Selasa, 30 Oktober 2018

Kitab al-Hikam (Pasal 135-137) : Dua Macam Perlindungan Allah

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).

(Pasal 135)
1. Tutup (perlindungan) Allah ada dua: tutup yang menghalangi perbuatan maksiat dan tutup ketika melakukan maksiat. Manusia pada umumnya berharap supaya ditutupi dalam melakukan maksiat karena khawatir derajat mereka jatuh di mata makhluk. Adapun kalangan khusus berharap ditutup (dicegah) dari perbuatan maksiat karena khawatir kedudukan mereka jatuh dalam pandangan Allah.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

TIRAI ALLAH ada dua macam. Pertama, tirai yang menghalangi seorang hamba dari kemaksiatan, misalnya dengan tidak memberinya sebab-sebab untuk melakukan maksiat. Kedua, tirai penutup saat hamba melakukan maksiat, misalnya dengan menutupi aibnya di hadapan semua orang saat ia melakukan maksiat atau sesudahnya.

Manusia awam yang tidak memiliki hakikat keimanan selalu didominasi oleh pandangan mereka terhadap makhluk. Mereka selalu berharap dari makhluk berbagai manfaat dan keselamatan dari bahaya, karena itu mereka bersifat Riya' dan berpura-pura di hadapan semua makhluk. Mereka selalu tamak dan sombong di hadapan manusia. Mereka juga tidak suka jika mengetahui hal-hal buruk yang ada pada diri mereka yang dapat menjatuhkan kedudukan mereka.

Oleh sebab itu, manusia cenderung meminta agar Allah menutupi aib mereka saat melakukan maksiat atau bahkan saat menyukainya. Hal itu dikarenakan, mereka takut martabatnya jatuh di mata makhluk. Jika makhluk mengetahui kondisi mereka, tentu mereka tidak akan mendapatkan apa yang mereka harapkan, yaitu manfaat dan keselamatan dari bahaya. Mereka itulah orang-orang yang bersandar kepada selain Allah. Mereka adalah ahli syirik tersamar yang dapat mengeluarkan pemiliknya dari hakikat keimanan. Tentang mereka, Allah swt. berfirman, "Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka." (QS. an-Nisa' [4]: 108).

Adapun orang-orang khusus yang mendapatkan hakikat keimanan, mereka tidak pernah menoleh kepada makhluk, tidak memuji, tidak pula mencela. Mereka juga tidak berharap dari makhluk manfaat atau takut terhadap bahaya mereka. Mereka tidak pernah bersandar kepada makhluk karena mereka hanya puas dengan pandangan Allah kepada diri mereka.

Orang-orang khusus ini meminta agar Allah menutupi aib mereka dari pandangan manusia dan menjaga bisikan hati mereka untuk tidak melakukan maksiat. Hal itu dikarenakan, mereka takut kedudukannya jatuh di mata Allah akibat pelanggaran dan perbuatan mereka yang memicu murka-Nya.

Inilah yang sering terjadi pada dua kelompok manusia tersebut. Tentu ada perbedaan yang besar di antara keduanya. Terkadang orang-orang awam meminta agar Allah menutupi aibnya. Ini dilakukannya karena ingin melaksanakan perintah Allah dan rasul-Nya untuk menutupi aib orang yang diuji dengan maksiat. Pada diri mereka tak ada rasa penghinaan terhadap maksiat, tidak pula rasa cinta kepadanya. Sesekali orang khusus juga meminta agar Allah menutupi maksiat yang mereka lakukan, tidak membongkarnya di tengah makhluk, tidak pula di hadapan Allah karena mereka malu telah jatuh ke jurang maksiat. Juga karena manusia sering berburuk sangka kepada orang-orang yang dekat dengan Allah jika mereka mengetahui keburukannya.

(Pasal 136)
2. Orang yang menghormatimu sebenarnya menghormati indahnya tutup Allah yang diberikan kepadamu. Oleh karena itu, pujian hanya layak diberikan kepada Dzat Yang Menutupi (aibmu); bukan kepada orang yang menaruh hormat dan berterima kasih kepadamu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ORANG YANG MENDEKATI dan mencintaimu atau berterima kasih kepadamu tak lain dikarenakan keindahan tirai Allah yang diberikan kepadamu. Tanpa tirai itu, mereka tidak akan datang kepadamu, tidak mencintaimu, dan tidak pula melihat kepadamu dengan keramahan. Hal itu dikarenakan jika mereka mengetahui apa yang ada padamu, niscaya mereka akan merendahkanmu dan menganggap dirimu buruk, bahkan mereka akan menghindar darimu.

Saat itulah segala puji hanya layak diberikan kepada Dzat Yang Menutupi aibmu, bukan kepada orang yang menghormati dan berterima kasih kepadamu. Jangan kau berterima kasih kepada orang itu, kecuali atas kebaikan yang diberikannya, bukan karena ia menghormatimu dengan sebenar-benarnya karena tak ada yang memuliakanmu dengan sebenarnya, kecuali Allah semata.

Orang yang didatangi, dicintai, dan dimuliakan oleh manusia kadang melakukan kesalahan sehingga pujian dan sanjungan kepadanya tidak tepat. Manusia yang memujinya sama saja dengan zalim. Ia juga kadang salah dengan melihat pada dirinya sifat-sifat terpuji yang layak mendapat kemuliaan. Maka dari itu, mereka yang memujinya termasuk orang-orang yang bodoh. Mereka bodoh karena hanya melihat kepada amalnya dan lupa kepada karunia Allah atasnya. Oleh karena itu, Ibnu Atha'illah mengingatkan dari dua kesalahan ini.

(Pasal 137)
3. Sahabat sejatimu adalah yang bersahabat denganmu dalam kondisi ia mengetahui aibmu. Tidak lain Ia adalah Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Sebaik-baik sahabatmu adalah yang tidak mengharap keuntungan darimu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

TIADA YANG MENJADI sahabatmu dengan sebenar-benarnya, kecuali Dzat yang memberimu kebaikan-Nya. Dia mengetahui aib dan celamu, namun Dia tidak pernah terhalang untuk mendekatimu dan menjadi sahabatmu, padahal ia mengetahui rincian kekurangan dan aibmu itu. Teman seperti itu ialah Tuhanmu Yang Maha Mulia. Seperti itu pulalah persahabatan kaum sufi dan orang-orang 'arif yang memiliki akhlak seperti sifat-sifat Tuhannya.

Adapun orang-orang yang menemanimu dengan kebodohannya, ia bukanlah sahabatmu sejati karena ia tak kuasa melihat kekurangan dan aibmu. Ia takkan mampu bersabar menanggungnya. Meskipun bersabar, pasti ada tendensi dan tujuan yang diinginkannya.

Sebaik-baik sahabatmu adalah orang yang tidak menuntut apa-apa darimu. Itu hanyalah Tuhanmu atau orang yang berakhlak seperti akhlak-Nya. Adapun orang yang bersahabat denganmu karena kebaikamu dan manfaat yang kau berikan kepadanya, ia bukanlah sahabat sejati karena tujuannya hanyalah menunaikan kebutuhannya darimu. Jika tujuan itu telah terlaksana, ia akan meninggalkanmu.

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar