Tampilkan postingan dengan label Tasawuf. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tasawuf. Tampilkan semua postingan

Senin, 17 Desember 2018

Doa Ibnu Atha'illah al-Iskandari : Bait Doa ke-15

Kitab al-Hikam Terjemah.
Berikut adalah doa yang dipanjatkan oleh Ibnu Atha'illah al-Iskandari beserta sedikit penjabaran mengenai doa yang beliau panjatkan :

Bait doa ke-15.
Tuhanku, putusan-Mu yang pasti terlaksana dan kehendak-Mu yang memaksa tidak akan memberi kesempatan bagi orang yang pandai untuk berkata-kata atau orang yang mempunyai kesaktian untuk menunjukkan kesaktiannya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

TUHANKU, putusan dan ketetapan-Mu yang pasti terlaksana dan kehendakmu yang memaksa, keduanya tidak memberi kesempatan untuk orang yang pandai berbicara untuk angkat bicara. Hal itu dikarenakan, jika seseorang memiliki ucapan yang benar, misalnya selalu berbicara tentang hakikat dan makrifat, dan ia tidak akan tertipu oleh hal itu, maka putusan Allah dan kehendaknya menyatakan akan merampas hal lain selain kemampuan bicaranya. Ini seperti yang terjadi pada Bal'am bin Ba'ura.
Jika seseorang memiliki hal yang terpuji, misalnya ia mampu memprekdisikan berbagai perkara yang terjadi di alam semesta dan ia tidak tertipu olehnya, hukum dan putusan Allah telah menyatakan untuk mengambil hal lain selain kemampuan itu, sebagaimana terjadi dalam banyak kasus. Kenyataan ini mewajibkan seorang hamba untuk tetap istikamah dalam satu maqâm dan tidak tergoda oleh ucapan dan ahwâl-nya karena hukum Allah dan kehendak-Nya pasti terlaksana.



Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Doa Ibnu Atha'illah al-Iskandari : Bait Doa ke-14

Kitab al-Hikam Terjemah.
Berikut adalah doa yang dipanjatkan oleh Ibnu Atha'illah al-Iskandari beserta sedikit penjabaran mengenai doa yang beliau panjatkan :

Bait doa ke-14.
Tuhanku, kebaikan seseorang masih saja dianggap keburukan maka bagaimana mungkin keburukannya tidak dianggap keburukan? Kebenaran seseorang masih saja dianggap kebohongan maka bagaimana mungkin kebohongannya tidak dianggap kebohongan?.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

TUHANKU, siapa yang amal salehnya masih menyimpan kekurangan dan kesalahan karena sering dicemari rasa ujub dan Riya' sehingga amal itu nampak di mata manusia, sedangkan di mata Allah dianggap keburukan dan kekurangan, maka bagaimana mungkin kesalahan-kesalahannya yang lain tidak menjadi keburukan dan kesalahannya?.
Siapa yang hakikat, ilmu, dan pemahamannya hanya pengakuan belaka, maka bagaimana mungkin pengakuannya tentang hal lain tidak menjadi sekadar pengakuan palsu semata?.
Di sini Ibnu Atha'illah berkata, "Dalam berbagai keadaan, aku selalu merasa kekurangan pada diriku dan mengharap ampunan Allah. Tak satu pun kondisi yang ku alami di dalamnya aku merasa sempurna."
Hikmah ini menjelaskan bahwa kesempurnaan di mata hamba sebenarnya adalah kekurangan di mata Allah. Apalagi jika yang tampak di mata hamba adalah kekurangan, bagaimana di mata Allah?.



Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Selasa, 27 November 2018

Surat-surat Ibnu Atha'illah al-Iskandari untuk Sahabat-Sahabatnya: Dalam Menyikapi Pemberian, Orang 'Ârif Tidak Membedakan antara Bersyukur kepada Allah dan Berterima Kasih kepada Makhluk

Kitab al-Hikam Terjemah.

Ibnu Atha'illah berkata dalam surat yang di tulis untuk sahabat-sahabatnya:

Surat ke-12 sampai ke-13....

Bait Surat ke-12.
Mata hati memandang bahwa yang memberi segala karunia hanyalah Allah. Namun, syariat menyuruh berterima kasih kepada sesama makhluk.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

DALAM PANDANGAN mata hati, yang memberi segala karunia dan nikmat adalah Allah semata. Namun demikian, syariat menuntut untuk berterima kasih kepada sesama makhluk.

Jika Tuhan memberimu nikmat melalui tangan seorang manusia, baik berupa nikmat agama, seperti ilmu dan makrifat, maupun berupa nikmat duniawi, dalam hal ini, kau harus memperhatikan hakikatnya. Kau harus melihat bahwa nikmat tersebut semata-mata dari Allah. Orang yang memberimu dengan tangannya hanyalah manusia lemah dan dikendalikan Allah. Oleh karena itu, kau harus memuji Allah atas nikmat tersebut. Namun, syariat menuntutmu agar kau juga berterima kasih kepada orang yang memberimu nikmat itu melaui tangannya. Kau harus mendoakan dan memujinya sebagai pelaksanaan terhadap perintah Allah dan pelaksanaan terhadap tuntutan syariat. Selain itu, kau harus memuji Allah karena Allahlah yang memberinya secara khusus, yaitu dengan menjadikannya pemilik nikmat tersebut.

Dalam hadits disebutkan, "Siapa yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti ia tidak berterima kasih kepada Allah."

Bait Surat ke-13.
Dalam menyikapi nikmat Tuhan, manusia terbagi tiga. Pertama, orang yang sangat lalai terhadap Tuhan. Jiwa materialistis yang ada pada orang ini sangat kuat tertanam sehingga ruhaninya (kesucian jiwanya) padam. Oleh karena itu, ia memandang bantuan (kebaikan) yang diberikan makhluk sebagai bantuan yang semata-mata dari makhluk. Ia sama sekali tidak melihatnya dari Allah, Tuhan alam semesta. Jika ia meyakini bahwa yang memberi bantuan itu semata-mata adalah makhluk, ini adalah syirik yang nyata. Akan tetapi, jika ia meyakini bahwa makhluk itu hanyalah sebagai sebab--andaikan tidak ada sebab itu, tidak akan terjadi karunia--sikap ini pun tetap dianggap sebagai syirik, namun syirik yang samar.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

DALAM MENYIKAPI nikmat yang datang melalui perantara makhluk, manusia terbagi menjadi tiga kelompok.

Kelompok pertama adalah orang yang lalai dan jauh dari Allah. Jiwa materialistisnya sangat kuat. Pandangannya terhadap kebendaan menyertai kelalaiannya kepada Tuhannya sehingga kesucian mata hatinya--yang mensucikan Allah dari segala hal yang tak layak disandang-Nya--padam. Orang seperti ini melihat kebaikan itu semata-mata datang dari makhluk, bukan dari Tuhan semesta alam. Jika sikapnya ini menjadi semacam keyakinan baginya, misalnya dengan meyakini bahwa yang mempengaruhi dan memberi hanya hamba, kemusyrikannya jelas. Kemusyrikan itu dapat mengeluarkannya dari area keimanan ke ranah kefakiran.

Akan tetapi, jika ia menganggap bahwa makhluk tersebut hanya sebagai sebab dan tetap meyakini bahwa pemberi sebenarnya adalah Allah, tetapi ia menisbatkan pemberian itu kepada makhluk dan menganggap makhluk itu sebagai sebab yang menentukan, syiriknya tersamar.

Orang seperti itu, jika ditanya, "Siapa yang memberimu? Ia akan menjawab, 'Allah, tetapi tanpa si fulan yang datang sebelum ini maka tidak akan ada pemberian ini karena tanpa sebab takkan ada yang disebabkan.'"

Syiriknya tersamar karena ia dianggap menyertakan pihak lain selain Allah, yaitu makhluk. Orang-orang seperti ini masih tetap dianggap mukmin, namun dikhawatirkan akan terjadi kefakiran padanya, na'ûdzu billâh.

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.