Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 107).
1. Siapa yang mengira kemahalembutan-Nya terlepas dari kemahakuasaan-Nya, berarti ia memiliki pandangan yang sempit.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
KEMAHAKUASAAN ALLAH terlihat saat Allah menimpakan petaka dan ujian kepadanya. Jika ia mengira bahwa kelembutan Allah itu terpisah dari kekerasan-Nya, hal itu menandakan pandangannya sempit. Sekiranya pandangannya sempurna, ia akan menyadari bahwa dalam petaka dan ujian itu ia banyak mendapatkan kelembutan Allah.
Misalnya, dengan ujian itu, ia bisa mendekatkan diri kepada-Nya.
Ujian yang ditimpakan Allah kepada hamba-hamba-Nya pasti bertolak belakang dengan keinginan mereka dan membuat nafsu syahwat mereka meronta. Tentu setiap hal yang mengganggu atau menyakiti nafsu pasti akan berbuah baik, bahkan sebelum hamba itu kembali kepada Allah dan mengetuk pintu-Nya. Ini adalah faedah terbesar dari ujian dan cobaan. Hamba yang mendapatkan ujian akan mendapati bahwa jiwanya lemah, kekuatannya terbatas, dan sifat-sifat yang telah mendorongnya melakukan dosa atau maksiat serta menguatkan keinginannya terhadap dunia adalah batil.
Dengan ujian itu, biasanya seorang hamba akan meraih ketundukan hati, sabar, rida, tawakal, zuhud, dan ingin bertemu Allah. Bagaimanapun, sebiji sawi amalan hati lebih baik daripada segunung amalan anggota tubuh. Dengan ujian itu pula, ia akan mendapatkan penghapusan dosa dan kesalahan serta meraih kelembutan Ilahi lainnya.
(Pasal 108)
2. Bukan ketidakjelasan jalan yang dikhawatirkan dari dirimu. Yang dikhawatirkan adalah menangnya hawa nafsu atas dirimu.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
"KETIDAKJELASAN JALAN" bermakna ketidakjelasan jalan 'Ubudiyyah yang dapat menghantarkanmu ke hadirat Tuhanmu saat kau mengalami satu ahwal. Padahal, jalan 'Ubudiyyah ini telah dijelaskan syariat. Siapa yang menelaah al-Quran dan sunah maka ia akan mendapatkan bimbingan gamblang dalam meniti jalan itu.
'Ubudiyyah-mu dalam ketaatan adalah dengan menyaksikan karunia ketaatan itu. 'Ubudiyyah dalam maksiat adalah dengan beristighfar dan bertobat. Adapun 'Ubudiyyah-mu dalam kenikmatan adalah dengan mensyukuri nikmat tersebut dan 'Ubudiyyah dalam cobaan adalah dengan bersabar.
Dalam semua kondisi di atas, yang dikhawatirkan dari dirimu adalah kemenangan hawa nafsu atas dirimu sendiri sehingga ia membutakan matamu sampai kau tidak bisa melihat jalan tujuanmu. Ia bisa membuatmu bersikap sombong dan 'ujub atas ketaatanmu, mendorongmu untuk selalu bermaksiat, mengabaikan nikmat dan tidak mensyukurinya, atau gelisah dan sedih saat menerima musibah.
Bisa jadi makna hikmah di atas adalah yang dikhawatirkan darimu, bukan ketidaktahuanmu tentang mana di antara sekian amal yang harus kau utamakan. Ini akan kau alami jika kau tidak dibimbing oleh seorang syekh atau guru. Yang dikhawatirkan darimu justru adalah saat hawa nafsu mengalahkanmu. Hawa nafsu akan menghalangimu untuk melakukan amalan-amalan tersebut sehingga kau malah mengurungkan niat meniti jalan menuju Tuhan. Bahkan, kau meninggalkan jalan yang semestinya kau gunakan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Jika kau tidak mengetahui mana yang lebih utama di antara semua amal itu, sebaiknya kau mencari seorang syekh pembimbing agar kau diajari dan dibimbingnya.
(Pasal 109)
3. Maha Suci Dzat yang menyembunyikan keistimewaan (seorang wali) dengan menampakkan sifat-sifat kemanusiaan (nya), dan memperlihatkan keagungan rububiyah-Nya di dalam kehambaan (makhluk-Nya).
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
DI ANTARA "keistimewaan" yang dimaksud dalam hikmah di atas adalah ilmu pengetahuan dan rahasia-rahasia Ilahi yang diberikan dan dilimpahkan Allah ke dalam hati para wali-Nya.
"sifat-sifat kemanusiaannya" ialah hal-hal duniawi yang biasa dialami dan dihadapi manusia secara umum. Terkadang, sebagian wali berprofesi sebagai pengemudi keledai tunggangan atau penenun. Bisa jadi tak ada seorang pun yang mengetahui bahwa ia adalah seorang wali karena keistimewaan mereka tertutup profesi yang digeluti atau tersamar oleh sikap-sikap mereka yang tidak berbeda dengan kebanyakan manusia lainnya, seperti bertengkar atau beradu mulut dengan orang.
Namun, terkadang pula, Allah menampakkan tanda-tanda keistimewaan itu pada sebagian manusia, seperti pada para dai. Allah menampakkannya pada para dai agar dengan peran mereka seluruh manusia menjadi baik dan sempurna.
Dan keagungan rububiyyah-Nya terlihat ketika Dia memperlihatkan kehambaan makhluk. Artinya, keagungan rububiyyah Allah akan tampak manakala Dia memperlihatkan tanda kehambaan seluruh makhluk. Yang dimaksud dengan tanda kehambaan makhluk adalah kondisi-kondisi yang membuat seorang makhluk membutuhkan Tuhan, seperti penyakit atau kemiskinan. Seorang hamba, jika mengalami salah satu kondisi itu, ia akan berlindung kepada Tuhannya dan memohon agar diselamatkan dari kondisi itu.
Di sinilah rububiyyah Allah akan ditampakkan-Nya kepada hamba-Nya itu. Allah ingin menegaskan bahwa hamba itu memiliki Tuhan Yang Maha Kuasa dan bisa menghilangkan kondisi yang dialaminya. Tanpa hal itu, Allah tidak akan mengenalkan keagungan rububiyyah-Nya. Tanpa hal itu juga, keagungan rububiyyah Allah hanya akan terselubung dan tidak akan tampak ke permukaan.
Oleh sebab itu, asy-Syadzili berkata, "'Ubudiyyah adalah isi. Ia akan ditampakkan oleh rububiyyah."
Maha Suci Tuhan Yang Maha Lembut dan Maha Meliputi segala sesuatu.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar