Sabtu, 27 Oktober 2018

Kitab al-Hikam (Pasal 120-124) : Manfaat-manfaat Shalat

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).

(Pasal 120)
1. Shalat adalah pembersih hati dari kotoran dosa dan pembuka pintu kegaiban.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

SHALAT YANG sesungguhnya ialah yang menjadi pembersih hati dari pengaruh dan kotoran duniawi dan dosa, serta sifat-sifat lain yang menjauhkan pelakunya dari pandangan kepada Tuhan Yang Maha Perkasa.

Shalat juga merupakan pembuka pintu sesuatu yang tak pernah kau miliki, yaitu berupa makrifat dan rahasia-rahasia Ilahi. Makrifat dan rahasia Ilahi ini diumpamakan dengan harta karun yang tertutup rapat. Jika hati sudah dibersihkan, tutupnya akan diangkat sehingga ia bisa melihat rahasia-rahasia gaib yang tak bisa dilihatnya.

(Pasal 121)
2. Shalat adalah tempat munajat dan kerinduan. Di dalamnya ruang rahasia meluas dan cahaya-cahaya bersinar.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

MUNAJAT BERMAKNA keintiman dan percakapan lembut seorang hamba dengan Tuhannya. Shalat adalah media munajat hamba kepada Tuhannya. Dengan munajat itu, Allah menampakkan sifat-sifat-Nya yang indah sebagai rahmat-Nya kepada para hamba dan seluruh alam semesta. Dengan munajat itu pula, Allah memasukkan ke dalam batin hamba ilmu-ilmu laduni dan rahasia-rahasia pengetahuan.

Shalat juga menjadi sarana pertemuan dan pelepas rindu hamba dengan Tuhannya. Dengan shalat, hamba menghadap-Nya dengan segenap jiwa raga dan mendatangi-Nya secara lahir dan batin sehingga dalam relung batinnya tak ada yang tersimpan selain-Nya. Dengan shalat juga, Allah akan membersihkan hamba-Nya dengan memberi kemampuan syuhud dan mencurahkan karunia dan kebaikan-Nya. Inilah pembersihan yang paling tinggi. Semakin seorang hamba mendekati-Nya maka Allah pun akan semakin lebih mendekatinya lagi.

Di dalam shalat, ruang hati menjadi luas, sehingga bisa menerima rahasia-rahasia yang berlimpah.

Di dalam shalat pula cahaya bersinar terang. Jika cahaya menyinari hati, hati itu akan lapang dan terbuka menerima berbagai ilmu dan makrifat. Itulah buah munajat dan pembersihan yang disebut di atas. Semuanya adalah penegasan dari hikmah sebelumnya bahwa yang dituntut dari hamba adalah mendirikan shalat secara sungguh-sungguh, bukan sekadar melaksanakannya.

(Pasal 122)
3. Allah mengetahui kelemahan dirimu sehingga menyedikitkan bilangan (shalat). Dia juga mengetahui kebutuhanmu terhadap karunia-Nya sehingga melipatgandakan pahala-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

ALLAH TELAH mengetahui kelemahanmu, wahai murid, karena kemampuan dan energi manusia tak akan sanggup menyaksikan penampakan Ilahi. Oleh karena itu, Dia mengurangi bilangan shalat dari yang sebelumnya lima puluh waktu menjadi lima waktu saja. Allah juga mengetahui rasa butuhmu kepada karunia-Nya, karena itu Dia memberikan ilmu-ilmu, rahasia-rahasia, dan pengetahuan-Nya ke dalam hati seorang yang shalat. Ungkapan ini ditujukan untuk para murid.

Untuk selain murid, Allah mengetahui kelemahanmu karena kau malas dan sibuk dengan duniawi sehingga tak sanggup melakukan shalat yang banyak. Allah juga mengetahui kebutuhanmu akan karunia-Nya. Oleh karena itu, Dia memperbanyak pahala-Nya dengan memberikan sebanyak lima puluh pahala untuk shalat lima waktu.

(Pasal 123).
4. Ketika kau meminta balasan atas sebuah amal, sebenarnya kau dituntut untuk tulus di dalamnya. Sudah cukup beruntung bila seseorang selamat dari siksa-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KETIKA KAU MEMINTA balasan atas shalatmu atau ibadah lainnya, misalnya dengan berharap pahala langsung di dunia dan akhirat, padahal Allah menuntutmu agar ikhlas dan tulus dalam amalmu, Allah akan menyatakan kepadamu bahwa kau belum tulus dalam amalmu untuk-Nya. Kau hanya beramal untuk kepentingan dan keuntungan dirimu.

Ketulusan dan keikhlasan adalah kesesuaian batin dengan lahir. Sifat inilah yang tidak ada pada diri seorang 'amil (orang yang beramal). Secara lahir, ia memang beramal untuk Allah dan ingin melaksanakan hak-hak ketuhanan-Nya. Namun, di dalam batinnya, ia beramal untuk keuntungan dirinya sendiri. Oleh karena itu, sangat beruntunglah dia bila Allah membebaskannya dari siksa.

Lebih beruntung lagi bila orang yang kurang sempurna dalam amalnya itu diberi pahala oleh Tuhannya, secara langsung maupun tak langsung. Sekiranya ia bertekad dan berniat untuk menyempurnakan amalnya serta yakin atas keluasan rahmat Allah swt., niscaya di hatinya tidak akan pernah terpikir pahala saat ia beramal. Justru ia akan mengikhlaskan amalnya karena Allah. Sekalipun amalnya kurang sempurna, beruntungnya, ia tetap terselamatkan dari siksa Allah. Tuhannya akan berkata kepadanya, "Amal yang kau kerjakan ini tidak layak mendapat pahala-Ku, tetapi cukuplah bagimu jika kau selamat dan tidak Ku siksa."

Hikmah dia atas sebetulnya adalah celaan bagi para pencari pahala atas amal yang dilakukannya. Ia menjelaskan bahwa sebaiknya seorang hamba menyembah Allah berdasarkan keyakinannya atas kebesaran, ketuhanan, dan sifat-sifat rububiyyah-Nya, bukan karena balasan yang akan didapatnya di dunia dan akhirat.

(Pasal 124)
5. Jangan mengharap upah atas amal yang tidak kau lakukan. Sudah cukup sebagai balasan untukmu jika Allah menerimanya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

JANGAN MENGHARAP upah atas amal yang tidak kau lakukan karena yang melakukan sesungguhya adalah Allah. Kau hanyalah objek penampakan-Nya. Jika yang melakukan adalah Allah, betapa lancang kau meminta pahala atas amal itu!.

Dengan kata lain, pencipta sesungguhnya dari amal para hamba adalah Allah semata, sedangkan hamba hanya berusaha. Lantas, apakah pantas ia meminta pahala atas amal yang sebenarnya tidak dilakukannya?.

Cukuplah bagimu jika Allah sudah menerimanya. Maksudnya, jika Allah sudah menerima amalmu, Allah tidak lagi meminta pertanggungjawabanmu atas amalmu yang kurang sempurna, bukan atas amalmu yang tidak kau niatkan untuk mencari pahala.

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar