU TERHADAP kekalnya sesuatu selain Allah, seperti kekalnya wârid yang berupa karunia Ilahi dalam bentuk cahaya, maqâm, dan kenikmatan lahir dan batin, adalah bukti bahwa kau ada bukan untuk-Nya dan kau belum menemukan-Nya. Jika kau menemukan Allah di hatimu dan seluruh batinmu berkumpul untuk-Nya, kau tidak akan menginginkan kekekalan segala sesuatu selain-Nya.

Kerisauanmu lantaran kehilangan sesuatu selain-Nya, seperti karunia-karunia di atas, adalah bukti bahwa kau belum terhubung dengan-Nya dan belum sampai kepada-Nya. Jika kau telah sampai kepada-Nya, niscaya kau akan melupakan segala sesuatu selain-Nya dan tidak risau saat kehilangan sesuatu selain-Nya.

Jika hati seorang sâlik telah mendapatkan wârid, lalu ia mengaku telah sampai kepada Allah, namun masih mencari dan menghendaki suatu benda yang dicintai atau resah karena kehilangannya, itu adalah bukti bahwa ia belum mendapatkan maqâm mulia seperti itu.

Al-Junaid berkata, "Kau tidak akan menjadi hamba Allah yang sejati sebelun kau memerdekakan diri dari segala sesuatu selain-Nya. Kau pun tidak akan mendapatkan kemerdekaan sejati sebelum kau menjadi hamba-Nya."

Al-Hikam (Pasal 68)
3. Walaupun bentuknya beragam, nikmat terwujud lantaran penyaksian dan kedekatan dengan Allah. Sebaliknya, meski bentuknya beragam, siksa terwujud lantaran keberadaan hijab-Nya. Jadi, sebab siksa adalah keberadaan hijab dan sebab kesempurnaan nikmat adalah dengan memandang wajah-Nya yang mulia.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

WALAUPUN NIKMAT DUNIA dan akhirat bermacam-macam bentuknya, entah berupa pakaian, makanan, bidadari, ataupun surga, kenikmatan saat menikmati semua itu terwujud lantaran kita menyaksikan Allah dan merasakan kedekatan-Nya. Maksudnya, semua kenikmatan itu akan menjadi nikmat yang sesungguhnya apabila saat mendapatkannya, kau tetap merasa menyaksikan Allah dan hadir bersama-Nya.

Jika tidak, semuanya bukanlah kenikmatan hakiki, melainkan derita dan azab karena derita dan azab, walaupun bentuknya beragam, bisa berupa siksaan fisik, neraka, atau rantai belenggu. Semuanya adalah akibat keberadaan hijab yang menghalangimu dari-Nya sehingga Dia tak tampak di hadapanmu. Jika kau menyaksikan-Nya, yang kau rasa bukan lagu azab sebenarnya, melainkan kenikmatan terasa dengan meihat wajah-Nya Yang Mulia atau menyaksikan-Nya dengan mata batin di akhirat.

Kesimpulannya, kenikmatan sejati hanya dapat kita rasakan saat melihat Tuhan. Sementara itu, penderitaan yang sesungguhnya, terjadi ketika kita terhalang dari-Nya. Adapun sesuatu yang secara lahir dinikmati seseorang atau menjadi azab baginya, sesungguhnya itu bukanlah kenikmatan jika ia tidak melihat-Nya, bukan azab hakiki jika ia melihat-Nya.

Al-Hikam (Pasal 69)
4. Bila hati masih merasa risau dan sedih berarti masih terhalang untuk menyaksikan-Nya.

(Ibnu Atha-illah al-Iskandari).

BILA HATI masih merasakan sedih dan risau terhadap hal-hal yang bersifat duniawi, berarti hati tersebut masih terhalang dari melihat Allah dengan mata batinnya. Jika tidak, tentu ia tidak akan merasakan risau dan sedih atas hilangnya sesuatu dari dunia ini.

Perasaan risau dan sedih tersebut adalah akibat dari sikap memandang diri sendiri dan mengedepankan maslahat pribadi. Sekiranya seseorang tidak melihat dirinya sendiri dan hanya menyaksikan Tuhannya, tentu ia akan selalu senang dan bahagia. Allah swt. berfirman, "Janganlah kau bersedih, sesungguhnya Allah senantiasa bersama kita."

Siapa yang hatinya bersinar dengan cahaya makrifat, ia tidak akan bersedih selamanya. Akan tetapi, jika orang yang mencapai maqâm ini masih merasakan kesedihan dan kerisauan yang tak tertahankan, ketahuilah bahwa di dalam kesedihan dan kerisauan itu masih ada faedah yang mulia. Kesedihan dan kerisauan dapat menjernihkan hati dan memadamkan hawa nafsu serta mengurangi kesenangan dunia.

Kerisauan selalu berhubungan dengan sesuatu yang akan datang dan kesedihan berhubungan dengan sesuatu yang sudah lampau. Keduanya bisa terjadi terhadap perkara-perkara ukhrawi.

Seorang ahli neraka tidak mengalami kerisauan dan kesedihan, kecuali ia tidak bisa menyaksikan Tuhannya. Jika ia sudah melihat Tuhannya, ia tidak lagi mengalami dua perasaan itu. Azab akan terasa manis dan nikmat dalam pandangannya.

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.

Kitab al-Hikam (Pasal 61-65): Karunia Ilahi yang Diilhamkan ke Dalam Hati akan Menyalahi Kebiasaan

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).

Al-Hikam (Pasal 61)
1. Ketika berbagai limpahan karunia Ilahi datang kepadamu, lenyaplah semua kebiasaan burukmu karena, "Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakan negeri itu dan membuat penduduknya yang mulia menjadi hina." (QS. an-Naml [27]: 34)

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

"LIMPAHAN KARUNIA ILAHI" dalam hikmah tersebut adalah penampakan Allah atau ahwâl. Ketika semua itu masuk ke dalam hatimu dan menciptakan ahwâl, ia akan melenyapkan kebiasaan-kebiasaan dan perkara-perkara buruk jiwamu. Karunia Ilahi memiliki kekuatan besar. Jika meresap ke dalam hati yang banyak berisi keburukan dan kekotoran, ia akan membersihkannya dan menggantinya dengan ahwâl yang berisi sifat-sifat yang diridai-Nya.

Biasanya, para raja dengan bala tentaranya, jika masuk ke sebuah negeri, akan memusnahkan negeri itu dan menghancurkan semua kenikmatan yang biasa didapat oleh penduduknya. Demikian pula karunia Ilahi, ia diumpamakan bala tentara raja. Jika ia memasuki hati, ia akan memusnahkan semua yang ada di dalamnya.

Ini adalah jawaban dari ungkapan yang menyatakan bahwa kebiasaan adalah sesuatu yang selalu dilakukan oleh watak dan tabiat sehingga sulit dihilangkan meski oleh limpahan karunia Ilahi. Namun, limpahan karunia Ilahi itu memiliki sifat menghancurkan dan memusnahkan, seperti halnya bala tentara raja-raja. Dengan demikian, ia mampu menghapus kebiasaan-kebiasaan buruk dalam hati.

Ibnu Atha'illah menjelaskan hal itu dengan ucapannya:

Al-Hikam (Pasal 62)
2. Limpahan karunia datang dari sisi Dzat Yang Maha Mengalahkan. Oleh karena itu, semua yang berbenturan dengannya pasti hancur. "Sebenarnya Kami melemparkan yang hak kepada yang batil, lalu yang hak itu menghancurkannya. Maka dengan serta-merta yang batil itu lenyap." (QS. al-Anbiyâ' [21]: 18)

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

LIMPAHAN KARUNIA datang dari Dzat Yang Memiliki kemampuan untuk mengalahkan dan menguasai karena ia datang dari Dzat Yang Maha Mengalahkan dan tak bisa dikalahkan. Oleh sebab itu, semua sifat buruk yang berbenturan dengan-Nya akan hancur. Selain itu, karunia Ilahi adalah kebenaran yang datang melawan kebatilan. Kebatilan takkan ada jika dihancurkan oleh kebenaran.

Allah swt. berfirman, "Sebenarnya Kami melemparkan yang hak kepada yang batil, lalu yang hak itu menghancurkannya. Maka dengan serta-merta yang batil itu lenyap." (QS. al-Anbiyâ' [21]: 18).

Al-Hikam (Pasal 63)
3. Bagaimana mungkin Allah terhijab oleh sesuatu, sedangkan Dia tampak, ada, dan hadir pada sesuatu yang dijadikan hijab.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

BAGAIMANA MUNGKIN Allah terhijab oleh sesuatu, sedangkan pada sesuatu yang menjadi hijab itu Allah tampak dan hadir serta bisa disaksikan oleh para pemilik mata batin.

Bagaimana mungkin sesuatu yang menjadi objek penampakan Allah menjadi hijab bagi-Nya. Keterhalangan Allah hanya terjadi bagi orang-orang yang dibutakan mata hatinya sehingga tidak bisa melihat-Nya pada segala sesuatu.

Al-Hikam (Pasal 64)
4. Jangan putus asa terhadap amal yang kau kerjakan dengan tidak khusyuk; apakah diterima atau tidak. Bisa jadi, Dia menerima amal yang buahnya tidak kau dapatkan secara langsung.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

JANGAN PUTUS ASA terhadap diterimanya sebuah amal yang kau kerjakan saat mengerjakannya hatimu tidak merasakan kehadiran Allah atau tidak merasa seakan melihat Allah. Bisa jadi, hal itu merupakan bukti bahwa amalmu diterima karena ketiadaab bukti tidak mesti meniadakan yang dibuktikan.

Oleh sebab itu, Ibnu Atha'illah berkata, "Bisa jadi, Dia menerima amal yang buahnya tidak kau rasakan secara langsung." Maksudnya, buah penerimaan atau bukti-buktinya tidak kau sadari secara langsung saat kau melakukannya. Di antara bukti amalmu diterima adalah adanya rasa manis dan nikmat hati saat kau melakukan sebuah amal.

Al-Hikam (Pasal 65)
5. Jangan membanggakan datangnya wârid yang buahnya tidak kau ketahui karena tujuan bergumpalnya awan bukanlah turunnya hujan, melainkan tumbuhnya buah-buahan.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

JANGAN KAU SENANG dengan datangnya wârid jika buah dari wârid itu tidak kau ketahui. Jangan kau bangga dengan datangnya wârid jika hatimu tidak terdorong untuk lebih dekat, taat, dan melaksanakan semua hak rububiyyah-Nya. Buah sesungguhnya dari wârid ialah terpengaruhnya hatimu oleh wârid itu sehingga sifat-sifat burukmu berubah menjadi terpuji. Jika hal ini tidak kau alami, jangan kau senang dan bangga terlebih dahulu dengan datangnya wârid. Bisa jadi, kau tertipu olehnya.

Ketahuilah, awan mendung datang untuk menumbuhkan buah-buahan, bukan untuk menurunkan hujan. Demikian pula wârid, yang penting adalah buahnya karena banyak orang yang mendapatkan wârid atau mengalami ahwâl, namun justru mereka tertipu sehingga meninggalkan amalan-amalan lahir.

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.