Selasa, 27 November 2018

Surat-surat Ibnu Atha'illah al-Iskandari untuk Sahabat-sahabatnya: Perjalanan Hati ke Hadirat Tuhan

Kitab Al-Hikam Terjemah.

Ibnu Atha'illah berkata dalam surat yang ditulis untuk sahabat-sahabatnya:

Surat ke-1 sampai ke-11....

Bait Surat ke-1.
Sesungguhnya, bidâyah (permulaan) itu bagaikan cermin yang memperlihatkan nihâyah (akhir). Siapa yang bidâyah-nya selalu bersandar kepada Allah, pasti nihâyah-nya akan sampai kepada-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

UNGKAPAN DI ATAS menjelaskan kondisi sâlik sejak awal hingga akhir perjalanan sampai ia menempati kedudukannya. Kemudian, Ibnu Atha'illah menyebutkan etika sulûk (meniti jalan Allah) dan cara wushûl (sampai kepada Allah).

Maksud "permulaan" di sini adalah permulaan segala perkara. Yang dimaksud "cermin yang memperlihatkan akhir" adalah gambaran akhir segala perkara. Artinya, permulaan seorang murîd adalah gambaran akhirnya. Jika di awalnya ia sudah memiliki tekad kuat untuk menghadap Allah dan berjuang dalam ibadah dan riyâdhah, itu adalah bukti bahwa di akhirnya ia akan mendapatkan kemenangan besar. Ia akan sampai kepada tujuannya dalam waktu singkat. Akan tetapi, jika di awalnya ia lemah, kemenangan dan wushûl-nya pun akan lemah.

Siapa yang sejak awalnya telah bersandar kepada Allah, selalu meminta pertolongan-Nya dalam ibadah dan riyâdhah-nya, maka di akhirnya, ia pasti akan sampai kepada Allah. Ia akan berhasil mengungkap betapa Allah Maha Qayyûm (mengatur). Ia pun akan selalu mengesakan-Nya dan meyakini bahwa Allah adalah Yang Awal dan Yang Akhir, Lahir dan Batin. Dengan begitu, ia akan merasa dirinya sirna dan hilang di hadapan Allah.

Bait Surat ke-2.
Yang harus dikerjakan ialah amal ibadah yang engkau sukai dan semangat dalam melakukannya, sedangkan yang harus diabaikan ialah hawa nafsu dan urusan dunia yang sering mempengaruhi.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

YANG HARUS kau kerjakan, wahai murîd yang tulus, adalah amal saleh yang mendekatkanmu kepada Tuhanmu dan menyampaikanmu kepada makrifat tentang-Nya. Jangan kau abaikan amalan itu! Sukailah, karena tak ada yang pantas membuatmu sibuk selain amalan itu.

Adapun yang harus kau abaikan dan tak perlu kau pedulikan ialah keinginan nafsu dan maslahatmu yang akan sirna , namun sering kau utamakan daripada kedekatanmu dengan Tuhanmu dan kesibukanmu melayani-Nya. Oleh karena itu, kau harus melembutkan dan memperindah jiwamu dengan karunia-Nya. Jangan menyesal karena telah meninggalkan semua keinginanmu sebab tak ada yang harus dilakukan kecuali itu.

Ungkapan ini bertujuan untuk mendorong para sâlik serta menggugah tekad dan semangat mereka agar selalu memuji hal-hal yang membuat Allah dekat dan mencela hal-hal yang membuat-Nya berpaling.

Bait Surat ke-3.
Siapa yang yakin bahwa Allah menyuruhnya melakukan ibadah, pasti ia bersungguh-sungguh menghadap kepada-Nya. Siapa yang mengetahui bahwa segala urusan itu di tangan Allah, pasti bulatlah tawakalnya kepada-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

SIAPA YANG yakin bahwa Allah menuntutnya untuk melayani-Nya dan melaksanakan tugas-tugas 'Ubudiyyah, pasti ia akan menghadap Allah dengan tulus dan berusaha melakukan apa saja yang diridai-Nya dengan sempurna. Hal itu dikarenakan, buah amalnya itu akan kembali kepada dirinya sendiri, bukan kepada Tuhannya. Jika ia berakal dan memiliki makrifat, layakkah jika ia tidak tulus dan sungguh-sungguh dalam beramal dan meninggalkan maslahat pribadinya?.

Siapa yang mengetahui bahwa segala urusan di tangan Allah, termasuk upayanya untuk melayani Tuhannya, pasti hatinya akan tertuju kepada-Nya dengan tawakal dan memohon-Nya agar mempermudah segala urusan dan hal-hal yang mendekatkan diri kepada-Nya. Tak ada yang bisa melakukan hal itu, kecuali Allah swt. Semua perkara berada di tangan-Nya dan seorang hamba tidak berperan apa-apa.

Bait Surat ke-4.
Bangunan alam ini pasti rusak binasa. Lenyap pula semua barang berharga yang ada di dalamnya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ALAM INI pasti akan hancur. Semua kenikmatannya akan dirampas kembali oleh Allah.

Tujuan hikmah ini adalah untuk menghibur para hamba yang kehilangan sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan dan kepentingan syahwatnya saat ia menjalani sulûk. Jika ia mengetahui bahwa dunia ini tidak abadi dan akhirat sudah dekat di depan mata, tentu ia tidak akan bahagia dengan sesuatu yang fana. Dengan meninggalkannya, justru jiwanya akan berubah menjadi baik.

Bait Surat ke-5.
Orang yang sempurna akalnya ialah yang lebih bahagia dengan yang kekal daripada yang rusak binasa karena cahaya hatinya telah terang dan tanda-tanda cahaya itu tampak pada air mukanya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ORANG YANG berakal ialah orang yang lebih bahagia dan gemar kepada akhirat daripada kepada dunia yang fana. Jika dunia ini fana dan akhirat kekal abadi, tentu tidak layak baginya untuk bahagia dengan dunia. Siapa yang berbahagia dengan yang fana, kebahagiaannya pun akan fana. Siapa yang berbahagia dengan yang kekal, kebahagiaannya pun akan kekal. Itulah kebahagiaan yang seharusnya dicari.

Kesimpulannya, orang yang berakal adalah orang yang berzuhud dan meninggalkan dunia. Adapun orang yang menghendaki dunia, ia bodoh dan tidak berakal. Kalimat "lebih bahagia" bermakna, yang diinginkan orang yang berakal ialah kebahagiaan yang lebih. Hal ini tidak berarti bahwa kebahagiaan dengan perkara dunia hilang sama sekali darinya karena itu adalah hal yang lumrah dialami manusia.

"Cahaya hatinya telah terang" bermakna, cahaya kezuhudan seorang yang berakal telah terpancar di dalam hatinya. Buah cahaya itu akan tampak di keceriaan wajahnya. Cahaya, jika terpancar dari hati, akan tampak pula pada anggota tubuh lainnya. Baginya, itu adalah berita gembira bahwa amalnya telah diterima.

Bait Surat ke-6.
Orang yang berakal memalingkan mukanya dari dunia ini, mengabaikannya dengan memejamkan mata, dan terus berlalu meninggalkannya. Ia tidak menganggapnya sebagai tanah air atau tempat tinggal.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

DENGAN CAHAYA yang terpancar di hatinya, ia bisa melihat jelas apa saja yang perlu dijauhinya di dunia ini. Ia terus berjalan menjauhinya tanpa menoleh ke belakang sama sekali. Ia tidak menjadikan dunia ini sebagai negeri untuk berleha-leha dan bersenang-senang. Tidak pula menjadikannya sebagai tempat tinggal yang dicintainya.

Bait Surat ke-7.
Bahkan semangatnya terus bangkit untuk segera sampai kepada Allah dan terus berjalan menuju-Nya sambil berharap pertolongan-Nya agar segera sampai.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

IA BERSEGERA dan membangkitkan semangatnya untuk mencapai Allah. Ia terus berjalan di dunia sambil meminta pertolongan dan bantuan Allah untuk sampai ke hadirat-Nya, bukan dengan mengandalkan amalnya yang masih tercemari sifat-sifat Riya' dan sombong.

Seseorang berkata, "Siapa yang mengira amalnya dapat membawanya sampai kepada harapan tertinggi atau terendahnya, ia telah tersesat jalan. Nabi saw. bersabda 'Tidaklah amal seseorang dapat menyelamatkan dirinya.'"

Sesuatu yang tidak dapat menyelamatkan kita dari hal yang ditakuti mana mungkin akan membawa kita kepada maksud. Siapa yang benar-benar bersandar kepada karunia Allah, itulah orang yang akan mendapatkan predikat wushûl.

Bait Surat ke-8.
Kendaraan semangatnya terus berjalan tiada henti sampai berlabuh di hadirat Ilahi, di atas hamparan kesenangan, tempat kelapangan, berhadapan dengan-Nya, bercakap-cakap dan menyaksikan-Nya, dan bersimpuh di tempat belajar ilmu-Nya sehingga hadirat Ilahi itu menjadi sarang hati mereka. Ke sana mereka kembali dan di sana pula mereka tetap tinggal.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KENDARAAN TEKADNYA terus berjalan dan tidak berhenti karena tak ada yang menghalanginya. Biasanya, yang menghalangi kendaraan tekad itu ialah sikap bergantung kepada selain Allah, misalnya terhadap dunia, atau berupa hal-hal yang menghambat perjalanan sâlik untuk sampai kepada Allah, seperti karamah, mukâsyafah, ahwâl, dan maqâm-maqâm. Semua itulah yang sering menghentikan kendaraan tekad seorang yang berakal untuk berbuat.

Perjalanan kendaraan itu terus berlanjut hingga tertambat di hadirat Allah dan hamparan kesenangan. Hadirat Allah digambarkan dengan pelataran raja besar, tempat para utusan datang beristirahat saat bertandang ke tempatnya.

Ibnu Atha'illah menjelaskan sifat hadirat Allah itu dengan tempat kelapangan, berhadap-hadapan dengan Allah, bercengkerama dan bercakap-cakap tentang rahasia-Nya, menyaksikan Allah secara batin setelah orang itu kehilangan kesadarannya, serta tempat ia mendapatkan ilmu kegaiban.

Seseorang, jika masuk ke hadapan singgasana raja dunia yang agung, ia akan merasa lapang karena raja itu menyambutnya dengan baik. Raja itu juga akan menemuinya langsung, lalu duduk di hadapannya dan bercakap-cakap bersamanya. Semua itu adalah buah dari pertemuan. Rasa senang dan lapang ini dirasakan karena ia mendapatkan kehormatan untul melihat raja langsung. Padahal, sebagai seorang penguasa, raja itu enggan menghadapi orang biasa sepertinya.

Demikian pula seorang sâlik, jika ia telah sampai ke hadirat Allah, Dia akan menyambutnya dengan keterbukaan dan keramahan serta memberinya ilmu dan makrifat rabbani yang tidak diketahui hakikatnya, kecuali oleh orang yang telah sampai ke sana dan merasakan apa yang di rasa oleh orang-orang yang dekat dengan Tuhannya. Semoga Allah swt. menjadikan kita semua termasuk di antara mereka.

Hadirat Tuhan itu menjadi penenang hati mereka atau menjadi tempat bagi hati mereka merasakan ketenangan dan kedamaian, seperti halnya sarang burung yang menjadi tempat tinggal dan berteduh bagi mereka.

Bait Surat ke-9
Apabila mereka tiba di langit kewajiban (menunaikan kewajiban) atau turun ke bumi kepentingan (hawa nafsu), hal itu terjadi dengan izin dan keyakinan yang mendalam. Mereka tidak menunaikan kewajiban dengan lali dan menyalahi adab. Demikian pula bila menuruti hawa nafsu, bukan semata-mata dorongan syahwat yang meluap atau kesenangan duniawi, tetapi mereka masuk ke dalamnya dengan pertolongan Allah untuk meraih keridaan-Nya, menuruti tuntutan-Nya, dan berharap kepada-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KEWAJIBAN DIUMPAMAKAN dengan langit karena keduanya sulit diraih dan digapai. Sementara itu, hawa nafsu diumpamakan dengan bumi karena keduanya mudah didapat dan gampang diraih. Mereka tiba di langit kewajiban atau turun ke bumi hawa nafsu atas izin dan keyakinan mendalam. Dengan demikian, saat melakukan kewajiban, mereka tidak melakukannya dengan lalai dan menyalahi etika. Mereka tidak bergaul dengan makhluk, kecuali dengan adab dan etika yang sempurna karena mereka menyaksikan Allah ada pada makhluk itu. Mereka selalu sadar dan lalai kepada Dzat yang membuat semua makhluk berwujud. Jika mereka disakiti seseorang, mereka akan menanggung deritanya karena Allah. Mereka melihat bahwa yang membuat seseorang menyakitinya adalah Allah karena sebuah dosa yang dilakukannya. Sebaliknya, jika seseorang menghormati mereka, mereka akan bersyukur kepada-Nya, sambil meyakini bahwa yang menggerakkan hati orang itu untuk menghormatinya adalah Allah.

Saat mereka menuruti hawa nafsu, mereka tidak semata-mata menurutinya karena dorongan syahwat dan kesenangan duniawi. Hal itu mereka lakukan karena pertolongan Allah. Jika tidak, saat mereka diberi pilihan antara diam di hadirat Ilahi atau keluar dari sana dan bergaul dengan makhluk, niscaya mereka akan memilih diam di hadirat Ilahi dan tidak turun ke bumi.

Bait Surat ke-10.
Katakanlah, "Tuhanku, masukkanlah aku melalui pintu kebenaran dan keluarkanlah aku melalui pintu kebenaran pula supaya pandanganku tetap bulat pada kekuasaan dan kekuatan-Mu ketika Kau memasukkanku, demikian pula kepasrahan dan ketundukanku selalu kepada-Mu ketika Kau mengeluarkanku."

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

PINTU MASUK dan keluar dalam kalimat di atas diungkapkan Ibnu Atha'illah dengan dua perjalanan yang disebut dalam hikmah sebelumnya. "Masuk" adalah perjalanan naik, bermakna menemui Allah dalam kondisi kefanaan diri dan jauh dari melihat diri sendiri. Adapun "keluar" bermakna perjalanan turun karena ia adalah keluarnya seseorang menuju makhluk untuk memberi hidayah dan dakwah pada saat ia merasa bersama Tuhannya.

"Pintu masuk kebenaran" bermakna, ia harus menyaksikan daya dan upaya Allah dalam perjalanan naiknya. Dengan begitu, ia tidak akan menisbatkan amal kepada dirinya sendiri. Adapun "pintu keluar kebenaran" adalah, ia harus tunduk dan berserah kepada Tuhannya dalam perjalanan turunnya sehingga rida dengan ketetapan Allah untuknya dan tidak mengeluh atas keputusan itu.

Oleh sebab itu, Ibnu Atha'illah berkata, "Supaya pandanganku tetap bulat pada kekuasaan dan kekuatan-Mu ketika Kau memasukkanku, demikian pula kepasrahan dan ketundukanku selalu kepada-Mu ketika Kau mengeluarkanku."

Dengan kata lain, supaya pandanganku terhadap diriku sirna dan keinginanku untuk tetap mengikuti hawa nafsu hilang. Di pintu masuk, yang ku lihat hanya daya dan upaya-Mu sehingga penglihatanku kepada diriku hilang. Di pintu keluar, aku berserah pada-Mu sehingga keuntungan diri dan hawa nafsuku hilang.

Bait Surat ke-11.
Dan berikan untukku, langsung dari-Mu kekuatan dan pertolongan yang membantuku untuk melawan nafsuku, membantu kawan-kawanku dan orang-orang yang ku kasihi, serta membantuku untuk mengenali kelemahan diri dan melenyapkanku dari kurungan perasaanku, bukan kekuatan dan pertolongan yang membantu nafsu dan musuh-musuhku.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

BERIKAN AKU kekuatan dan hujjah yang nyata dari-Mu langsung tanpa perantara dan tanpa sebab dari diriku. Dengan hujjah Ilahi itu, segala sesuatu yang ditemuinya akan dibantah dan dipatahkan. Dengan hujjah Ilahi itu pula, aku dapat menaklukan diriku dan mengalahkan musuh lahir dan batinku serta melenyapkanku dari kungkungan perasaanku. Maksudnya adalah segala hal yang terjadi pada perasaanku sehingga aku tidak bergantung padanya dan tidak melihatnya bisa mendatangkan manfaat dan madharat bagiku karena aku melihat bahwa yang memberi manfaat dan madharat hanyalah diri-Mu.

Orang-orang yang dibantu Allah kelak, jika muncul di satu masa, mereka akan membawa manfaat yang besar bagi para generasi masa itu. Dan Allah akan memberi mereka karunia tanpa mereka sadari.

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar