Minggu, 11 November 2018

Kitab al-Hikam (Pasal 39-41) : Semua Kewajiban yang Dibebankan-Nya adalah Demi Kemaslahatan Hamba, Bukan Demi Kepentingan-Nya

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).

(Pasal 39)
1. Allah membatasi ketaatan dengan ketentuan waktu agar sikap suka menangguhkan tidak merintangimu untuk mengerjakannya. Namun, Allah memperluas waktunya agar tetap ada peluang bagimu untuk memilih.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ALLAH TELAH membatasi ketaatan yang wajib atasmu dengan waktu-waktu tertentu, shalat lima waktu misalnya. Allah tidak membebaskan waktu-waktunya agar sikap "suka menangguhkan" tidak menghalangimu untuk mengerjakannya. Jika Allah membebaskan waktunya dan tidak menentukannya, sikap "suka menunda" itu akan mendorongmu untuk meninggalkannya. Kau akan malas dan berkata, "Kalau aku sudah selesai dari keperluanku, aku akan shalat karena waktunya amat luas." Bahkan mungkin, sehari semalam terlewatkan begitu saja tanpa kau melakukan shalat itu.

Lain halnya jika waktunya dibatasi, hal itu akan mendorongmu untuk segera mengerjakannya dan selalu membuatmu waspada sehingga tidak melewatkannya.

Namun demikian, Allah tetap memperluas waktunya agar kau mempunyai peluang untuk memilih. Kau bisa memilih mengerjakannya di awal waktu, di pertengahan, atau di akhirnya dan kau tidak lagi menjadi orang yang menyia-nyiakan waktu shalat meski melaksanakannya di akhir waktu. Selain itu, kau bisa melaksanakan shalat secara sempurna, yaitu saat hatimu sejalan dengan anggota tubuh lainnya. Jika waktu shalat itu luas, kau bisa meninggalkan kesibukan dan halanganmu sehingga ketika itu kau bisa mengkonsentrasikan pikiran untuk khusyuk dalam beribadah dan menjaga adab di hadapan Allah.

(Pasal 40)
2. Allah mengetahui kurangnya semangat hamba dalam beribadah. Oleh karena itu, Dia menggiring mereka untuk menunaikan sejumlah ketaatan dengan rantai kewajiban. Dan, Tuhan kagum melihat kaum yang digiring ke surga dengan rantai tersebut.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ALLAH MENGETAHUI kurangnya semangat para hamba untuk beribadah, bermuamalah dengan-Nya, mendatangi-Nya dengan ketaatan, dan melaksanakan hak-hak rububiyyah-Nya dengan penuh sukarela. Oleh sebab itu, Allah mewajibkan mereka melaksanakan sejumlah ketaatan dengan paksa dan mengancam mereka dengan neraka jika tidak melaksanakannya. Allah menyeret mereka agar melakukan ketaatan kepada-Nya dengan rantai kewajiban.

Kewajiban diumpamakan rantai yang dilingkarkan di leher para tawanan untuk menyeret mereka dengan paksa. Dengan rantai kewajiban itu, Allah memaksa para hamba melaksanakan ketaatan yang akan membuahkan kebahagiaan bagi mereka di masa depan walaupun di masa sekarang terasa berat. Allah melakukan hal ini terhadap hamba-hamba-Nya, sebagaimana seorang bapak melakukannya terhadap anaknya. Tidaklah kau lihat bagaimana seorang bapak mendidik dsn memaksa anaknya untuk mengikuti sifat-sifat dan tabiatnya walaupun terasa berat bagi sang anak. Meski terpaksa, sang anak itu pun akan melakukannya. Hal ith tak lain agar sang anak mendapatkan manfaat di masa depan yang tidak diketahuinya di masa sekarang. Kelak saat ia beranjak dewasa dan akalnya telah matang, ia akan merasakan manfaat itu dan menyadari kebenaran perlakuan sang bapak.

Tuhan kagum pada satu kaum yang digiring ke surga dengan rantai kewajiban, sebagaimana yang dilakukan kaum muslim terhadap para tawanan kafir saat mereka diharapkan masuk islam. Kaum itu digiring ke surga dengan rantai di leher mereka. Ini adalag makna hadis Rasulullah tentang tawanan Perang Badar yang lafalnya, "Allah kagum dengan kaum-kaum yang di giring ke surga dengan rantai."

Kagum bermakna menganggap besar perkara yang kecil. Kagum adalah sifat yang mustahil bagi Allah. Tentang lafal ini, ada dua pendapat. Salah satunya bahwa Allah memiliki kekaguman yang tidak kita ketahui hakikatnya dan Dia terbebas dari maksud lafal "kagum" yang kita kenal.

Mazhab ulama khalaf menakwilkan hal itu dengan berkata, "Makna 'kagum' atau 'takjub' yang dinisbatkan kepada Allah adalah, Allah menampakkan keajaiban sebuah perkara kepada makhluk-Nya karena Allah Maha Mencipta segala sesuatu." Allah kagum kepada satu kaum yang diseret ke surga tak lain karena saat semua orang ingin segera menyongsong surga dan keindahannya, mereka malah menolak untuk masuk ke sana sampai harus di seret, seakan mereka diseret ke dalam sesuatu yang tidak mereka sukai.

Apa pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud "kagum" di sini adalah konsekuensi kagum, yaitu berbuat baik kepada yang dikagumi. Misalnya, jika kau katakan, "Betapa Zaid seorang yang alim," konsekuensinya tentu kau ingin berbuat baik kepada Zaid dan menghormatinya.

Jadi, maknanya, Allah ingin berbuat baik kepada kaum itu dengan mengundang mereka masuk surga dan menyeret mereka dengan paksa. Ini berlaku bagi orang-orang awam. Orang awam harus diseret dengan rantai kewajiban agar mereka melakukan ketaatan.

Bagi orang-orang khusus, mereka tidak membutuhkan paksaan, ancaman, atau peringatan karena Allah telah melapangkan dada mereka, menerangi mata hati mereka, dan mengukuhkan keimanan di dalam hati mereka sehingga mereka lebih mencintai ketaatan dan membenci maksiat. Maka dari itu, mereka tidak membutuhkan sedikit pun paksaan karena mereka terbebas total dari kebendaan dan kemakhlukan yang menguasai hati. Mereka selalu taat dengan penuh sukarela, bahkan jika mereka dipaksa untuk meninggalkan ketaatan itu, mereka tidak akan tahan dan tidak akan bersabar. Andai ada taklîf (pembebanan hukum) bagi mereka, fungsinya saat itu tak lain untuk menunjukkan kecintaan mereka kepada yang memberi beban hukum. Sebagaimana para raja yang memerintah menteri-menterinya agar melayaninya, tak lain untuk menambah kedekatan dan penghormatan mereka kepada rajanya.

(Pasal 41)
3. Ketika Dia mewajibkanmu untuk berkhidmat kepada-Nya, sebenarnya Dia mewajibkanmu masuk ke dalam surga-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ALLAH MEWAJIBKANMU untuk berkhidmat kepada-Nya secara lahir. Sebenarnya, Dia tidak mewajibkanmu, kecuali untuk masuk ke dalam surga-Nya.

Allah swt. tidak membutuhkan makhluk. Ketaatan mereka kepada-Nya tidak berguna bagi-Nya dan maksiat mereka tidak pula merugikan-Nya.

Allah mewajibkam amal atas para hamba, karena manfaatnya akan kembali kepada mereka sendiri yaitu agar mereka masuk surga, bukan agar mereka mendapatkan kemuliaan dengan amal itu.

Ini adalah penegasan dari hikmah sebelumnya. Allah swt. mewajibkan para hamba untuk taat kepada-Nya karena kurangnya semangat mereka untuk beribadah. Untuk itu, Allah harus menyeret mereka dengan rantai kewajiban. Allah melakukan ini tak lain untuk manfaat yang akan kembali kepada mereka sendiri, yaitu masuk surga-Nya.

Dalilnya adalah sabda Rasulullah yang berbunyi, "Allah kagum dengan kaum-kaum yang digiring ke surga dengan rantai." Hadis ini dipahami bahwa mereka yang dipaksa dan diwajibkan untuk taat tak lain agar mereka masuk surga. Allah tidak mewajibkan mereka, kecuali agar mereka memasuki surga.

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar