Tampilkan postingan dengan label Kitab Al-Hikam Terjemah/Tasawuf/Surat-surat Ibnu Atha'illah al-Iskandari Untuk Sahabat-sahabatnya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kitab Al-Hikam Terjemah/Tasawuf/Surat-surat Ibnu Atha'illah al-Iskandari Untuk Sahabat-sahabatnya. Tampilkan semua postingan

Rabu, 28 November 2018

Surat-surat Ibnu Atha'illah al-Iskandari untuk Sahabat-sahabatnya: Tiga Macam Manusia dalam Menyikapi Pemberian Tuhan

Kitab al-Hikam Terjemah.

Ibnu Atha'illah berkata dalam surat yang ditulis untuk sahabat-sahabatnya:

Surat ke-18 sampai ke-20....

Bait Surat ke-18.
Di dalam menghadapi nikmat Allah, manusia terbagi tiga. Pertama, orang yang gembira dengan nikmat, bukan karena melihat siapa yang memberikannya, tetapi semata-mata karena kelezatan nikmat itu yang memuaskan hawa nafsunya maka ia termasuk orang lalai (ghafil). Orang ini sesuai dengan firman Allah, "Sehingga bila mereka telah puas gembira dengan apa yang diberikan itu, Kami tangkap mereka dengan tiba-tiba (Kami siksa mereka dengan tiba-tiba)." Kedua, orang yang gembira dengan nikmat karena ia merasa bahwa nikmat itu adalah karunia yang diberikan Allah kepadanya. Orang ini sesuai dengan firman-Nya, "Katakanlah, karena merasa mendapat karunia dan rahmat Allah maka dengan itulah mereka harus gembira. Yang demikian itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." Ketiga, orang yang hanya bergembira dengan Allah, bukan karena karunia-Nya. Ia tidal terpengaruh oleh kelezatan lahir dan batin nikmat itu karena ia hanya sibuk memperhatikan Allah sehingga ia tercukupi dari segala hal selain-Nya. Dengan demikian, tidak ada yang terlihat padanya, kecuali Allah. Orang ini sesuai dengan firman-Nya, "Katakanlah, 'Hanya Allah', kemudian biarkan mereka dalam kesibukan mereka berkecimpung (main-main)."

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

GOLONGAN PERTAMA penerima nikmat Allah itu seperti hewan yang makan dan minum tanpa mengingat Tuhannya. Setiap kali mereka diberi nikmat maka kelalaiannya terus bertambah dan mereka tidak pernah bersyukur kepada Allah. Akibatnya, Allah akan menyiksa mereka dengan tiba-tiba.

Golongan kedua, keadaan mereka pun masih kurang sempurna karena masih menoleh ke arah nikmat itu dan masih merasa bahagia dengannya. Ia masih merasa senang dengan nikmat kendati ia mengetahui bahwa nikmat itu bersumber dari Allah.

Golongan ketiga, mereka hanya bergembira dengan Allah, bukan dengan karunia-Nya. Mereka tidak terdorong untuk menikmati kelezatan lahir nikmat itu. Mereka juga tidak pernah menganggap bahwa wujud nikmat itu adalah bukti perhatian dan pertolongan Allah kepada mereka.

Bait Surat ke-19.
Allah telah mewahyukan kepada Nabi Daud as., "Hai Daud, katakanlah kepada orang-orang shiddîqîn, dengan Aku menyertai mereka, hendaknya bersenang gembira, dan dengan berzikir menyebut nama-Ku, hendaknya mereka merasakan nikmat."

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ALLAH MEWAHYUKAN kepada Nabi Daud as., "Hai Daud, katakanlah kepada orang-orang shiddîqîn." Shiddîqîn ialah orang-orang yang jujur dalam ucapan, perbuatan, dan ahwâl-nya.

"Dengan Aku menyertai mereka, hendaknya mereka bersenang gembira," berarti, hendaknya mereka senang dan bahagia hanya dengan-Ku, bukan dengan selain-Ku, karena Aku adalah Tuhan dan mereka adalah hamba-hamba-Ku. Mereka dituntut untuk membebaskan diri dari sifat-sifat kemanusiaannya.

Dikisahkan, suatu hari 'Utbah kecil menemui Rabi'ah al-Adwayiah. Ia mengenakan pakaian baru dan berjalan dengan berlenggak-lenggok, tidak seperti biasanya. Kemudian, Rabi'ah berkata kepadanya, "Wahai 'Utbah, apa yang kau lakukan? Mengapa kesombongan dan keangkuhan yang tak pernah ku lihat sebelumnya tampak pada dirimu hari ini?"

'Utbah menjawab, "Wahai Rabi'ah, siapa lagi yang lebih berhak dengan kesombongan ini dariku? Sekarang aku telah memiliki Tuhan dan aku telah menjadi hamba-Nya."

"Dan dengan berzikir menyebut nama-Ku, hendaknya mereka merasakan nikmat," bermakna, hendaknya mereka tidak menikmati, kecuali zikir mengingat-Ku, bukan mengingat kenikmatan dunia dan syahwatnya. Orang yang sibuk dengan zikir mengingat Allah akan mengalami kenikmatan dan kedekatan dengan Allah yang tak tertandingi oleh kenikmatan dunia apa pun.

Bait Surat ke-20.
Semoga Allah menjadikan kami dan kalian hanya dengan-Nya dan dengan rela terhadap segala yang datang dari-Nya. Semoga Allah menjadikan kita dari golongan orang-orang yang mengerti segala sesuatu tentang Allah dan tidak menjadikan kita dari golongan orang-orang yang lalai. Semoga Allah menjadikan kita berada di jalan orang-orang muttaqîn dengan karunia dan kemurahan-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

WAHAI SAUDARA-SAUDARA pembaca suratku ini, semoga Allah menjadikan kesenangan dan kegembiraan kita semua hanya dengan Allah dan rela terhadap segala hal yang bersumber dari Allah atau hanya dengan kenikmatan yang dihasilkan dari musyâhadah yang berlangsung terus-menerus. Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan orang-orang yang paham dan mengerti segala sesuatu tentang Allah. Mereka adalah orang-orang yang memahami maksud dan keinginan Allah dari mereka, yaitu agar mereka menuju kepada-Nya dan sibuk melayani-Nya. Mereka memahami bahwa Allah selalu hadir bersama mereka dan mengawasi segala gerak dan diam mereka. Mereka juga memahami bahwa Allah Maha Mengatur segala sesuatu dan bahwa segala sesuatu itu awalnya tidak ada. Oleh karena itu, mereka tidak pernah menoleh kepada makhluk atau kebendaan dalam mencari manfaat dan menghindari mudharat.

Mereka juga memahami bahwa Allah selalu bersama mereka dengan dzat-Nya, bukan dengan ilmu-Nya, sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang yang terhalang tirai dan yang hanya pandai mencari dalil dan bukti tentang wujud Allah.

Semoga Allah tidak menjadikan kita dari golongan orang-orang yang lalai karena sibuk dengan alam semesta dan kebendaan. Mereka tidak memahami maksud dan keinginan Allah dari mereka sehingga mereka tidak mau melakukan ketaatan kepada-Nya. Kalaupun mereka taat, itu hanya pada penampilan lahir mereka, tidak dari dalam hati.

Semoga Allah menuntun kami menapaki jalan orang-orang muttaqîn dengan karunia dan kemurahan-Nya. Merekalah orang-orang yang menghindari segala sesuatu selain Allah sehingga mereka tidak menoleh kepadanya dalam mencari manfaat dan menghindari mudharat dan mereka tak pernah lalai kepada-Nya sekelipan mata sekalipun. Ini adalah maqâm tertinggi ketakwaan. Mereka adalah orang yang berjalan di jalan muttaqîn dengan kemurahan dan karunia Allah, bukan dengan sebab-sebab tertentu yang mendorong mereka untuk itu.

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.

Selasa, 27 November 2018

Surat-surat Ibnu Atha'illah al-Iskandari untuk Sahabat-sahabatnya: Apa yang Allah berikan kepada Orang-orang 'Ârif dalam Shalat?

Kitab al-Hikam Terjemah.

Ibnu Atha'illah berkata dalam surat yang di tulis untuk sahabat-sahabatnya:

Surat ke-17....

Bait Surat ke-17.
Abu Bakar ash-Shiddiq ra. telah berkata kepada Aisyah ra. ketika Allah menurunkan ayat yang menerangkan kesucian Aisyah dari tuduhan-tuduhan orang munafik, "Hai Aisyah, bersyukurlah (berterimakasihlah) kepada Rasulullah." Jawab Aisyah, "Demi Allah, aku tidak akan bersyukur melainkan kepada Allah." Di sini, Abu Bakar menunjukkan kepada Aisyah tingkat kedudukan yang lebih sempurna, yaitu maqâm keabadian yang tetap mengakui adanya makhluk. Allah telah berfirman, "Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ayah-bundamu." Rasulullah saw. juga pernah bersabda, "Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih terhadap sesama manusia." Akan tetapi, ketika itu, perasaan Siti Aisyah ra. sedang tenggelam dalam lautan cahaya Ilahi sehingga ia lupa terhadap semua makhluk dan tidak melihat sesuatu, kecuali dzat Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KETIKA DITANYA tentang sabda Rasulullah saw., "Dan cahaya mataku ditetapkan dalam shalat," Ibnu Atha'illah menjawab, "Cahaya mata adalah metafor dari kebahagiaan yang sangat dan kenikmatan yang tak terhingga. Seakan beliau bersabda, 'Kebahagiaanku yang paling puncak dan kenikmatanku yang paling tinggi ada dalam shalat,' karena saat shalat, Rasulullah hanya melihat Tuhan."

Lantas, apakah hal itu berlaku khusus hanya pada diri beliau ataukah bisa pula berlaku pada selain beliau?.

Ibnu Atha'illah menjawab, "Sesungguhnya, cahaya mata (qurratul 'ain) bisa diraih dengan syuhûd atau dengan melihat Allah swt. dan keindahan-Nya."

Jika ada orang yang berkata, "Ada kalanya kesenangan (cahaya mata) itu dikarenakan shalat (dengan shalat) sebab shalat adalah karunia Allah dan datang dari sumbernya langsung. Bagaimana mungkin beliau tidak senang dengan shalat dan bagaimana mungkin shalat tidak menjadi puncak kesenangan beliau, sedangkan Allah telah berfirman, 'Katakanlah, hanya dengan (karena) karunia dan rahmat Allah itulah mereka harus bergembira?'" Jawaban yang tepat atas pernyataan tersebut adalah, "Ketahuilah bahwa ayat di atas justru menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut. Itu sangat jelas bagi orang yang memperhatikan rahasia kalimatnya. Allah berfirman, 'Maka dengan itulah, mereka harus bergembira.' Seakan Dia berkata, 'Katakan kepada mereka supaya mereka bergembira dengan pemberian dan karunia itu.' Sebagaimana firman-Nya dalam ayat lain, 'Katakanlah: Allah, kemudian biarkan mereka dalam kesibukan mereka berkecimpung.'"
Shalat merupakan karunia Allah yang terbesar untuk hamba-Nya, sebagaimana tersebut dalam sabda Nabi saw. Tak ada pemberian yang lebih baik bagi seorang hamba di dunia daripada diizinkannya ia untuk shalat dua rakaat. Hal itu dikarenakan, shalat adalah media kontak langsung antara hamba dengan Allah dan tempat hamba untuk bertemu, bercakap-cakap, dan ber-khalwat dengan-Nya. Di dalam shalat itu, seorang menyatakan kehambaannya, kerendahan, kehinaan, hajat, dan kebutuhannya kepada Tuhannya.

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.

Surat-surat Ibnu Atha'illah al-Iskandari untuk Sahabat-sahabatnya: Orang-orang Khâsshah (Istimewa)

Kitab al-Hikam Terjemah.

Ibnu Atha'illah berkata dalam surat yang di tulisnya untuk sahabat-sahabatnya:

Surat ke-14....

Bait Surat ke-14.
(Kelompok kedua) ahli hakikat yang telah melupakan makhluk karena langsung melihat kepada Allah. Ia juga lupa sebab-musabab karena teringat kepada yang menentukan sebab. Dia adalah hamba yang menghadapi hakikat. Pada dirinya tampak nyata terang cahayanya. Ia sedang berjalan pada jalannya dan telah sampai pada puncaknya. Hanya saja, ia tenggelam di alam cahaya sehingga tidak kelihatan bekas-bekas kemakhlukannya. Ia lebih banyak lupa pada alam daripada ingatnya, lebih sering bertemu dengan Allah daripada renggangnya, lebih banyak kefanaannya daripada keabadiaannya, dan lebih sering lupa pada makhluk daripada ingatnya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

INI ADALAH kelompok kedua, yakni ahli hakikat yang telah melupakan makhluk dengan menyaksikan Allah langsung (melihat kepada Allah). Ia tidak merasakan kehadiran makhluk dan tidak pernah menoleh ke arah mereka. Ia juga amat mengabaikan sebab-sebab sehingga tidak menganggap apa pun amal perbuatan mereka. Ia hanya melihat sebab dari segala sebab, yaitu Allah swt. Orang seperti ini adalah hamba yang menghadapi hakikat yang nyata, yaitu Allah swt. karena ia hanya melihat kepada-Nya. Cahaya hakikat itu terpancar kepadanya. Ia hanya berjalan pada jalan ahli tarekat dengan menganggapnya sebagai pangkal. Ia telah sampai pada puncaknya.

Walaupun kelompok kedua ini (ahli tarekat) amat sempurna dibandingkan kelompok pertama (orang lalai), ternyata ia masih kurang dibandingkan orang yang lebih sempurna darinya, yaitu ahli makrifat.

Oleh sebab itu, Ibnu Atha'illah berkata, "Hanya saja, ia tenggelam di alam cahaya." Alam cahaya juga dapat diartikan lautan tauhid. Ia tenggelam dalam lautan tauhid sehingga kebendaan telah redup dalam pandangan mata batinnya, demikian pula semua hamba dan segala perantara. Ia tidak pernah mau melihat dan merasakan semua itu. Lupanya terhadap alam lebih banyak daripada ingatnya. Perjumpaannya dengan Allah lebih sering daripada renggangnya. Kefanaan dirinya karena melihat Allah lebih besar dibandingkan keabadiannya karena melihat makhluk. Lupanya terhadap makhluk lebih besar daripada ingatnya kepada mereka.

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.

Surat-surat Ibnu Atha'illah al-Iskandari untuk Sahabat-sahabatnya: Perjalanan Hati ke Hadirat Tuhan

Kitab Al-Hikam Terjemah.

Ibnu Atha'illah berkata dalam surat yang ditulis untuk sahabat-sahabatnya:

Surat ke-1 sampai ke-11....

Bait Surat ke-1.
Sesungguhnya, bidâyah (permulaan) itu bagaikan cermin yang memperlihatkan nihâyah (akhir). Siapa yang bidâyah-nya selalu bersandar kepada Allah, pasti nihâyah-nya akan sampai kepada-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

UNGKAPAN DI ATAS menjelaskan kondisi sâlik sejak awal hingga akhir perjalanan sampai ia menempati kedudukannya. Kemudian, Ibnu Atha'illah menyebutkan etika sulûk (meniti jalan Allah) dan cara wushûl (sampai kepada Allah).

Maksud "permulaan" di sini adalah permulaan segala perkara. Yang dimaksud "cermin yang memperlihatkan akhir" adalah gambaran akhir segala perkara. Artinya, permulaan seorang murîd adalah gambaran akhirnya. Jika di awalnya ia sudah memiliki tekad kuat untuk menghadap Allah dan berjuang dalam ibadah dan riyâdhah, itu adalah bukti bahwa di akhirnya ia akan mendapatkan kemenangan besar. Ia akan sampai kepada tujuannya dalam waktu singkat. Akan tetapi, jika di awalnya ia lemah, kemenangan dan wushûl-nya pun akan lemah.

Siapa yang sejak awalnya telah bersandar kepada Allah, selalu meminta pertolongan-Nya dalam ibadah dan riyâdhah-nya, maka di akhirnya, ia pasti akan sampai kepada Allah. Ia akan berhasil mengungkap betapa Allah Maha Qayyûm (mengatur). Ia pun akan selalu mengesakan-Nya dan meyakini bahwa Allah adalah Yang Awal dan Yang Akhir, Lahir dan Batin. Dengan begitu, ia akan merasa dirinya sirna dan hilang di hadapan Allah.

Bait Surat ke-2.
Yang harus dikerjakan ialah amal ibadah yang engkau sukai dan semangat dalam melakukannya, sedangkan yang harus diabaikan ialah hawa nafsu dan urusan dunia yang sering mempengaruhi.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

YANG HARUS kau kerjakan, wahai murîd yang tulus, adalah amal saleh yang mendekatkanmu kepada Tuhanmu dan menyampaikanmu kepada makrifat tentang-Nya. Jangan kau abaikan amalan itu! Sukailah, karena tak ada yang pantas membuatmu sibuk selain amalan itu.

Adapun yang harus kau abaikan dan tak perlu kau pedulikan ialah keinginan nafsu dan maslahatmu yang akan sirna , namun sering kau utamakan daripada kedekatanmu dengan Tuhanmu dan kesibukanmu melayani-Nya. Oleh karena itu, kau harus melembutkan dan memperindah jiwamu dengan karunia-Nya. Jangan menyesal karena telah meninggalkan semua keinginanmu sebab tak ada yang harus dilakukan kecuali itu.

Ungkapan ini bertujuan untuk mendorong para sâlik serta menggugah tekad dan semangat mereka agar selalu memuji hal-hal yang membuat Allah dekat dan mencela hal-hal yang membuat-Nya berpaling.

Bait Surat ke-3.
Siapa yang yakin bahwa Allah menyuruhnya melakukan ibadah, pasti ia bersungguh-sungguh menghadap kepada-Nya. Siapa yang mengetahui bahwa segala urusan itu di tangan Allah, pasti bulatlah tawakalnya kepada-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

SIAPA YANG yakin bahwa Allah menuntutnya untuk melayani-Nya dan melaksanakan tugas-tugas 'Ubudiyyah, pasti ia akan menghadap Allah dengan tulus dan berusaha melakukan apa saja yang diridai-Nya dengan sempurna. Hal itu dikarenakan, buah amalnya itu akan kembali kepada dirinya sendiri, bukan kepada Tuhannya. Jika ia berakal dan memiliki makrifat, layakkah jika ia tidak tulus dan sungguh-sungguh dalam beramal dan meninggalkan maslahat pribadinya?.

Siapa yang mengetahui bahwa segala urusan di tangan Allah, termasuk upayanya untuk melayani Tuhannya, pasti hatinya akan tertuju kepada-Nya dengan tawakal dan memohon-Nya agar mempermudah segala urusan dan hal-hal yang mendekatkan diri kepada-Nya. Tak ada yang bisa melakukan hal itu, kecuali Allah swt. Semua perkara berada di tangan-Nya dan seorang hamba tidak berperan apa-apa.

Bait Surat ke-4.
Bangunan alam ini pasti rusak binasa. Lenyap pula semua barang berharga yang ada di dalamnya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ALAM INI pasti akan hancur. Semua kenikmatannya akan dirampas kembali oleh Allah.

Tujuan hikmah ini adalah untuk menghibur para hamba yang kehilangan sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan dan kepentingan syahwatnya saat ia menjalani sulûk. Jika ia mengetahui bahwa dunia ini tidak abadi dan akhirat sudah dekat di depan mata, tentu ia tidak akan bahagia dengan sesuatu yang fana. Dengan meninggalkannya, justru jiwanya akan berubah menjadi baik.

Bait Surat ke-5.
Orang yang sempurna akalnya ialah yang lebih bahagia dengan yang kekal daripada yang rusak binasa karena cahaya hatinya telah terang dan tanda-tanda cahaya itu tampak pada air mukanya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ORANG YANG berakal ialah orang yang lebih bahagia dan gemar kepada akhirat daripada kepada dunia yang fana. Jika dunia ini fana dan akhirat kekal abadi, tentu tidak layak baginya untuk bahagia dengan dunia. Siapa yang berbahagia dengan yang fana, kebahagiaannya pun akan fana. Siapa yang berbahagia dengan yang kekal, kebahagiaannya pun akan kekal. Itulah kebahagiaan yang seharusnya dicari.

Kesimpulannya, orang yang berakal adalah orang yang berzuhud dan meninggalkan dunia. Adapun orang yang menghendaki dunia, ia bodoh dan tidak berakal. Kalimat "lebih bahagia" bermakna, yang diinginkan orang yang berakal ialah kebahagiaan yang lebih. Hal ini tidak berarti bahwa kebahagiaan dengan perkara dunia hilang sama sekali darinya karena itu adalah hal yang lumrah dialami manusia.

"Cahaya hatinya telah terang" bermakna, cahaya kezuhudan seorang yang berakal telah terpancar di dalam hatinya. Buah cahaya itu akan tampak di keceriaan wajahnya. Cahaya, jika terpancar dari hati, akan tampak pula pada anggota tubuh lainnya. Baginya, itu adalah berita gembira bahwa amalnya telah diterima.

Bait Surat ke-6.
Orang yang berakal memalingkan mukanya dari dunia ini, mengabaikannya dengan memejamkan mata, dan terus berlalu meninggalkannya. Ia tidak menganggapnya sebagai tanah air atau tempat tinggal.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

DENGAN CAHAYA yang terpancar di hatinya, ia bisa melihat jelas apa saja yang perlu dijauhinya di dunia ini. Ia terus berjalan menjauhinya tanpa menoleh ke belakang sama sekali. Ia tidak menjadikan dunia ini sebagai negeri untuk berleha-leha dan bersenang-senang. Tidak pula menjadikannya sebagai tempat tinggal yang dicintainya.

Bait Surat ke-7.
Bahkan semangatnya terus bangkit untuk segera sampai kepada Allah dan terus berjalan menuju-Nya sambil berharap pertolongan-Nya agar segera sampai.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

IA BERSEGERA dan membangkitkan semangatnya untuk mencapai Allah. Ia terus berjalan di dunia sambil meminta pertolongan dan bantuan Allah untuk sampai ke hadirat-Nya, bukan dengan mengandalkan amalnya yang masih tercemari sifat-sifat Riya' dan sombong.

Seseorang berkata, "Siapa yang mengira amalnya dapat membawanya sampai kepada harapan tertinggi atau terendahnya, ia telah tersesat jalan. Nabi saw. bersabda 'Tidaklah amal seseorang dapat menyelamatkan dirinya.'"

Sesuatu yang tidak dapat menyelamatkan kita dari hal yang ditakuti mana mungkin akan membawa kita kepada maksud. Siapa yang benar-benar bersandar kepada karunia Allah, itulah orang yang akan mendapatkan predikat wushûl.

Bait Surat ke-8.
Kendaraan semangatnya terus berjalan tiada henti sampai berlabuh di hadirat Ilahi, di atas hamparan kesenangan, tempat kelapangan, berhadapan dengan-Nya, bercakap-cakap dan menyaksikan-Nya, dan bersimpuh di tempat belajar ilmu-Nya sehingga hadirat Ilahi itu menjadi sarang hati mereka. Ke sana mereka kembali dan di sana pula mereka tetap tinggal.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KENDARAAN TEKADNYA terus berjalan dan tidak berhenti karena tak ada yang menghalanginya. Biasanya, yang menghalangi kendaraan tekad itu ialah sikap bergantung kepada selain Allah, misalnya terhadap dunia, atau berupa hal-hal yang menghambat perjalanan sâlik untuk sampai kepada Allah, seperti karamah, mukâsyafah, ahwâl, dan maqâm-maqâm. Semua itulah yang sering menghentikan kendaraan tekad seorang yang berakal untuk berbuat.

Perjalanan kendaraan itu terus berlanjut hingga tertambat di hadirat Allah dan hamparan kesenangan. Hadirat Allah digambarkan dengan pelataran raja besar, tempat para utusan datang beristirahat saat bertandang ke tempatnya.

Ibnu Atha'illah menjelaskan sifat hadirat Allah itu dengan tempat kelapangan, berhadap-hadapan dengan Allah, bercengkerama dan bercakap-cakap tentang rahasia-Nya, menyaksikan Allah secara batin setelah orang itu kehilangan kesadarannya, serta tempat ia mendapatkan ilmu kegaiban.

Seseorang, jika masuk ke hadapan singgasana raja dunia yang agung, ia akan merasa lapang karena raja itu menyambutnya dengan baik. Raja itu juga akan menemuinya langsung, lalu duduk di hadapannya dan bercakap-cakap bersamanya. Semua itu adalah buah dari pertemuan. Rasa senang dan lapang ini dirasakan karena ia mendapatkan kehormatan untul melihat raja langsung. Padahal, sebagai seorang penguasa, raja itu enggan menghadapi orang biasa sepertinya.

Demikian pula seorang sâlik, jika ia telah sampai ke hadirat Allah, Dia akan menyambutnya dengan keterbukaan dan keramahan serta memberinya ilmu dan makrifat rabbani yang tidak diketahui hakikatnya, kecuali oleh orang yang telah sampai ke sana dan merasakan apa yang di rasa oleh orang-orang yang dekat dengan Tuhannya. Semoga Allah swt. menjadikan kita semua termasuk di antara mereka.

Hadirat Tuhan itu menjadi penenang hati mereka atau menjadi tempat bagi hati mereka merasakan ketenangan dan kedamaian, seperti halnya sarang burung yang menjadi tempat tinggal dan berteduh bagi mereka.

Bait Surat ke-9
Apabila mereka tiba di langit kewajiban (menunaikan kewajiban) atau turun ke bumi kepentingan (hawa nafsu), hal itu terjadi dengan izin dan keyakinan yang mendalam. Mereka tidak menunaikan kewajiban dengan lali dan menyalahi adab. Demikian pula bila menuruti hawa nafsu, bukan semata-mata dorongan syahwat yang meluap atau kesenangan duniawi, tetapi mereka masuk ke dalamnya dengan pertolongan Allah untuk meraih keridaan-Nya, menuruti tuntutan-Nya, dan berharap kepada-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KEWAJIBAN DIUMPAMAKAN dengan langit karena keduanya sulit diraih dan digapai. Sementara itu, hawa nafsu diumpamakan dengan bumi karena keduanya mudah didapat dan gampang diraih. Mereka tiba di langit kewajiban atau turun ke bumi hawa nafsu atas izin dan keyakinan mendalam. Dengan demikian, saat melakukan kewajiban, mereka tidak melakukannya dengan lalai dan menyalahi etika. Mereka tidak bergaul dengan makhluk, kecuali dengan adab dan etika yang sempurna karena mereka menyaksikan Allah ada pada makhluk itu. Mereka selalu sadar dan lalai kepada Dzat yang membuat semua makhluk berwujud. Jika mereka disakiti seseorang, mereka akan menanggung deritanya karena Allah. Mereka melihat bahwa yang membuat seseorang menyakitinya adalah Allah karena sebuah dosa yang dilakukannya. Sebaliknya, jika seseorang menghormati mereka, mereka akan bersyukur kepada-Nya, sambil meyakini bahwa yang menggerakkan hati orang itu untuk menghormatinya adalah Allah.

Saat mereka menuruti hawa nafsu, mereka tidak semata-mata menurutinya karena dorongan syahwat dan kesenangan duniawi. Hal itu mereka lakukan karena pertolongan Allah. Jika tidak, saat mereka diberi pilihan antara diam di hadirat Ilahi atau keluar dari sana dan bergaul dengan makhluk, niscaya mereka akan memilih diam di hadirat Ilahi dan tidak turun ke bumi.

Bait Surat ke-10.
Katakanlah, "Tuhanku, masukkanlah aku melalui pintu kebenaran dan keluarkanlah aku melalui pintu kebenaran pula supaya pandanganku tetap bulat pada kekuasaan dan kekuatan-Mu ketika Kau memasukkanku, demikian pula kepasrahan dan ketundukanku selalu kepada-Mu ketika Kau mengeluarkanku."

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

PINTU MASUK dan keluar dalam kalimat di atas diungkapkan Ibnu Atha'illah dengan dua perjalanan yang disebut dalam hikmah sebelumnya. "Masuk" adalah perjalanan naik, bermakna menemui Allah dalam kondisi kefanaan diri dan jauh dari melihat diri sendiri. Adapun "keluar" bermakna perjalanan turun karena ia adalah keluarnya seseorang menuju makhluk untuk memberi hidayah dan dakwah pada saat ia merasa bersama Tuhannya.

"Pintu masuk kebenaran" bermakna, ia harus menyaksikan daya dan upaya Allah dalam perjalanan naiknya. Dengan begitu, ia tidak akan menisbatkan amal kepada dirinya sendiri. Adapun "pintu keluar kebenaran" adalah, ia harus tunduk dan berserah kepada Tuhannya dalam perjalanan turunnya sehingga rida dengan ketetapan Allah untuknya dan tidak mengeluh atas keputusan itu.

Oleh sebab itu, Ibnu Atha'illah berkata, "Supaya pandanganku tetap bulat pada kekuasaan dan kekuatan-Mu ketika Kau memasukkanku, demikian pula kepasrahan dan ketundukanku selalu kepada-Mu ketika Kau mengeluarkanku."

Dengan kata lain, supaya pandanganku terhadap diriku sirna dan keinginanku untuk tetap mengikuti hawa nafsu hilang. Di pintu masuk, yang ku lihat hanya daya dan upaya-Mu sehingga penglihatanku kepada diriku hilang. Di pintu keluar, aku berserah pada-Mu sehingga keuntungan diri dan hawa nafsuku hilang.

Bait Surat ke-11.
Dan berikan untukku, langsung dari-Mu kekuatan dan pertolongan yang membantuku untuk melawan nafsuku, membantu kawan-kawanku dan orang-orang yang ku kasihi, serta membantuku untuk mengenali kelemahan diri dan melenyapkanku dari kurungan perasaanku, bukan kekuatan dan pertolongan yang membantu nafsu dan musuh-musuhku.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

BERIKAN AKU kekuatan dan hujjah yang nyata dari-Mu langsung tanpa perantara dan tanpa sebab dari diriku. Dengan hujjah Ilahi itu, segala sesuatu yang ditemuinya akan dibantah dan dipatahkan. Dengan hujjah Ilahi itu pula, aku dapat menaklukan diriku dan mengalahkan musuh lahir dan batinku serta melenyapkanku dari kungkungan perasaanku. Maksudnya adalah segala hal yang terjadi pada perasaanku sehingga aku tidak bergantung padanya dan tidak melihatnya bisa mendatangkan manfaat dan madharat bagiku karena aku melihat bahwa yang memberi manfaat dan madharat hanyalah diri-Mu.

Orang-orang yang dibantu Allah kelak, jika muncul di satu masa, mereka akan membawa manfaat yang besar bagi para generasi masa itu. Dan Allah akan memberi mereka karunia tanpa mereka sadari.

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.