Selasa, 30 Oktober 2018

Kitab al-Hikam (Pasal 131-134) : Hubungan antara Pengabulan dengan Kehinaan dan Kebutuhan

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).

(Pasal 131)
1. Tiada sesuatu yang lebih menuntutmu, kecuali kebutuhan mendesak. Tidak ada pula yang dapat mempercepat tibanya pemberian selain rasa hina dan butuh.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KEBUTUHAN MENDESAK seorang hamba merupakan sifat terkhusus 'Ubudiyyah-nya kepada Allah. Oleh sebab itu, tak ada sesuatu pun yang lebih menuntut seorang hamba, kecuali perasaan mendesak itu. Maknanya, sebaik-baik peminta adalah kebutuhan mendesak; Ibnu Atha'illah mengumpamakan kebutuhan mendesak ini dengan sosok "peminta".

Kebutuhan mendesak adalah sikap menampakkan kefakiran yang sangat sehingga terkonotasi bahwa kau tak memiliki daya dan upaya apa-apa, serta tidak menemukan satu pun sebab yang bisa kau jadikan sandaran untuk mendapatkannya. Keadaanmu sama dengan keadaan orang yang tenggelam di laut atau yang tersesat di hutan. Kau tak mendapati sesuatu pun yang dapat menyejahterakanmu, kecuali Tuhanmu dan tak berharap keselamatan dari kebinasaanmu, kecuali dari-Nya.

Tak ada yang dapat mempercepat tibanya pemberian selain rasa hina dan butuh karena kehinaan dan rasa butuh merupakan dua sifat yang ada pada seorang yang terdesak. Keduanya tentu akan mempercepat pemberian Allah kepada hamba-Nya yang memiliki sifat itu.

Allah swt. berfirman, "Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Oleh karena itu, bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mensyukuri-Nya." (QS. ali Imran [3]: 123). Karena kondisi itulah, mereka pun akhirnya mendapatkan pertolongan dan kemenangan dari Allah.

(Pasal 132)
2. Jika kau yakin bahwa kau hanya akan sampai kepada-Nya setelah lenyapnya keburukanmu dan sirnanya semua hasratmu, kau selamanya tak akan sampai kepada-Nya. Akan tetapi, jika Dia menghendakimu sampai kepada-Nya, Dia akan menutupi sifatmu dengan sifat-Nya dan watakmu dengan watak-Nya. Dia membuatmu sampai kepada-Nya dengan kebaikan yang diberikan-Nya kepadamu, bukan dengan kebaikan yang kau persembahkan kepada-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KAU TIDAK AKAN sampai kepada-Nya sekalipun kau melakukan riyadhah (olah batin) dan mujahadah berusaha menghilangkan aib dan semua keinginan untuk meraih kekuatan, kehormatan, kekayaan, dan kekuasaan. Itu adalah sifat-sifat inti dan watak yang sudah melekat pada seorang hamba dan tak bisa terlepas darinya. Sampainya kau kepada Allah adalah anugerah-Nya kepadamu, bukan karena usahamu sendiri.

Hal itu diisyaratkan Ibnu Atha'illah dengan ucapannya "Akan tetapi, jika Dia menghendakimu sampai kepada-Nya, Dia akan menutupi sifatmu dengan sifat-Nya, watakmu dengan watak-Nya." Allah akan menutup dan menghapus sifat-sifat buruk darimu. Dia juga akan mengabadikan ketiadaan sifat-sifat burukmu itu dengan menampakkan sifat-sifat yang baik padamu.

Hal itu diisyaratkan Allah dalam sebuah hadis qudsi, "Hamba-Ku terus mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunah sampai Aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengarannya yang digunakannya untuk mendengar, penglihatannya yang digunakan untuk melihat, tangannya yang digunakannya untuk memukul, dan kakinya yang digunakannya untuk berjalan."

Allah akan membawamu sampai kepada-Nya dengan anugerah-Nya kepadamu, yaitu berupa sifat-sifat-Nya yang ditampakkan-Nya kepada dirimu, bukan dengan usahamu dalam beramal.

Asy-Syadzili berkata, "Seorang wali tidak akan pernah sampai kepada Allah selama ia memiliki syahwat, keinginan, dan pilihan. Walaupun Allah sudah memberi jalan baginya, ia tetap tidak akan sampai kepada-Nya. Namun, jika Allah menginginkan untuk mendekatkan hamba itu kepada-Nya, Dialah yang akan mengaturnya, yaitu dengan menampakkan sifat-sifat-Nya yang tinggi dan suci sehingga akan menghilangkan sifat-sifat hamba-Nya yang buruk. Saat itu, hamba tersebut tidak lagi memiliki keinginan dan pilihan, kecuali yang dipilihkan dan diinginkan Tuhannya."

(Pasal 133)
3. Kalau bukan karena keindahan tutup-Nya, tentulah tiada amal yang layak diterima.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KALAU BUKAN karena tirai-Nya yang indah, tentu tidak satu pun amal yang diterima-Nya karena seorang hamba selalu diuji dengan pandangannya terhadap diri sendiri dan kebahagiaannya dengan amalnya. Selain itu, ia juga selalu menisbatkan amalnya itu kepada diri dan kemampuannya. Terkadang ia membuka hujabnya di depan orang sehingga ia menjadi Riya' dan mengharap pujian manusia. Semua ini akan menjadi syirik tersamar yang dapat merusak keikhlasan. Sementara itu, keikhlasan adalah syarat diterimanya sebuah amal.

Dengan demikian, sampainya seorang murid kepada Allah bergantung pada karunia dan kemuliaan-Nya, bukan atas perjuangan dan kerja kerasnya. Sekiranya ia berkata, "Jika bukan karena karunia Allah," tentu akan lebih utama baginya daripada bersikap sombong.

(Pasal 134)
4. Ketika taat, kau lebih membutuhkan belas kasih-Nya daripada ketika melakukan maksiat.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

SEORANG YANG TAAT biasa mengalami keadaan, seperti sombong, 'ujub, meremehkan orang lain, menganggap dirinya layak mendapat pahala, dan kondisi lainnya yang mencerminkan kesombongan. Lain halnya dengan seorang pemaksiat, boleh jadi maksiatnya akan mendorongnya untuk berhati-hati, takut kepada Tuhannya, berlindung kepada-Nya, tunduk dan membutuhkan-Nya.

Oleh sebab itu, seorang hamba lebih membutuhkan belas kasih Allah saat ia taat, melebihi kebutuhannya terhadap belas kasih-Nya saat ia bermaksiat kepada-Nya. Hikmah ini merupakan peringatan tambahan bagi orang yang merasa mampu sampai kepada Allah dengan amalan-amalannya. Sikap ini adalah kesalahan dan kebodohan.

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar