Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).
(Pasal 32)
1. Penjelasan mereka adalah makanan bagi para pendengar, dan yang kau peroleh adalah apa yang kau makan.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
UNGKAPAN YANG diucapkan oleh ahli tarekat tentang ilmu dan makrifat adalah makanan ruh bagi para pendengarnya atau mereka yang membutuhkan nasihat dan hikmah, persis seperti makanan yang dibutuhkan tubuh manusia.
Apa yang kau peroleh tak lain adalah apa yang telah kau makan. Tidak setiap orang cocok dengan satu makanan tertentu karena perbedaan kebiasaan dan kesukaan. Demikian pula dengan makanan ruh. Makanan ruh untuk seseorang belum tentu cocok untuk orang lain karena perbedaan kecenderungan dan keinginan mereka masing-masing.
Bahkan, terkadang satu ungkapan yang dilontarkan kepada satu kelompok pun, tiap-tiap anggota kelompok itu akan berbeda dalam memahaminya dengan yang dipahami anggota lainnya. Mungkin sebagian orang ada yang memahami sebuah ucapan dengan makna yang berbeda dengan yang diinginkan si pembicara, namun batinnya terpengaruh oleh hal itu secara menakjubkan.
(Pasal 33)
2. Bisa jadi, yang menjelaskan perihal maqâm adalah orang yang belum sampai ke sana. Bisa jadi pula, yang menjelaskannya adalah orang yang telah sampai ke sana. Semuanya samar, kecuali bagi orang yang memiliki mata hati.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
BISA JADI, orang yang menjelaskan perihal maqâm, seperti maqâm zuhud, maqâm wara', dan maqâm tawakkal adalah orang yang belum sampai ke maqâm tersebut, bisa jadi pula orang yang memang sudah sampai. Kedua kondisi itu amat sulit dibedakan, kecuali oleh orang yang memiliki mata hati karena ia mampu melihat gambaran batin seseorang.
Orang yang belum mencapai maqâm biasanya senang membicarakan maqâm. Ia menganggapnya sebagai sesuatu yang luar biasa. Ia juga merasa dirinya hebat karena sebentar lagi akan sampai ke sana. Lain halnya dengan orang yang sudah mencapai maqâm. Ia membicarakan maqâm-nya dengan biasa-biasa saja, seperti berbicara tentang hal lain.
Mungkin juga, orang yang menjelaskan perihal maqâm ini adalah orang yang menukilnya dari sebuah kitab sembari menjaga ahwâl-nya dari kebiasaan bicara orang-orang sehingga tak heran jika akhirnya ia dianggap sebagai orang yang sudah mendapatkan maqâm itu. Untuk mengenali orang seperti ini, kita harus menerapkan kaidah-kaidah ilmu. Jika ia selalu banyak menjawab, cenderung fanatik dan egois, berarti ia hanya seorang pendusta yang mengaku-ngaku telah mendapatkan sebuah maqâm.
(Pasal 34)
3. Tidak semestinya seorang sâlik mengungkapkan karunia yang diperolehnya. Hal itu bisa mengurangi kesannya dalam kalbu dan menghalangi ketulusannya kepada Tuhan.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
SEORANG SÂLIK tak layak untuk mengungkapkan anugerah dan karunia yang dialaminya, berupa ilmu laduni maupun rahasia-rahasia tauhid. Ia tidak boleh mengungkapkannya dengan keinginan sendiri. Justru semestinya ia menyembunyikan dan menjaganya agar tak seorang pun tahu, kecuali guru atau mursyid-nya.
Mengungkapkan hal itu bisa mengurangi kesan karunia itu di dalam kalbu sehingga ia tidak bisa memanfaatkannya secara utuh. Hal itu juga dapat menghalangi ketulusannya kepada Tuhan karena biasanya, pengungkapan tentang karunia itu tidak akan lepas dari nafsu syahwat. Saat mengungkapnya, nafsu menemukan kenikmatan dan kelapangan. Tentu hal itu akan menguatkan sifat-sifat syahwatnya dan kekuatan sifat itulah yang menghalanginya untuk tulus kepada Tuhannya.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar