Sabtu, 10 November 2018

Kitab al-Hikam (Pasal 29-31) : Orang yang Berbicara karena Allah akan Mudah Dipahami, dan Orang yang Berbicara Demi Dirinya Sendiri akan Terkuak Rahasia yang Disembunyikannya

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).

(Pasal 29)
1. Siapa yang diizinkan untuk berbicara, penjelasannya mudah dipahami dan keterangannya jelas.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ORANG 'ÂRIF yang diizinkan berbicara tentang hakikat-hakikat, yaitu berupa ilmu yang diberikan Allah tanpa perantara maka penjelasannya akan mudah dipahami. Tanda seorang 'ârif diizinkan berbicara ialah, ia merasa mudah mengungkapkan apa yang ingin diungkapkannya tanpa perlu bersusah payah. Lidahnya lancar mengungkapkan kata-kata tentang ilmu-ilmu itu. Ia juga mendapatkan dorongan kuat untuk mengungkapkan ilmu-ilmu itu tanpa kekurangan dalam berbicara.

Tanda lainnya yang bisa dilihat ialah, penjelasannya mudah dipahami dan amat jelas sehingga tidak perlu diulang-ulang. Keterangannya lebih lembut daripada ungkapan yang biasa digunakan ahli tarekat dalam memberitakan tentang ilmu-ilmu batin dan hakikat makrifat. Lain halnya dengan orang yang tak diizinkan berbicara. Tentang orang ini Ibnu Atha'illah berkata:

(Pasal 30)
2. Bisa jadi cahaya hakikat meredup apabila kau belum diberi izin untuk menampakkannya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

APABILA KAU tidak diberi izin untuk menampakkan hakikat, bisa jadi hakikat yang berupa ilmu dan makrifat itu akan meredup dan diselimuti kegelapan akibat pandanganmu terhadap kebendaan. Akibatnya, telinga para pendengar akan menolaknya dan hati mereka mengingkarinya.

Abu al-Abbas al-Mursi berkata, "Ucapan orang yang diberi izin untuk berbicara diselimuti keindahan, sedangkan ucapan orang yang tidak diberi izin bercahaya redup. Jika kedua orang itu berbicara tentang satu hakikat, ucapan orang yang pertama diterima, sedangkan ucapan orang yang kedua ditolak...."

(Pasal 31)
3. Bisa jadi, kata-kata itu keluar karena ungkapan perasaan. Bisa jadi pula karena ingin memberi petunjuk kepada murîd. Kondisi pertama adalah kondisi sâlik, sedangkan kondisi kedua adalah kondisi mereka yang sudah mencapai hakikat.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

UNGKAPAN PARA peniti jalan Allah tentang ilmu dan makrifat yang mereka temukan dalam batin mereka bisa jadi keluar karena luapan perasaan yang mereka alami di dalam hati. Mungkin, hati mereka sempit sehingga tanpa mereka sadari, dari sana mengalir dengan deras apa yang bersemayam di dalamnya. Persis seperti sebuah bejana kecil yang dipenuhi air, tentu air itu akan tumpah ruah keluar. Bisa jadi juga, ungkapan itu keluar karena mereka ingin memberikan petunjuk kepada murîd. Walaupun hati mereka luas, mungkin mereka akan menahan isinya sehingga tak satu pun yang keluar dari hati itu.

Kondisi pertama adalah kondisi yang dialami seorang sâlik atau orang yang baru mulai meniti jalan menuju Allah. Di sini mereka tidak diberi izin untuk mengungkapkan isi hati mereka karena mereka masih dikuasai luapan perasaan. Sementara itu, yang kedua adalah kondisi para muhaqqiq atau orang yang sudah sampai kepada Allah. Mereka diberi izin untuk mengungkapkannya karena ungkapan mereka mengandung bimbingan dan hidayah bagi orang lain.

Jika seorang sâlik mengungkapkan isi hatinya tanpa dikuasai perasaan, ungkapannya itu sama saja dengan sebentuk pengakuan. Jika seorang muhaqqiq mengungkapkannya tanpa niat memberi hidayah kepada murîd, tindakannya itu sama dengan menyebarkan rahasia terlarang. Seorang muhaqqiq harus bersikap diam tak banyak bicara karena ia sedang berada di hadirat Allah, menerima yang datang ke dalam hatinya, berupa keajaiban ilmu dan pemahaman.

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar