Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).
Al-Hikam (Pasal 98)
1. Bagaimana kau dapat menuntut imbalan atas amal, padahal Allah yang menyedekahkan amal itu kepadamu? Bagaimana kau dapat meminta ganjaran atas keikhlasan, padahal Allah yang menghadiahkan keikhlasan itu kepadamu.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
BAGAIMANA KAU MEMINTA pahala atas amal yang telah Allah sedekahkan untukmu? Tentu sikap ini tidak layak bagimu karena manusia tidak meminta imbalan dari orang lain, kecuali ia mengerjakan satu pekerjaan yang manfaatnya kembali kepada orang itu. Di sini sifat tersebut tidak ada karena manfaat amal itu hanya kembali kepada dirimu, bukan kepada Allah swt. Dia sama sekali tidak membutuhkan dirimu dan amalmu.
Selain diberikan atas dasar amal, pahala juga diberikan berdasarkan ketulusan dan keikhlasan di dalam amal itu. Dalam beramal pun, kau tidak layak meminta balasan atas ketulusanmu karena ketulusan itu adalah hadiah Allah untukmu. Oleh sebab itu, Ibnu Atha'illah berkata, "Bagaimana kau dapat meminta ganjaran atas keikhlasan, padahal Allah yang menghadiahkan keikhlasan itu kepadamu?."
Di sini Ibnu Atha'illah menggunakan lafal "sedekah dan hadiah" sebagai pengingat atas hal yang disebutkan, yaitu bahwa amap dan ikhlas di dalamnya tak lain manfaatnya untuk dirimu sendiri. Oleh sebab itu, tak patut dan amat buruk bagimu jika meminta imbalan atau pahala atas amal tersebut. Maka dari itu, ungkapan hikmah di atas menggunakan lafal pertanyaan "bagaimana" yang menunjukkan pertanyaan, tetapi berkonotasi cibiran.
Dalam hikmah di atas, untuk mengungkapkan amal lahir, Ibnu Atha'illah menggunakan lafal "menyedekahkan", sedangkan untuk mengungkapkan keikhlasan yang merupakan amal batin dan poros diterimanya amal lahir, beliau menggunakan lafal "menghadiahkan". Hal itu dimaksudkan untuk menjelaskan perbedaan antara keduanya (amal dan keikhlasan) dalam hal kemuliaan, seperti perbedaan antara sedekah dan hadiah. Sedekah diberikan kepada kaum fakir, sedangkan hadiah diberikan kepada orang-orang kaya sehingga hadiah lebih menunjukkan kehormatan orang yang diberi hadiah itu.
Al-Hikam (Pasal 99)
2. Ada kaum yang cahayanya mendahului zikir. Ada kaum yang zikirnya mendahului cahaya. Ada kaum yang zikir dan cahayanya berada dalam posisi yang sama. Ada pula kaum yang tidak memiliki zikir dan cahaya, na'ûdzu billâh.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
KAUM YANG cahayanya mendahului zikir adalah kaum majdzûbûn (orang-orang yang didekatkan Allah kepada-Nya) dan murâdûn (orang-orang yang dikehendaki Allah untuk dekat dengan-Nya). Ketika mereka menghadapi cahaya, terdengarlah pada mereka zikir-zikir tanpa beban. Zikir-zikir itu pun dengan mudah mempengaruhi mereka.
Ada pula kaum yang zikirnya mendahului cahaya. Mereka adalah para murîdûn (yang menghendaki kedekatan dengan Allah) dan sâlikûn (yang meniti jalan menuju Allah). Mereka adalah orang-orang yang terbiasa ber-mujâhadah dan bersusah payah dalam beribadah. Mereka melakukan zikir dengan penuh perjuangan. Dengan zikir itu, mereka bisa mendapatkan cahaya.
Golongan pertama, mereka meraih ketaatan kepada-Nya dengan bantuan karamah Allah. Kondisi mereka ini sesuai dengan firman Allah, "Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar." (QS. al-Baqarah [2]: 105)
Sementara itu, golongan kedua meraih karamah Allah dengan ketaatan kepada-Nya. Kondisi mereka ini sesuai dengan firman-Nya, "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (QS. al-'Ankabût [29]: 69)
Ibnu Atha'illah menyebutkan hikmah lain untuk menjelaskan kondisi dua golongan tersebut:
Al-Hikam (Pasal 100)
3. Ada orang yang berzikir agar terang hatinya, lalu dia pun menjadi pezikir. Ada orang yang terang hatinya, lalu dia pun menjadi pezikir. Ada pula yang zikir dan cahayanya sama sehingga dengan zikirnya itu ia mendapat petunjuk dan dengan cahayanya itu ia melangkah.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
ADA ORANG yang berzikir agar terang hatinya. Mereka adalah para sâlikûn. Kemudian, ada orang yang terang hatinya, lalu ia berzikir. Mereka itulah para majdzûbûn. Baginya berzikir seakan bernapas seperti biasa, bahkan lebih ringan lagi. Beda halnya dengan golongan pertama (sâlikûn).
Seperti telah dijelaskan, sâlik lebih sempurna daripada majdzûb karena sâlik benar-benar mengetahui jalan menuju Allah. Mereka mendapatkan karamah dengan perjuangan dan penderitaan, sedangkan majdzûb tidak demikian karena mereka tidak pernah meniti jalan menuju Allah. Mereka mendapat karamah Allah karena Allah yang menarik mereka untuk didekatkan kepada-Nya. Seperti itulah kondisi mayoritas majdzûb. Jika tidak, sebagian dari mereka mungkin akan meniti jalan yang dipersingkat oleh pertolongan Allah untuknya sehingga ia menempuhnya dengan cepat. Di sini mungkin ia tetap menempuh jalan, tetapi ia tidak mengalami liku-likunya dan menapaki panjang jaraknya.
Ibnu Atha'illah mengisyaratkan hal-hal yang berhubungan dengan majdzûb dan sâlik dengan ucapannya:
Al-Hikam (Pasal 101)
4. Zikir yang terlihat bersumber dari penyaksian batin dan hasil berpikir.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
ZIKIR YANG lahir tak lain bersumber dari penyaksian terhadap Tuhan secara batin dan hasil tafakur tentang-Nya. Masing-masing dari majdzûb dan sâlik tidak mengucapkan zikir secara lahir, kecuali setelah menyaksikan Tuhan secara batin dan memikirkan-Nya. Seorang majdzûb akan mengalami hal itu, sedangkan sâlik tidak mengalaminya karena tebalnya sifat kemanusiaannya. Meski demikian, ia tetap tidak kehilangan cahaya secara total. Jika tidak mendapatkan cahaya tersebut, tentu ia tidak akan berzikir. Seperti telah disebutkan di awal, "Sekiranya tidak ada karunia Ilahi, tidak akan ada zikir," atau, "Sekiranya tidak ada tajalli (penampakan Ilahi), tidak akan ada tahalli (penyerapan sifat-Nya)."
Maksud zikir di sini adalah seluruh amal lahir. Disebut zikir karena zikir adalah ruh amal-amal tersebut karena semua amal mengandung zikir (mengingat Allah). Masing-masing dari penyaksian dan tafakur untuk melakukan zikir dijalani oleh majdzûb dan sâlik.
Al-Hikam (Pasal 102)
5. Allah membuatmu menyaksikan-Nya sebelum memintamu menyaksikan-Nya. Maka dari itu, seluruh anggota tubuh pun mengakui ketuhanan-Nya dan semua hati dan relung batin menyadari keesaan-Nya.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
ALLAH MENAMPAKKAN diri-Nya dalam hatimu. Dengan begitu, kau bisa menyaksikan-Nya berdasarkan kadar diri dan kedudukanmu sebelum Dia memintamu untuk bersaksi atas keagungan-Nya dengan zikir dan ibadahmu, karena zikir dan ibadah adalah sebentuk kesaksianmu atas keagungan Tuhan yang patut disembah dan diingat, serta pengakuan atas keesaan-Nya. Oleh karena itu, semua anggota tubuhmu akan berbicara tentang ketuhanan-Nya atau berbicara tentang segala hal yang menunjukkan ketuhanan Allah, sedangkan hati dan batin akan menyadari keesaan-Nya.
Kemungkinan maknanya adalah, di alam gaib Allah membukakan hakikat ketuhanan, keesaan, dan kepengaturan-Nya untuk para arwah. Di alam nyata, Dia juga menampakkannya dengan cara memasukkan hakikat itu ke dalam jasad-jasad. Selanjutnya, melalui lisan para nabi-Nya, para jasad itu dituntut untuk bersaksi atas ketuhanan-Nya maka semua jasad pun bersaksi dengan lisan dan ucapannya. Kesaksian itu keluar dari jasad ketika ia dituntut untuk bersaksi berdasarkan apa yang disaksikannya.
Makna ucapan Ibnu Atha'illah "Allah membuatmu menyaksikan-Nya" adalah Allah menampakkan keesaan-Nya di alam arwah. "Sebelum memintamu untuk menyaksikan-Nya" bermakna, Dia memintamu bersaksi setelah menempatkan keesaan-Nya di dalam jasad sehingga jasad berbicara tentang ketuhanan-Nya dengan lisan dan ucapan. Maksudnya, ketika Allah meminta jasad melalui lisan para nabinya untuk bersaksi, jasad pun angkat bicara dan menyaksikan keesaan-Nya.
Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar