Kamis, 22 November 2018

Kitab al-Hikam (Pasal 83-86): Orang yang Berusaha Membuktikan Dirinya Tawâdhu' Sejatinya Dia Orang yang Sombong

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).

Al-Hikam (Pasal 83)
1. Siapa yang merasa dirinya tawâdhu', berarti ia sombong karena tawâdhu' tidak muncul dari orang yang merasa mulia. Maka dari itu, ketika kau merasa mulia, berarti kau telah sombong.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

SIAPA YANG merasa dirinya rendah hati (tawâdhu'), berarti ia sombong karena pengakuan diri orang yang tawâdhu' itu bersumber dari perasaan ketinggian kedudukan yang sebenarnya layak ia dapatkan, namun ia rendahkan.

Ketika kau merasa tinggi dan mulia seraya merasa ber-tawadhu', berarti kau benar-benar telah sombong. Sifat sombong ini tidak akan sirna darimu, kecuali dengan adanya perasaan ketidakberdayaan, misalnya dengan melihat kedudukan itu sebagai sesuatu yang tidak afa nilainya sama sekali.

Al-Hikam (Pasal 84)
2. Orang tawâdhu' bukanlah orang yang ketika merendah ia melihat dirinya lebih mulia daripada yang diperbuat. Namun, orang yang tawâdhu' ialah orang yang melihat dirinya lebih rendah daripada yang diperbuat.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ORANG YANG merendah hati bukanlah orang yang saat melakukan sikap tawâdhu', misalnya dengan duduk di barisan belakang suatu majelis, ia melihat dirinya lebih mulia daripada yang diperbuatnya atau merasa bahwa sebenarnya ia layak duduk di barisan depan majelis. Orang yang tawâdhu' ialah orang yang jika melakukan perbuatan tawâdhu', misalnya dengan duduk di barisan belakang majelis, ia melihat bahwa dirinya lebih rendah daripada yang diperbuatnya dan merasa layak untuk duduk di barisan paling belakang.

Kesimpulannya, seorang yang tawâdhu' adalah orang yang tidak menyatakan bahwa dirinya tawâdhu' karena merasa hina dan tidak memiliki kemampuan dan kedudukan. Orang yang memiliki sifat tawâdhu' sejati adalah orang yang jika melakukan perbuatan-perbuatan tawâdhu', ia tidak menetapkan sikap tawâdhu' bagi dirinya dan tidak mengaku tawâdhu' karena melihat dirinya lebih rendah daripada yang telah dilakukannya dalam rangka bersikap tawâdhu' itu. Sikap tawâdhu' seperti itulah buah dari syuhûd yang diraihnya. Jika ia menetapkan dirinya tawâdhu' dan merasa lebih tinggi daripada yang telah diperbuatnya dalam rangka bersikap tawâdhu' itu, berarti ia sombong.

Oleh sebab itu, asy-Syibli berkata, "Siapa yang melihat dirinya mulia, ia bukan termasuk orang yang tawâdhu'."

Di antara tanda seseorang bersifat tawâdhu' ialah, ia tidak marah jika dicela atau diabaikan. Ia juga tidak benci jika dihina dan dituduh melakukan dosa besar. Ia tidak mau jika di mata manusia dianggap memiliki kedudukan dan kehormatan. Ia tidak ingin mendapat tempat di hati mereka.

Al-Hikam (Pasal 85)
3. Tawâdhu' yang sebenarnya bersumber dari syuhûd (menyaksikan keagungan-Nya) dan penampakan sifat-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

SIKAP RENDAH HATI sesungguhnya adalah sikap yang timbul setelah menyaksikan keagungan dan kebesaran Allah serta tajalli (penampakan) sifat-Nya. Keagungan Allah yang tampak di mata seorang hamba itu yang menuntutnya untuk selalu merendahkan diri karena bisa memadamkan gelora nafsu dan menyingkirkannya serta menggugurkan harapannya.

Allah tidak menampakkan diri pada sesuatu, kecuali membuat sesuatu itu tunduk dan merendah kepada-Nya sehingga pohon kesombongan dan watak suka kekuasaannya akan patah dengannya.

Ada pula sikap tawâdhu' yang tidak hakiki, yaitu yang bersumber dari pandangan bahwa diri ini lemah dan serba kekurangan. Tawâdhu' ini bukan rendah hati yang sesungguhnya karena terkadang masih tercemari oleh sekeping kesombongan atau sikap ujub. Oleh sebab itu, al-Junaidi berkata, "Tawâdhu' menurut ahli tauhid bukanlah takabur."

Al-Ghazali mengomentari ucapan al-Junaidi ini dengan berkata, "Mungkin maksudnya, seorang yang bersikap rendah hati itu biasanya menganggap dirinya tinggi terlebih dahulu, baru kemudian merendahkannya. Berbeda dengan ahli tauhid, sejak awal ia tak menganggap dirinya tinggi dan bernilai sama sekali sehingga tak perlu merendahkannya lagi."

Orang yang rendah hati akan merasa diri dan perasaannya fana setelah melihat kebesaran Allah. Dalam 'Awarif al-Ma'arif disebutkan, "Seorang hamba tidak akan mencapai hakikat tawâdhu', kecuali saat terpancarnya cahaya musyâhadah di hatinya. Saat itu, jiwanya akan melebur. Saat melebur, akan tampaklah kejernihannya yang bebas dari kotoran sikap sombong dan ujub."

Al-Hikam (Pasal 86)
4. Yang membuatmu keluar dari sifat angkuh adalah penyaksianmu terhadap sifat agung Tuhan.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

TAK ADA yang membuatmu keluar dari sifat-sifat burukmu, seperti sombong dan ujub, kecuali setelah kau menyaksikan sifat-sifat Allah, seperti kemuliaan dan keagungan-Nya. Seorang hamba tak bisa terbebas dari sifat-sifat dirinya, kecuali setelah ia menyaksikan sifat-sifat Tuhannya.

Siapa yang melihat kesombongan Tuhannya, ia tidak akan sombong lagi. Siapa yang melihat kekayaannya, ia tidak akan merasa kaya lagi. Siapa yang melihat kuasa-Nya, ia tidak akan merasa memiliki kekuasaan dan kemampuan apa-apa. Dengan begitu, ia akan hidup dengan Tuhannya, bukan dengan dirinya sendiri. Maka dari itu, siapa yang menyaksikan sifat-sifat Tuhannya, tak ada lagi keangkuhan dalan dirinya.

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar