Kitab al-Hikam Terjemah.
Berikut adalah doa yang dipanjatkan oleh Ibnu Atha'illah al-Iskandari beserta sedikit penjabaran mengenai doa yang beliau panjatkan:
Bait Doa ke-8.
Inilah aku mendekat pada-Mu dengan perantara kefakiranku (kebutuhanku) kepada-Mu. Namun, bagaimana aku dapat berperantara kepada-Mu dengan sesuatu yang mustahil sampai kepada-Mu? Bagaimana aku akan mengadukan kepada-Mu keadaanku, sedangkan kata-kata itu dari-Mu dan akan kembali kepada-Mu? Bagaimana akan kecewa harapanku, padahal ia telah datang menghadap-Mu? Bagaimana tidak akan menjadi baik ahwâl-ku, sedangkan ia berasal dari-Mu dan kembali pula kepada-Mu.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
TUHANKU, inilah aku, memohon kepada-Mu dengan perantara kebutuhanku kepada-Mu. Ku jadikan kefakiranku sebagai perantara untuk memohon syafaat dari-Mu agar Kau menerima amalanku. Aku tidak ingin menjadikan amal-amalku yang masih tercemari sifat Riya' dan ahwâl-ku yang masih kurang sempurna sebagai perantara untuk memohon pada-Mu.
Seseorang bertanya kepada Abu Hafash, "Dengan apa seorang fakir mendekatkan diri kepada Tuhannya?" Ia menjawab, "Tak ada yang bisa diberikan seorang fakir kepada Tuhannya, kecuali kefakirannya."
Abu Yazid berkata, "Batinku diseru dengan sebuah suara yang berbunyi, 'Perbendaharaan Kami penuh berisi khidmat dan pelayanan. Jika kau menginginkan bantuan Kami, kau harus merendah dan merasa butuh di hadapan Kami.'"
Namun kemudian Ibnu Atha'illah urung menjadikan kefakirannya sebagai perantara untuk memohon syafaat Tuhannya. Ia berkata, "Bagaimana aku akan dapat berperantara kepada-Mu dengan sesuatu yang mustahil akan sampai kepada-Mu." Sesuatu yang mustahil bisa sampai kepada Allah yang dimaksud Ibnu Atha'illah ialah kefakiran. Seakan ia berkata, "Jika kefakiran bisa dijadikan perantara (wasilah) untuk mendekati-Mu, aku akan ber-tawassul dengan kefakiran itu." Sebuah perantara tentu memiliki hubungan yang erat dengan sosok yang ingin ditujunya. Namun di sini, tidak ada hubungan dan tak ada kesesuaian sama sekali antara kefakiran yang merupakan sifat seorang hamba dengan Tuhan yang memiliki kekayaan yang berlimpah.
Oleh sebab itu, ketika Abu al-Hasan asy-Syadzili menemui gurunya, Abdussalam, sang guru bertanya, "Wahai Abu al-Hasan, dengan apa kau mendekati Allah?" Abu al-Hasan menjawab, "Dengan kefakiranku." Abdussalam lantas berkata, "Demi Allah, jika kau mendekati Allah dengan kefakiranmu, pasti kau akan mendapatkan kehinaan yang besar."
Tuhanku, bagaimana aku akan mengadukan kepada-Mu keadaanku, padahal ia tidak tersembunyi dari-Mu?.
Pengaduan keadaan tidak bisa dilakukan, kecuali kepada orang yang tidak mengetahuinya, sedangkan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu dan tak satu pun yang tersembunyi dari-Nya.
Oleh sebab itu, al-Khalil Ibrahim as. berkata, "Cukuplah bagiku untuk tidak bertanya ilmu-Nya tentang keadaanku."
Ungkapan yang berbunyi "tidak ada keluhan kecuali kepada Allah" ini adalah ungkapan orang-orang yang lalai dan terhijab dari-Nya.
Tuhanku, bagaimana akan aku jelaskan pada-Mu keadaanku, sedangkan kata-kata itu berasal dari-Mu dan kembali kepada-Mu? Bagaimana aku akan mengungkapkan apa yang ada di hati kecilku, sedangkan kata-kata dan penjelasan itu dari-Mu dan akan kembali kepada-Mu? Kaulah yang membuat lisan berbicara dan melancarkan pembicaraannya. Penjelasan tidak terjadi, kecuali bagi orang yang tidak memahami kondisi sesuatu yang dijelaskan, sedangkan Allah Maha Memahami segala sesuatu.
Tuhanku, bagaimana akan kecewa harapanku, padahal harapan itu telah datang menghadap kepada-Mu? Ia datang menghadap seperti para utusan yang datang kepada seorang yang mulia. Tak ragu bahwa Allah Mahamulia dan Pemurah. Dia tidak pernah mengecewakan hamba yang datang kepada-Nya. Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba tetap yakin akan terwujud keinginannya walaupun ia tidak meminta dan berharap.
Ketika kalimat-kalimat tanya ini menandakan adanya kekurangan pada diri Ibnu Atha'illah dan kekurangan ini tidak layak bagi seorang 'ârif dan muhaqqiq karena berpangkal dari sikap memandang diri "Bagaimana tidak akan menjadi baik keadaanku, sedangkan ia berasal dari-Mu dan kembali pula kepada-Mu?"
Dengan kata lain, bagaimana tidak menjadi baik keadaan lahir dan batinku yang berupa amal saleh, sedangkan ia berasal dari-Mu dan akan kembali pula kepada-Mu? Karena hanya Kaulah yang menjadu tujuan dari amal saleh itu.
Siapa yang berhasil meraih maqam makrifat, ia akan melihat semua ahwâl-nya baik karena ia tetap berada bersama Allah dan mengembalikan semua perkaranya kepada-Nya.
Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.