Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 100)
1. Ketergantungan kepada Allah adalah hakikatmu. Sedangkan munculnya sebab-sebab ketergantungan adalah pengingat akan hakikatmu yang tak kau sadari itu. Dan ketergantungan yang bersifat hakiki itu takkan mungkin pernah terpenuhi oleh sesuatu yang nisbi.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
JIKA KAU mengerti bahwa kau tidak mungkin ada tanpa adanya bantuan Allah, berupa nikmat penciptaan dan pemenuhan semua kebutuhanmu, maka sudah semestinya kau sadar bahwa ketergantungan kepada Allah adalah hakikat atau substansi dirimu.
Namun kebanyakan manusia tidak menyadari hakikat diri mereka, terutama ketika mereka sedang diberi nikmat kesehatan dan kekayaan. Bahkan lebih dari itu, mereka tidak hanya lupa terhadap hakikat diri mereka tetapi juga lupa terhadap Tuhan mereka. Oleh karena itu, Allah menurunkan kepada mereka "sebab-sebab ketergantungan kepada Allah" agar mereka kembali sadar dan ingat. "Sebab-sebab ketergantungan kepada Allah" itu bisa berupa penyakit, rasa lapar, haus, panas, dingin, dan sebagainya.
"Sebab-sebab ketergantungan kepada Allah" itu akan membuatmu sadar dan ingat kembali akan hakikat dirimu, yang sebelumnya tertutup oleh kesehatan dan kekayaan. Sehingga di saat itu pula kau akan melaksanakan hak-hak 'Ubudiyyah kepada Allah, dan berdoa kepada-Nya agar memehuhi kebutuhanmu dan menghapus segala deritamu.
Sebagian orang mengatakan, "Yang membuat Firaun berani mengaku sebagai tuhan adalah karena ia selalu dalam keadaan sehat dan segar bugar selama empat puluh tahun. Ia tidak pernah sakit, meskipun itu sakit kepala. Kekayaannya melimpah dan kekuasaannya tak terbatas. Karena itulah ia merasa seperti Tuhan. Seandainya ia sakit, sekali saja, atau merasa bosan dengan kehidupan, niscaya itu akan menghalanginya untuk mengaku diri sebagai Tuhan."
Dan ini pula yang terjadi pada mayoritas manusia. Kecuali orang-orang yang 'arif. Karena mereka selalu menyadari hakikat diri mereka. Dan mereka tidak perlu lagi diingatkan. "Sebab-sebab ketergantungan" yang Allah timpakan kepada mereka hanyalah untuk memperlihatkan kesungguhan penghambaan mereka.
Cobaan dan penderitaan hidup justru semakin membuat mereka merasa tergantung kepada Allah, semakin membuat mereka taat dan kembali kepada-Nya. Dan dengan keridaan dan kepasrahan yang mereka perlihatkan itu, pahala mereka semakin bertambah dan kedudukan mereka di mata Allah pun semakin mulia.
"Ketergantungan kepada Allah" yang merupakan hakikat atau substansi manusia ini tidak mungkin bisa dihilangkan oleh sesuatu yang bersifat sementara atau nisbi. Dengan kata lain, walaupun kau kaya, sehat atau berkuasa, tetap saja kau tidak bisa lepas dari ketergantungan kepada Allah. Kekayaan, kesehatan ataupun kekuasaan adalah relatif dan sementara. Bukan perkara yang sulit bagi Allah untuk menghilangkan itu semua dari dirimu dan menggantinya dengan yang sebaliknya, sehingga kau benar-benar merasa betapa hidup ini tergantung kepada Allah.
(Pasal 101)
2. Sebaik-baik waktumu adalah ketika kau menyadari betapa tergantungnya dirimu kepada Allah dan betapa hinanya dirimu.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
INI DIANGGAP waktu terbaik karena di waktu ini kau merasa hadir dengan Tuhanmu. Kau palingkan pandanganmu dari segala media, sarana, dan sebab-sebab yang membuatmu semakin jauh dari-Nya. Lain halnya ketika kau merasa kaya dan mulia, maka itu adalah waktu terburuk bagimu.
Dikisahkan dari 'Atha as-Silmi bahwa ia, selama tujuh hari, tidak mencicipi sedikit pun makanan dan tidak bisa melakukan apa-apa. Namun, hatinya bahagia mengalami hal itu. Ia berkata, "Tuhanku, sekiranya engkau tidak memberiku makan tiga hari lagi ke depan, aku akan shalat menyembah-Mu sebanyak seribu rakaat."
Diceritakan pula bahwa suatu malam, Fatah al-Mushili pulang ke rumahnya. Ia tidak mendapati hidangan makan malam, lampu penerang, dan tidak pula kayu bakar. Ia tetap memuji Allah dengan mengucap alhamdulillah seraya beribadah kepada-Nya. Ia berdoa, " Tuhanku, dengan sebab dan wasilah (perantara) apalagi agar Engkau memperlakukanku seperti memperlakukan para wali-Mu?."
Demikian pula yang terjadi pada Fudhail bin Iyyadh. Ia berkata, "Dengan amal apa lagi supaya aku layak mendapatkan hal ini dari-Mu agar aku terus mengalaminya."
Banyak kejadian serupa yang terjadi pada orang-orang yang dekat dengan Allah. Oleh sebab itu, Ibnu Atha'illah berkata, "Kebutuhan adalah hari raya para murid."
(Pasal 102)
3. Apabila Allah telah membuatmu jemu dengan makhluk, ketahuilah bahwa Dia hendak membukakan untukmu pintu kemesraan dengan-Nya.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
DI ANTARA CONTOH sikap jemu terhadao makhluk adalah merasa muak ketika melihat perilaku manusia, merasa lelah menyembunyikan rahasia dari mereka, atau merasa bahwa mereka tidak dapat mencukupi kebutuhanmu sama sekali. Dengan perasaan jemu ini, Allah hendak membukakan pintu kedekatan-Nya denganmu. Jika Dia telah membuka pintu itu dan menyerumu dengan panggilan-Nya, kau akan menjadi milik-Nya sendirian sehingga kau akan membenci selain-Nya.
Ini seperti yang dialami Abu Yazid. Dikisahkan bahwa ia mendapatkan berbagai keajaiban dan keistimewaan. Kepadanya ditanyakan, "Apakah semua itu membahagiakanmu?" Dia menjawab, "Saya tidak sedikit pun merasa bahagia dengan ini semua." Kemudian, kepadanya dikatakan, "Kau benar-benar hamba Allah yang sejati."
(Pasal 103)
4. Ketika lisanmu digerakkan untuk meminta, berarti Dia hendak memberimu.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
DIAM ADALAH sifat yang dituntut dari seorang hamba yang tak lagi membutuhkan perkara duniawi dan tidak lagi memperhatikan berbagai kebutuhannya.
Namun, Allah bisa saja melepas tuntutan diam itu darimu. Misalnya, dengan memberimu kemiskinan dan kebutuhan sehingga kau pun terdorong untuk berdoa kepada-Nya. Maka pada saat itulah lisanmu digerakkan untuk meminta kepada-Nya dengan lisan keterdesakan. Ini berarti juga bahwa keinginanmu akan terwujud, sebab janji Allah untuk mengabulkan doa seorang yang terdesak kebutuhan pasti akan ditepati-Nya. Allah tidak pernah melanggar janji-Nya.
Rasulullah saw. bersabda, "Siapa yang diberi kesempatan berdoa maka pengabulannya tidak akan terhalang." Pengabulan doa itu bisa berupa sesuatu yang dimintanya, bisa pula selainnya; bisa langsung atau tidak langsung.
Seseorang berkata, "Pengabulan ini terjadi bila doa itu bersumber dari ikhtiar dan niat baik. Adapun jika ia mengalir saja dari lisan tanpa disertai niat dan tujuan, pengabulannya yang berupa sesuatu yang diminta mungkin agak sedikit telat."
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar