Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).
Al-Hikam (Pasal 95)
1. Dia menunjukkan wujud nama-Nya lewat keberadaan makhluk-Nya. Dia menunjukkan sifat-sifat-Nya lewat keberadaan nama-Nya. Dia menunjukkan wujud dzat-Nya lewat keberadaan sifat-sifat-Nya. Pasalnya, tidak mungkin sifat tersebut ada dengan sendirinya. Orang-orang yang ditarik kepada-Nya (majdzûb) akan diperlihatkan kepada kesempurnaan dzat-Nya, kemudian dibawa untuk menyaksikan sifat-Nya, lalu digiring untuk bergantung kepada nama-Nya, selanjutnya dikembalikan lagi untuk menyaksikan makhluk-Nya. Adapun para sâlik, mereka mengalami kondisi sebaliknya. Akhir perjalanan para sâlik adalah awal perjalanan kaum majdzûb (yang ditarik kepada-Nya). Sementara itu, awal perjalanan sâlik adalah akhir perjalanan kaum majdzûb. Hal itu tidak berarti bahwa keduanya sama. Bisa saja keduanya bertemu di jalan. Yang satu sedang naik, sedangkan yang lain sedang turun.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
ALLAH MENUNJUKKAN asma'-Nya lewat keberadaan jejak-jejak atau ciptaan-ciptaan-Nya yang baik dan sempurna. Semua ciptaan tidak akan berwujud, kecuali dari Dzat Yang Maha Mampu, Maha Berkehendak, dan Maha Mengetahui.
Dia juga menunjukkan sifat-sifat-Nya seperti qudrah (Maha Kuasa), irâdah (Maha Berkehendak), dan 'ilmu (Maha Mengetahui) lewat keberadaan asma'-Nya. Lewat sifat-sifat-Nya itu, Dia menunjukkan wujud dzat-Nya karena tak mungkin sifat ada sendiri tanpa sosok yang memiliki sifat itu.
Inilah kondisi para sâlik. Hal pertama yang tampak bagi mereka adalah jejak-jejak Allah, yaitu berupa perbuatan-Nya (af'al). Mereka kemudian menjadikan perbuatan-Nya itu sebagai bukti adanya asma' Allah. Asma tersebut menunjukkan adanya sifat-sifat-Nya. Dengan sifat-sifat itu pula, mereka membuktikan adanya dzat Allah. Merekalah yang berkata, "Kami tidak pernah melihat sesuatu, kecuali setelah itu kami melihat Allah padanya."
Sebaliknya dengan orang-orang majdzûb. Hal itu diisyaratkan oleh Ibnu Atha'illah melalui butiran hikmah sebagai berikut:
"Orang-orang yang ditarik kepada-Nya (majdzûb) akan diperlihatkan kepada kesempurnaan dzat-Nya," yaitu agar mereka melihatnya dengan mata kepala sendiri dan perasaannya.
"Kemudian, mereka dibawa untuk menyaksikan sifat-Nya," bermakna melihat hubungan sifat-sifat itu dengan dzat-Nya.
"Lalu digiring untuk bergantung kepada nama-Nya, selanjutnya dikembalikan lagi untuk menyaksikan makhluk-Nya," misalnya dengan menyaksikan hubungan antara asma' Allah dengan makhluk. Karena makhluk itu sendiri bersumber dari asma' Allah, mereka akan dikembalikan lagi untuk menyaksikan makhluk-Nya.
Hal pertama yang tampak bagi kaum majdzûb adalah hakikat Dzat Yang Suci, lalu mereka ditarik dari sana untuk melihat sifat-sifat-Nya. Selanjutnya, merekq kembali untuk bergantung kepada asma'-Nya. Setelah itu, mereka diturunkan lagi untuk melihat makhluk-makhluk-Nya. Mereka itulah yang berkata, "Kami tidak melihat sesuatu, kecuali kami sebelumnya melihat Allah."
Jika akhir perjalanan para majdzûb adalah meilhat makhluk-makhluk Allah setelah melihat Allah, akhir perjalanan para sâlik berbeda. Di akhir perjalanannya, para sâlik menyaksikan Dzat suci-Nya dan mengungkap kesempurnaan-Nya setelah sebelumnya melihat makhluk-Nya.
Dengan demikian, awal perjalanan para sâlik adalah akhir perjalanan kaum majdzûb. Namun demikian, tidak berarti kedua golongan itu sama karena di akhir perjalanannya, meski mereka juga akan ditarik Allah (jadzab), para sâlik harus memiliki terlebih dahulu keteguhan dan ilmu tentang kondisi perjalanannya serta pengetahuan tentang hambatan jiwa.
Mereka tidak akan ditarik Allah, kecuali setelah melalui perjuangan dan kesulitan. Lain halnya dengan awal perjalanan para majdzûb, mereka tidak perlu memiliki keteguhan. Oleh sebab itu, di awal perjalanannya, mereka kerap mengalami ghaibah (ketidaksadaran) dan tidak mengetahui apa yang mereka lakukan. Terkadang mereka meninggalkan kewajiban dan melakukan kemungkaran-kemungkaran syar'i. Namun, mereka tidak disiksa atas hal itu karena akal mereka, yang merupakan poros taklif, tengah tertutup oleh cahaya.
Di awal perjalanan para sâlik, mereka tidak menyaksikan kesempurnaan dzat, asma', dan sifat-Nya. Lain halnya dengan akhir perjalanan para majdzûb, mereka tidak mengalami kesadaran, kecuali setelah melihat kesempurnaan dzat, asma', dan sifat-Nya.
Para sâlik beramal untuk meningkatkan diri mereka di jalan kefanaan dan kesirnaan. Sementara itu, para majdzûb dipaksa berjalan untuk menuruni jalan keabadian dan kesadaran. Jika demikian, bisa saja keduanya bertemu di tengah jalan. Yang satu sedang naik dari makhluk menuju Khalik, sedangkan yang lain sedang turun dari Khalik menuju makhluk.
Mungkin keduanya bertemu dalam tajalli asma' dan sifat-sifat-Nya, yakni masing-masing dari mereka menyaksikan asma'-Nya. Namun, seorang majdzûb, jika berpindah dari situ, berarti ia berpindah kepada makhluk, sedangkan sâlik berpindah kepada sifat. Tentu sâlik lebih utama dari majdzûb karena ia banyak mengambil manfaat dari perjalanannya. Lain halnya dengan majdzûb, jika Allah menghendaki untuk menyempurnakan kondisinya, Allah akan membuatnya sadar.
Masing-masing dari ilmu sâlik dan majdzûb bersumber dari perasaan walaupun prinsip ilmu sâlik lebih bersifat deduktif, sebagaimana yang disimpulkan dari ungkapan, "Dia menunjukkan wujud nama-Nya lewat keberadaan makhluk-Nya...."
Seorang majdzûb, selama masih mengalami jadzab, tak layak untuk mendapat gelar "syekh" karena ia belum melewati berbagai maqâm dan belum mengetahui berbagai petaka jiwa. Selain itu, ia masih sibuk menjalani satu kondisi sehingga melupakan kondisi lainnya.
Demikian pula seorang sâlik, jika ia belum mencapai taraf musyâhadah dan tajalli, ia tidak layak mendapat gelar "syekh" karena ia belum sempurna. Yang layak mendapat gelar "syekh" hanyalah orang yang telah berhasil menghimpun keduanya, baik perjalanan sulûk-nya lebih dahulu dari jadzab-nya maupun sebaliknya.
Terkadang seorang majdzûb melewati berbagai maqâm dengan cepat dan ia juga mengetahui berbagai peraka jiwa sehingga ia layak menjadi syekh meski harus tetap dengan kondisi jadzab-nya. Namun, ini terjadi pada beberapa orang majdzûb saja, seperti sosok Sayyid Ahmad al-Badawi, bukam terjadi pada setiap majdzûb.
Al-Hikam (Pasal 96)
2. Kadar cahaya kalbu dan rahasia jiwa hanya diketahui dalam selubung malakut, sebagaimana cahaya langit hanya tampak di alam dunia ini.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
"CAHAYA KALBU atau rahasia batin" ialah ilmu pengetahuan laduni dan cahaya kebenaran yang terkandung di dalamnya. Cahaya kalbu ini tidak diketahui, kecuali dalam selubung malakut-Nya yang gaib dari kita, yaitu alam akhirat. Maka dari itu, siapa beriman kepada yang gaib dan berupaya melembutkan jiwanya sampai mendapatkan cahaya itu, ia dapat meraih keuntungan yang banyak di sana walaupun di dunia ia terhina dan terabaikan.
Al-Hikam (Pasal 97)
3. Buah ketaatan yang dirasakan di dunia adalah kabar gembira bagi orang-orang yang beramal tentang adanya balasan ketaatan di akhirat.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
BUAH KETAATAN yang dimaksud adalah cahaya yang masuk ke dalam hati dan memancar dalam lahir mereka yang beramal. Buah ketaatan yang bisa dirasakan langsung di dunia merupakan kabar gembira dari Allah tentang adanya balasan ketaatan itu di akhirat. Ini juga pertanda bahwa amal itu diterima Allah swt., sebagaimana dalam bait hikmahnya, "Buah amal di dunia menunjukkan adanya penerimaan Allah."
Namun demikian, hikmah ini tidak menegaskan bahwa amal boleh ditujukan untuk mendapatkan pahala dan bahwa tujuan tersebut adalah mulia.
Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar