Sabtu, 10 November 2018

Kitab al-Hikam (Pasal 35-38) : Syarat Menerima Pemberian yang Harus Dipenuhi Ahli Tajrîd (yang Tidak Diberi Kemudahan Hidup) dan Ahli Asbâb (yang Diberi Kemudahan Hidup)

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).

(Pasal 35)
1. Jangan kau mengulurkan tangan untuk menerima sesuatu dari makhluk, kecuali kau melihat bahwa yang memberi adalah Allah. Jika demikian, ambillah apa yang sesuai dengan pengetahuanmu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

WAHAI MURÎD yang ingin mensucikan diri, jangan kau ulurkan tanganmu untuk mengambil sesuatu dari makhluk, berupa rezeki yang didasari belas kasihan, kecuali dengan dua syarat berikut.

Pertama, jika kau lihat bahwa yang memberinya adalah Tuhanmu melalui mereka. Artinya, mereka hanyalah perantara, sedangkan yang memberi sesungguhnya adalah Allah. Pandangan semacam itu tidak sekadar menjadi ilmu dan keimanan, melainkan harus menjadi ahwâl dan dzauq (perasaan). Sikap itulah yang layak dilakukan oleh seorang murîd yang ingin mensucikan diri.

Kedua, jika kau telah menyadari bahwa yang memberi sebenarnya adalah Tuhanmu, ambillah apa yang sesuai dengan pengetahuanmu. Maksudnya, jangan kau ambil, kecuali yang sesuai dengan ilmu untuk mengambilnya. Ilmu untuk mengambil ini ada dua macam: ilmu lahir dan ilmu batin. Contoh ilmu lahir, kau tidak boleh mengambil, kecuali dari tangan seorang mukallaf yang matang dan bersih. Contoh ilmu batinnya, kau tidak mengambil, kecuali yang diberi atas dasar bantuan semata atau jangan kau ambil, kecuali yang kau butuhkan saja untuk kau gunakan dalam kebutuhanmu, tanpa berlebihan dan kekurangan. Sikap itulah yang dilakukan Rasulullah saw. dalam menerima pemberian yang berupa sandang, pangan, dan papan.

Jangan kau ambil apapun yang datang kepadamu sebelum waktunya dan melebihi kebutuhanmu. Jangan pula mengambil apapun yang diberikan kepadamu untuk mengujimu, misalnya jika kau diberi sesuatu yang sebenarnya ingin kau tinggalkan karena Allah. Hal itu dapat menghalangimu untuk menunaikan hak-hak Tuhanmu. Jangan pula mengambil dari orang yang suka memberi namun dengan rasa bangga, yang ingin menampakkan kedermawanannya, atau dari orang yang terasa berat bagi hatimu untuk menerima pemberiannya. Jangan pula kau makan, kecuali dari orang yang melihat pada dirimu ada keutamaan dalam memakannya.

(Pasal 36)
2. Terkadang seorang 'ârif malu mengungkapkan kebutuhannya kepada Allah karena merasa cukup dengan kehendak-Nya, apalagi mengungkapkan kebutuhannya kepada makhluk.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

SEORANG 'ÂRIF dan muhaqqiq terkadang merasa malu untuk mengadukan kebutuhannya kepada Allah. Ia tidak akan meminta sesuatu pun dari-Nya karena ia merasa cukup dengan kehendak dan ketentuan-Nya, baik berupa pemberian, penolakan, manfaat, maupun bahaya.

Asy-Syadzili berkata, "Keluarkan semua makhluk dari hatimu dan kuatkan asamu terhadap Tuhanmu agar Dia memberimu selain apa yang telah ditentukan-Nya untukmu."

Meminta kepada Allah saja seorang 'ârif malu, apalagi meminta dan mengungkapkan kebutuhannya kepada makhluk. Ia tidak akan meminta kepada makhluk dan tidak mengadukan kebutuhannya kepada mereka karena para makhluk miskin dan membutuhkan, sedangkan Tuhan mereka adalah Maha Kaya dan Terpuji. Oleh sebab itu, seorang 'ârif akan menjauhkan tekadnya dari makhluk dan tidak pernah meminta kepada mereka apapun yang ia butuhkan.

Maka dari itu, jangan kau kotori imanmu dengan ketamakanmu terhadap makhluk dan jangan bersandar, kecuali kepada Tuhan semesta alam. Ikutilah jalan Ibrahim dalam menjauhkan tekad dari para makhluk.

Ketika Nabi Ibrahim akan dilemparkan ke dalam kobaran api, Malaikat Jibril bertanya kepadanya, "Apa kau butuh sesuatu?" Nabi Ibrahim menjawab, "Aku tidak butuh apa-apa darimu. Aku hanya butuh pertolongan Allah!" Ibrahim lalu berkata, "Cukuplah bagiku, Dia mengetahui keadaanku."

Orang-orang yang membutuhkan terbagu ke dalam tiga golongan. Pertama, mereka yang tidak bersabar. Jika membutuhkan sesuatu, mereka akan meminta kepada manusia. Mereka juga menerima pemberian dari manusia tanpa menyadari bahwa yang sebenarnya memberi adalah Tuhan. Kedua, mereka yang tidak meminta kepada manusia. Namun jika diberi, mereka menerimanya tanpa menyadari bahwa yang sebenarnya memberi adalah Tuhan. Ketiga, mereka yang tidak meminta kepada manusia. Jika diberi, mereka tidak mau menerimanya.

Sementara itu, para peniti jalan Allah hanya meminta kepada Allah. Apabila Allah menetapkan sesuatu atas mereka, mereka akan menganggap baik ketetapan
Allah itu.

(Pasal 37)
3. Jika ada dua hal yang tidak jelas bagimu. Lihatlah mana di antara keduanya yang paling berat bagi nafsu, lalu ikutilah ia karena tidaklah terasa berat bagi nafsu, kecuali sesuatu yang benar.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

WAHAI MURÎD, jika ada dua perkara yang tidak jelas bagimu, seperti dua kewajiban atau dua hal yang sunah, dan kau tidak mengetahui mana yang paling utama dilakukan, lihatlah mana di antara dua kewajiban itu yang paling berat bagi nafsu dan dirimu, lalu ikutilah ia dan laksanakan. Contohnya, mencari ilmu yang wajib atau mencari rezeki untuk keluarga, mencari ilmu yang melebihi kewajiban atau melakukan ibadah-ibadah sunah. Lihat mana di antara dua perkara yang lebih berat bagi nafsumu karena tak ada yang berat bagi nafsu, kecuali sesuatu yang benar.

Nafsu selalu mendorong untuk berbuat kebodohan. Keinginannya selalu mencari keuntungan dan lari dari kewajiban. Jika seorang murîd merasa ringan dalam sebuah amal dan merasa berat dalam amal lainnya, lalu ia mengerjakan yang lebih ringan, namun hatinya tidak tenang, itu termasuk ke dalam kemunafikan hati. Akan tetapi, jika hatinya tenang, ia boleh mengerjakan yang ringan bagi nafsunya dan yang disukainya. Namun, ketika itu, ia harus melihat, mana yang lebih besar faedahnya dan yang lebih banyak memperbaiki ahwâl-nya. Itulah yang harus diutamakannya dari yang lainnya.

Ada lagi patokan lain untuk memilah, mana perkara yang utama dari yang lainnya jika keduanya tidak jelas bagimu, yaitu kau harus memperkirakan kapan datangnya maut kepadamu. Amal yang membuatmu bahagia saat kau kerjakan, berarti ia benar dan selainnya batil karena menjelang ajal, seorang hamba biasanya tidak akan mengerjakan kecuali amal saleh yang bebas dari sifat-sifat Riya' dan dorongan hawa nafsu.

Apabila kau bingung antara harus menuntut ilmu atau mengikuti jalan ahli tarekat, lihatlah mana di antara keduanya yang kau sukai saat ruhmu keluar dari jasadmu, kemudian lakukan hal itu. Jika kau ingin saat ruhmu dicabut malaikat dan di tanganmu ada buku tulis karena kau ikhlas dalam menuntut ilmu dan hanya mengharap rida Allah, tuntutlah ilmu. Akan tetapi, seandainya kau tidak menyukai hal itu dan hanya ingin sibuk berzikir kepada Allah, jangan menuntut ilmu, tetapi sibukkan dirimu dengan berzikir atau ibadah lainnya. Jika kau terpaksa melakukan hal yang tidak kau sukai, tentu kau tidak akan ikhlas di dalamnya.

(Pasal 38)
4. Di antara tanda mengikuti hawa nafsu adalah sigap melakukan amalan sunah, namun malas melakukan amalan wajib.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

DI ANTARA tanda kau mengikuti hawa nafsu adalah ketika kau lebih semangat melakukan ibadah sunah, tetapi malas melaksanakan ibadah wajib. Demikianlah, kebatilan memang selalu terasa ringan dilakukan, sedangkan kebenaran akan terasa berat. Wajar saja bila sebagian besar manusia menganggap ibadah wajib sebagai hal yang biasa-biasa saja. Toh, setiap orang pasti sama-sama melakukannya. Jadi, melakukan ibadah wajib bukan hal yang istimewa. Berbeda halnya dengan ibadah sunah. Ibadah sunah dapat membuat seseorang terlihat istimewa, terhormat, dan memiliki kedudukan tersendiri di hati manusia.

Orang yang beranggapan seperti di atas terlihat begitu semangat melaksanakan ibadah-ibadah sunah, seperti puasa sunah, shalat malam, dan pergi haji setiap tahun. Ia tidak menyadari dan berusaha melaksanakan ibadah-ibadah wajib yang kurang sempurna atau belum ia lakukan. Hal itu tak lain karena ia tidak suka melatih jiwa yang telah menipunya dan enggan melawan hawa nafsu yang telah menguasai dan mengungkungnya.

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar