Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).
Al-Hikam (Pasal 66)
1. Jangan sekali-kali mengharapkan kekalnya wârid yang telah selesai membentangkan cahayanya dan menyingkapkan seluruh rahasianya. Semua yang kau butuhkan ada pada Allah dan kau tidak memerlukan yang lain.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
JANGAN SEKALI-KALI mengharapkan kekalnya ahwâl kalbu yang telah selesai membentangkan cahayanya kepadamu, yakni dengan mengajari lahir dan batinmu cara-cara beribadah dan melaksanakan 'ubudiyyah atau yang telah selesai menyingkapkan rahasia-rahasianya kepadamu, yaitu berupa keagungan-keagungan rububiyyah yang tampak jelas di hadapan hatimu. Sekalipun kau telah merasakan faedah yang diberikan wârid itu, hendaknya kau jangan sekali-kali berharap wârid itu kekal bercokol dalam dirimu, lalu kau bersedih bila ia pergi meninggalkanmu karena yang sebenarnya kau butuhkan adalah Allah, bukan yang lain.
Seseorang berkata, "Setiap hal yang hilang darimu akan ada gantinya. Akan tetapi, jika Allah hilang darimu, takkan ada pengganti-Nya."
Allah menempatkanmu le dalam satu keadaan batin agar kau mengambil manfaat yang berupa perkenalan dengan-Nya. Jika manfaat tersebut telah sampai ke tanganmu, jangan kau harap ia tetap ada padamu, sebagaimana keberadaan seorang rasul tidak lagi diperlukan setelah risalahnya tersampaikan. Keberadaan seorang penjaga amanat tidak lagi dibutuhkan setelah amanatnya terlaksana. Jika kau meminta agar rasul dan penjaga amanat itu tetap ada, berarti kau menjadi budak mereka.
Ibnu Atha'illah menjelaskan hal itu dengan ucapannya:
Al-Hikam (Pasal 67)
2. Keinginanmu terhadap kekalnya sesuatu selain Allah menjadi bukti bahwa kau belum bertemu dengan-Nya. Kerisauanmu lantaran kehilangan sesuatu selain Allah menjadi bukti bahwa kau belum sampai kepada-Nya.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
KEINGINANMU TERHADAP kekalnya sesuatu selain Allah, seperti kekalnya wârid yang berupa karunia Ilahi dalam bentuk cahaya, maqâm, dan kenikmatan lahir dan batin, adalah bukti bahwa kau ada bukan untuk-Nya dan kau belum menemukan-Nya. Jika kau menemukan Allah di hatimu dan seluruh batinmu berkumpul untuk-Nya, kau tidak akan menginginkan kekekalan segala sesuatu selain-Nya.
Kerisauanmu lantaran kehilangan sesuatu selain-Nya, seperti karunia-karunia di atas, adalah bukti bahwa kau belum terhubung dengan-Nya dan belum sampai kepada-Nya. Jika kau telah sampai kepada-Nya, niscaya kau akan melupakan segala sesuatu selain-Nya dan tidak risau saat kehilangan sesuatu selain-Nya.
Jika hati seorang sâlik telah mendapatkan wârid, lalu ia mengaku telah sampai kepada Allah, namun masih mencari dan menghendaki suatu benda yang dicintai atau resah karena kehilangannya, itu adalah bukti bahwa ia belum mendapatkan maqâm mulia seperti itu.
Al-Junaid berkata, "Kau tidak akan menjadi hamba Allah yang sejati sebelun kau memerdekakan diri dari segala sesuatu selain-Nya. Kau pun tidak akan mendapatkan kemerdekaan sejati sebelum kau menjadi hamba-Nya."
Al-Hikam (Pasal 68)
3. Walaupun bentuknya beragam, nikmat terwujud lantaran penyaksian dan kedekatan dengan Allah. Sebaliknya, meski bentuknya beragam, siksa terwujud lantaran keberadaan hijab-Nya. Jadi, sebab siksa adalah keberadaan hijab dan sebab kesempurnaan nikmat adalah dengan memandang wajah-Nya yang mulia.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
WALAUPUN NIKMAT DUNIA dan akhirat bermacam-macam bentuknya, entah berupa pakaian, makanan, bidadari, ataupun surga, kenikmatan saat menikmati semua itu terwujud lantaran kita menyaksikan Allah dan merasakan kedekatan-Nya. Maksudnya, semua kenikmatan itu akan menjadi nikmat yang sesungguhnya apabila saat mendapatkannya, kau tetap merasa menyaksikan Allah dan hadir bersama-Nya.
Jika tidak, semuanya bukanlah kenikmatan hakiki, melainkan derita dan azab karena derita dan azab, walaupun bentuknya beragam, bisa berupa siksaan fisik, neraka, atau rantai belenggu. Semuanya adalah akibat keberadaan hijab yang menghalangimu dari-Nya sehingga Dia tak tampak di hadapanmu. Jika kau menyaksikan-Nya, yang kau rasa bukan lagu azab sebenarnya, melainkan kenikmatan terasa dengan meihat wajah-Nya Yang Mulia atau menyaksikan-Nya dengan mata batin di akhirat.
Kesimpulannya, kenikmatan sejati hanya dapat kita rasakan saat melihat Tuhan. Sementara itu, penderitaan yang sesungguhnya, terjadi ketika kita terhalang dari-Nya. Adapun sesuatu yang secara lahir dinikmati seseorang atau menjadi azab baginya, sesungguhnya itu bukanlah kenikmatan jika ia tidak melihat-Nya, bukan azab hakiki jika ia melihat-Nya.
Al-Hikam (Pasal 69)
4. Bila hati masih merasa risau dan sedih berarti masih terhalang untuk menyaksikan-Nya.
(Ibnu Atha-illah al-Iskandari).
BILA HATI masih merasakan sedih dan risau terhadap hal-hal yang bersifat duniawi, berarti hati tersebut masih terhalang dari melihat Allah dengan mata batinnya. Jika tidak, tentu ia tidak akan merasakan risau dan sedih atas hilangnya sesuatu dari dunia ini.
Perasaan risau dan sedih tersebut adalah akibat dari sikap memandang diri sendiri dan mengedepankan maslahat pribadi. Sekiranya seseorang tidak melihat dirinya sendiri dan hanya menyaksikan Tuhannya, tentu ia akan selalu senang dan bahagia. Allah swt. berfirman, "Janganlah kau bersedih, sesungguhnya Allah senantiasa bersama kita."
Siapa yang hatinya bersinar dengan cahaya makrifat, ia tidak akan bersedih selamanya. Akan tetapi, jika orang yang mencapai maqâm ini masih merasakan kesedihan dan kerisauan yang tak tertahankan, ketahuilah bahwa di dalam kesedihan dan kerisauan itu masih ada faedah yang mulia. Kesedihan dan kerisauan dapat menjernihkan hati dan memadamkan hawa nafsu serta mengurangi kesenangan dunia.
Kerisauan selalu berhubungan dengan sesuatu yang akan datang dan kesedihan berhubungan dengan sesuatu yang sudah lampau. Keduanya bisa terjadi terhadap perkara-perkara ukhrawi.
Seorang ahli neraka tidak mengalami kerisauan dan kesedihan, kecuali ia tidak bisa menyaksikan Tuhannya. Jika ia sudah melihat Tuhannya, ia tidak lagi mengalami dua perasaan itu. Azab akan terasa manis dan nikmat dalam pandangannya.
Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar