Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 141)
1. Allah menampakkan segala sesuatu karena Dia Maha Tersembunyi. Dia menutupi keberadaan segala sesuatu karena Dia Maha Tampak.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
ALLAH MEMILIKI nama baik "al-Bâthin" (Yang Maha Tersembunyi). Tak satu pun yang dapat menandingi-Nya dalam hal ketersembunyian. Oleh sebab itu, Dia menampakkan segala sesuatu dan membuatnya lahir. Di dalamnya tidak ada lagi yang tersembunyi, kecuali dzat-Nya.
Allah juga memiliki nama baik "az-Zhâhir" (Yang Maha Tampak). Tak satu pun yang menyamai-Nya dalam hal kelahiran. Oleh sebab itu, Dia menutupi wujud segala sesuatu atau tidak membuat selain-Nya berwujud dengan sendirinya. Bahkan, seluruh alam semesta ini tidak berwujud, kecuali karena wujud-Nya.
Lahir bermakna tersembunyinya segala sesuatu selain-Nya sehingga tak satu pun yang menandingi penampakan-Nya. Saat itu, wujud segala sesuatu akan tertutup dan lenyap.
Batin bermakna tampaknya segala sesuatu sehingga tak satu pun yang menandingi ketersembunyian-Nya. Saat itu, wujud segala sesuatu akan tampak dengan wujud-Nya.
Intinya, Allah Yang Maha Haq adalah Dzat Yang Maha Maujud dan tak ada wujud selain-Nya, kecuali secara dependen (mengikuti wujud-Nya).
(Pasal 142)
2. Allah membolehkan dirimu melihat apa yang terdapat di alam, namun tidak mengizinkan dirimu berhenti padanya. Karena itu Dia berkata, "Katakan, perhatikan apa yang terdapat di langit!" bukan berkata, "Perhatikan langit!" agar perhatianmu tidak tertuju ke benda langit.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
ALLAH MEMERINTAHKANMU melihat alam semesta sebagai bukti keindahan-Nya atau menyapukan pandangan hatimu ke sana agar kau menyaksikan bahwa Dia ada di alam semesta dan tampak di sana. Allah melarangmu untuk menghijab dirimu dengan alam sehingga kau tidak bisa melihat-Nya di sana. Allah swt. berfirman, "Katakan, perhatikan apa yang terdapat di langit!"
Dalam Lathâif al-Minan disebutkan, "Alam semesta yang ditampakkan di hadapanmu bukan untuk kau lihat, tetapi agar kau lihat wujud Tuhan di dalamnya. Kehendak Tuhanmu adalah agar kau melihat alam semesta dengan mata orang yang tidak melihatnya. Kau melihatnya dari sisi penampakan Allah di dalamnya, bukan melihatnya dari sisi wujud alam semesta itu sendiri."
Allah membukakan pintu pemahaman atau mengingatkan dan menyadarkanmu atas apa yang di tuntut darimu, yaitu melihat yang ada di alam semesta.
Allah tidak mengatakan kepadamu "Lihatlah langit-langit!" agar tidak menunjukkan kepadamu benda-benda langit saja sehingga dengannya kau menjadi terhijab dan tidak menyaksikan wujud Allah di dalamnya. Hal itu juga dimaksudkan agar alam semesta tidak menjadi fokus dan tujuanmu karena ia hanyalah wasîlah (perantara) dan media. Ia hanyalah benda yang dapat dilihat. Bagi para ahli syuhûd, alam semesta adalah wahana penampakan Allah swt. Namun, bagi para ahli hijab, alam adalah bukti keberadaan-Nya.
(Pasal 143)
3. Alam ini ada dengan penetapan Allah dan ia lenyap dengan keesaan dzat-Nya.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
PADA MULANYA, alam semesta ini tidak ada. Alam semesta memiliki sifat wujud dengan penetapan Allah swt. terhadapanya atau dengan penampakan-Nya di dalamnya. Ketetapan alam ini bersifat relatif karena tidak ada yang mutlak, kecuali Dia. Oleh karena itu, Ibnu Atha'illah berkata, "Alam lenyap dengan keesaan dzat-Nya."
Siapa yang melihat kepada keesaan dzat-Nya maka ia tidak akan mendapati alam ini tetap dan berwujud. Alam memiliki sifat tetap dengan memandang kepada keesaan-Nya. Menurut orang-orang 'ârif, keesaan maknanya adalah kemurnian, kemutlakan, dan keterbebasan dari penampakan pada alam semesta. Keesaan dalam arti itu berbeda dengan ke-satu-an karena kesatuan ialah penampakan dzat yang lahir di alam semesta sehingga alam semesta menjadi ada berdasarkan adanya Yang Maha Haq di sana. Oleh sebab itu, mereka berkata, "Keesaan umpama lautan tanpa gelombang, sedangkan kesatuan umpama lautan dengan gelombang."
Bagi mereka, Allah swt. seumpama lautan dan alam semesta ini seperti gelombang yang digerakkan oleh lautan itu. Gelombang tentu berbeda dengan lautan. Inilah tauhid orang-orang 'ârif.
Di dalam kitab ini, Ibnu Atha'illah mengulang-ulang ungkapannya tentang hal ini. Ia mengatakannya dengan berbagai ungkapan berbeda untuk mewujudkan yang benar dan menyingkirkan yang batil dari dirimu. Sebagian orang membahasnya secara khusus dalam satu karya tersendiri atau membahasnya dalam pembahasan tentang wihdatul wujûd (kesatuan wujud).
(Pasal 144)
4. Orang-orang memujimu atas apa yang mereka sangka ada pada dirimu. Karena itu, celalah dirimu atas apa yang kau ketahui ada pada dirimu.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
MANUSIA MEMUJIMU atas sifat-sifat terpuji yang ada padamu. Oleh karena itu, jangan kau tertipu dan terpesona oleh pujian mereka kepadamu, tetapi celalah dirimu sendiri. Celalah dirimu karena apa yang tidak sesuai dengan sangkaan manusia kepadamu.
Oleh sebab itu, Ali ra. sering berdoa, "Ya Allah, jadikan kami lebih baik daripada apa yang mereka kira dan jangan tuntut kami dengan apa yang mereka katakan tentang kami. Ampuni dosa kami atas apa yang tidak mereka ketahui."
Ucapan Ibnu Atha'illah "Celalah dirimu!" bukan berarti bahwa kau disuruh untuk mendustakan perkataan manusia atau mencoba mengubah sangkaan mereka terhadapmu. Akan tetapi, maksudnya, kau tidak boleh tertipu atau terpesona dan tidak mengutamakan pengetahuanmu atas sangkaan mereka.
Jika seorang pemuji berbohong, misalnya dengan terlalu berlebihan dalam memuji, dan kebohongannya telah diketahui, laksanakanlah sabda Rasulullah, "Lemparkan debu di wajah para pemuji." Pujian seperti itu dilarang.
Demikian pula jika pujian dapat mendorong orang yang dipuji tertipu dan membuatnya melakukan kesalahan terhadap dirinya sendiri maka laksanakanlah perintah Rasulullah, "Jauhilah pujian karena ia sama dengan tindakan menyembelih seseorang."
(Pasal 145)
5. Seorang mukmin, jika dipuji, akan malu kepada Allah karena ia dipuji dengan sifat yang tidak ia dapati pada dirinya.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
MUKMIN SEJATI adalah mukmin yang tidak mendapati pada dirinya sifat-sifat terpuji sehingga layak untuk dipuji. Dia hanya memandang bahwa sifat itu datang dari Allah. Jika manusia memujinya dan menyebut-nyebut kebaikannya, ia akan malu kepada Allah karena ia tidak mendapati sifat yang dipuji itu ada pada dirinya.
Rasa malunya kepada Allah adalah rasa malu penuh takzim dan pengagungan kepada-Nya dengan sifat-sifat yang tak ada padanya. Dengan begitu, ia akan bertambah benci dan jijik kepada dirinya sendiri, pandangannya terhadap kebaikan dan karunia Allah semakin besar. Inilah kesyukuran yang dengannya ia akan mendapatkan yang lebih dan selamat dari sikap nyaman dengan pujian para hamba.
(Pasal 146)
6. Sebodoh-bodoh manusia adalah orang yang meninggalkan keyakinannya karena mengikuti sangkaan orang-orang.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
ORANG YANG PALING bodoh adalah orang yang meninggalkan keyakinan atau pengetahuannya tentang kelemahan dan aib diri serta kekurangan hubungannya dengan Allah karena sangkaan orang-orang bahwa dirinya baik sehingga mereka memujinya. Jika orang yang dipuji itu tertipu dan yakin bahwa dirinya layak mendapat pujian tersebut serta terperdaya oleh kesaksian seluruh makhluk tentangnya, ia menjadi manusia terbodoh karena ia mengabaikan keyakinannya dan lebih mengutamakan sangkaan tentangnya. Ia lebih mengutamakan sesuatu yang ada pada orang lain daripada yang ada pada dirinya.
Pujian dusta terhadapmu sama saja dengan ucapan orang-orang yang ingin mengolok-ngolokmu dengan berkata, "Kotoran yang keluar dari mulutmu baunya seperti minyak kasturi." dan kau rela, bahkan senang dengan cemoohan itu. Tentu saja aib diri yang diketahui seorang hamba lebih busuk dan lebih kotor daripada kotoran yang keluar dari mulutmu.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar