Kitab al-Hikam Terjemah.
Ibnu Atha'illah berkata dalam surat yang di tulis untuk sahabat-sahabatnya:
Surat ke-12 sampai ke-13....
Bait Surat ke-12.
Mata hati memandang bahwa yang memberi segala karunia hanyalah Allah. Namun, syariat menyuruh berterima kasih kepada sesama makhluk.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
DALAM PANDANGAN mata hati, yang memberi segala karunia dan nikmat adalah Allah semata. Namun demikian, syariat menuntut untuk berterima kasih kepada sesama makhluk.
Jika Tuhan memberimu nikmat melalui tangan seorang manusia, baik berupa nikmat agama, seperti ilmu dan makrifat, maupun berupa nikmat duniawi, dalam hal ini, kau harus memperhatikan hakikatnya. Kau harus melihat bahwa nikmat tersebut semata-mata dari Allah. Orang yang memberimu dengan tangannya hanyalah manusia lemah dan dikendalikan Allah. Oleh karena itu, kau harus memuji Allah atas nikmat tersebut. Namun, syariat menuntutmu agar kau juga berterima kasih kepada orang yang memberimu nikmat itu melaui tangannya. Kau harus mendoakan dan memujinya sebagai pelaksanaan terhadap perintah Allah dan pelaksanaan terhadap tuntutan syariat. Selain itu, kau harus memuji Allah karena Allahlah yang memberinya secara khusus, yaitu dengan menjadikannya pemilik nikmat tersebut.
Dalam hadits disebutkan, "Siapa yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti ia tidak berterima kasih kepada Allah."
Bait Surat ke-13.
Dalam menyikapi nikmat Tuhan, manusia terbagi tiga. Pertama, orang yang sangat lalai terhadap Tuhan. Jiwa materialistis yang ada pada orang ini sangat kuat tertanam sehingga ruhaninya (kesucian jiwanya) padam. Oleh karena itu, ia memandang bantuan (kebaikan) yang diberikan makhluk sebagai bantuan yang semata-mata dari makhluk. Ia sama sekali tidak melihatnya dari Allah, Tuhan alam semesta. Jika ia meyakini bahwa yang memberi bantuan itu semata-mata adalah makhluk, ini adalah syirik yang nyata. Akan tetapi, jika ia meyakini bahwa makhluk itu hanyalah sebagai sebab--andaikan tidak ada sebab itu, tidak akan terjadi karunia--sikap ini pun tetap dianggap sebagai syirik, namun syirik yang samar.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
DALAM MENYIKAPI nikmat yang datang melalui perantara makhluk, manusia terbagi menjadi tiga kelompok.
Kelompok pertama adalah orang yang lalai dan jauh dari Allah. Jiwa materialistisnya sangat kuat. Pandangannya terhadap kebendaan menyertai kelalaiannya kepada Tuhannya sehingga kesucian mata hatinya--yang mensucikan Allah dari segala hal yang tak layak disandang-Nya--padam. Orang seperti ini melihat kebaikan itu semata-mata datang dari makhluk, bukan dari Tuhan semesta alam. Jika sikapnya ini menjadi semacam keyakinan baginya, misalnya dengan meyakini bahwa yang mempengaruhi dan memberi hanya hamba, kemusyrikannya jelas. Kemusyrikan itu dapat mengeluarkannya dari area keimanan ke ranah kefakiran.
Akan tetapi, jika ia menganggap bahwa makhluk tersebut hanya sebagai sebab dan tetap meyakini bahwa pemberi sebenarnya adalah Allah, tetapi ia menisbatkan pemberian itu kepada makhluk dan menganggap makhluk itu sebagai sebab yang menentukan, syiriknya tersamar.
Orang seperti itu, jika ditanya, "Siapa yang memberimu? Ia akan menjawab, 'Allah, tetapi tanpa si fulan yang datang sebelum ini maka tidak akan ada pemberian ini karena tanpa sebab takkan ada yang disebabkan.'"
Syiriknya tersamar karena ia dianggap menyertakan pihak lain selain Allah, yaitu makhluk. Orang-orang seperti ini masih tetap dianggap mukmin, namun dikhawatirkan akan terjadi kefakiran padanya, na'ûdzu billâh.
Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar