Sabtu, 20 Oktober 2018

Kitab al-Hikam (Pasal 83-92) : Orang-orang 'Arif Lebih Mengkhawatirkan Kelapangan daripada Kesempitan

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).

(Pasal 83)
1. Kaum 'arif lebih khawatir ketika diberi kelapangan daripada ketika diberi kesempitan, karena yang bisa menjaga etika saat berada dalam kelapangan hanyalah sedikit.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

MEREKA AMAT mengkhawatirkan diri mereka jika diberi Allah kelapangan. Bagi mereka, kelapangan lebih cocok dengan hawa nafsu. Saat itu, mereka takut terjerumus oleh dorongan hawa nafsu untuk selalu berbicara tentang ahwal, karamah, dan keistimewaan lain yang mereka miliki. Mungkin disitulah letak keterusiran dan keterasingan mereka. Terkadang pula, pada saat itu, dari diri mereka terucap ucapan yang tidak sesuai dengan keagungan Tuhan. Saat itulah mereka dituntut untuk selalu menjaga adab dan menahan diri. Itu amat sulit bagi mereka dalam kondisi ini.

Oleh sebab itu, Ibnu Atha'illah berkata, "Yang bisa menjaga adab pada saat berada dalam kelapangam hanyalah sedikit."

Dalam Latha'if al-Minan disebutkan bahwa kelapangan dapat menggelincirkan kaki orang-orang. Ia menuntut agar mereka lebih waspada dan berhati-hati. Kesempitan lebih dekat kepada keselamatan karena ia merupakan tempat hamba berada dalam genggaman Allah. Di sana pula kuasa Allah meliputinya. Dari manakah gerangan datangnya kelapangan? Dari Allah.

Kelapangan sama dengan keluar dari hukum waktu-Nya, sedangkan kesempitan adalah keadaan yang memang layak ada di dunia ini. Karena dunia adalah negeri yang penuh beban, misteri tentang masa depan, ketidaktahuan tentang masa lalu, dan tempat tuntutan pelaksanaan hak-hak Allah.

(Pasal 84)
2. Semasa lapang, nafsu bisa memainkan perannya melalui rasa gembira. Semasa sempit, nafsu tidak bisa berbuat apa-apa.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

DALAM HIKMAH INI terdapat penegasan tentang hikmah sebelumnya bahwa menjaga etika saat lapang amat sulit. Sebab, tak ada yang bisa menjaga etika dalam kondisi itu kecuali segelintir orang.

Seakan Ibnu Atha'illah berkata, "Memang demikian adanya karena hawa nafsu selalu memainkan perannya dalam kondisi kelapangan."

Biasanya, saat lapang, hawa nafsu menjadi lalai, melupakan kewajiban, mengaku-ngaku memiliki ilmu, pemahaman, ahwal batin dan rahasia-rahasia, selalu berbicara tentang kemampuan khusus, menikmati hal-hal luar biasa, menyinggung masalah karamah, dan bersuara tentang maqam masing-masing. Semuanya itu tentu bertentangan dengan prinsip 'Ubudiyyah.

Sebaliknya, di dalam kesempitan, nafsu tidak merasa beruntung dan memiliki peran apa-apa. Nafsu tidak akan sombong dengan menampakkan sesuatu yang menjadi miliknya. Dengan begitu, kesempitan lebih aman dan lebih membentuk kemampuan untuk menunaikan etika-etika 'Ubudiyyah. Oleh karena itu, orang-orang 'arif lebih mengutamakan kesempitan daripada kelapangan.

(Pasal 85)
3. Bisa jadi, Allah memberimu (kesenangan dunia), namun menghalangimu (dari taufik-Nya). Bisa pula Dia menghalangimu (dari kesenangan dunia), namun memberimu (taufik).

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

"TAUFIK" IALAH bimbingan untuk melakukan ketaatan serta mendekatkan diri kepada-Nya dan memahami-Nya.

Allah mungkin memberimu kesenangan dan kenikmatan dunia. Namun, Dia menghalangimu dari bimbingan-Nya untuk menaati, mendekati, dan memahami-Nya. Mungkin juga Allah menghalangimu dari kesenangan dunia, namun Dia memberimu bimbingan-Nya.

Halangan Allah kepadamu untuk menikmati syahwatmu dan menikmati kesenangan alam semesta, meski disertai buruknya kebiasaan ibadahmu, merupakan karunia yang besar dari-Nya. Allah telah menetapkannya untukmu dan memutusmu dari kepentingan dan tujuan-tujuanmu.

Sebaliknya, ketika Allah memberimu kesenangan dunia, walaupun secara lahir tampak seperti pemberian, jangan kaulihat lahirnya saja. Lihatlah hakikatnya. Saat itu, seorang hamba wajib menyerahkan putusan, pengaturan, dan pilihan kepada Tuhannya.

(Pasal 86)
4. Ketika Dia membukakan pintu pemahaman kepadamu tentang mengapa kau tidak diberi, hal itu merupakan bentuk pemberian.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KETIKA KAU MEMINTA namun tidak diberi, lalu kau paham bahwa tidak adanya pemberian itu merupakan salah satu bentuk rahmat-Nya untukmu (karena Dia Maha Tahu bahwa itulah yang terbaik untukmu), dan bahwa Tuhanmu sedang memperlihatkan kuasa-Nya dihadapanmu, maka pemahaman semacam itulah sejatinya pemberian untukmu dari-Nya.

(Pasal 87)
5. Jika engkau menginginkan kemuliaan yang abadi, jangan membanggakan kemuliaan yang fana.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

JIKA KAU MENGHENDAKI kemuliaan abadi, jauhilah segala sebab dan yakinlah dengan adanya Sang Pencipta sebab. Pencipta sebab adalah Tuhan Yang Abadi sehingga ketergantunganmu kepada-Nya menjadi sumber kemuliaan yang abadi.

Jangan kau tertipu dengan kemuliaan yang fana, misalnya dengan menyadari sebab dan tidak menyadari siapa Penciptanya. Karena sebab itu fana, ketergantunganmu terhadap sebab menjadi sumber kemuliaan yang tidak abadi.

Apabila kau merasa mulia karena Allah, kemuliaanmu akan abadi dan tidak seorang pun yang mampu menghinakanmu. Namun, jika kau mendapat kemuliaan dari selain-Nya, seperti dari harta, kehormatan, dan kedudukan, dan kau merasa puas serta menjadikannya sandaran, lalu kau lalai dari Tuhanmu, maka tak ada keabadian bagi kemuliaanmu itu. Tak ada kemuliaan pada sesuatu yang kau banggakan selain Tuhan.

Oleh sebab itu, ketika seorang 'arif mendengar suara seseorang yang menangis, ia bertanya kepadanya, "Ada apa denganmu?" Orang itu menjawab, "Guruku meninggal dunia." Kemudian orang 'arif itu berkata, "Mengapa kau anggap gurumu yang mati?"

(Pasal 88)
6. Perjalanan singkat yang sesungguhnya adalah bila kau memperpendek jarak dunia sehingga engkau dapat melihat akhirat lebih dekat kepadamu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

"MEMPERPENDEK JARAK dunia" adalah dengan menjauhinya, tidak menyibukkan diri dengan kenikmatan dan syahwatnya, dan tidak terlena di sana. "Akhirat lebih dekat" bermakna ia selalu di depan matamu dan tidak jauh dari hatimu. Inilah singkatnya perjalanan yang sebenarnya. Dengannya, Allah memuliakan para wali-Nya. Dengannya pula, 'Ubudiyyah mereka terwujud dengan sempurna.

Singkatnya perjalanan bukan dengan dipendekkannya jarak bumi untuk para pengembara yang mencari kebenaran karena bisa jadi pengembaraan mereka hanyalah kedok dan tipuan belaka. Bukan pula dengan disingkatnya malam dan siang bagi orang yang banyak bangun malam dan berpuasa karena bisa jadi amalnya itu mungkin disertai sifat Riya' dan 'ujub sehingga akibatnya malah kerugian.

Jarak dunia ini tidak mungkin bisa disingkat untuk seorang hamba, kecuali cahaya keyakinan dalam hatinya terpancar. Saat itu, dunia akan sirna dari matanya dan dia melihat akhirat hadir di hadapannya atau ada pada dirinya. Siapa yang penyaksiannya seperti ini maka pada dirinya tidak akan ada kecintaan terhadap dunia karena ia menggantinya dengan yang lebih abadi, yaitu akhirat.

Apabila cahaya keyakinan (nurul yaqin) belum terpancar dari hatinya, ia akan selalu mencintai dunia, merasa tenang dan nyaman di sana, lebih mengutamakannya daripada akhirat dan menjauhi Tuhannya. Hal itu dikarenakan, keyakinan dan ketakwaannya lemah.

(Pasal 89)
7. Pemberian dari makhluk adalah keterhalangan, sedangkan penangguhan pemberian dari Allah merupakan karunia.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

JIKA KAU TERIMA pemberian dari seorang manusia seraya kau lalai dari Tuhanmu, maka pemberian itu sejatinya merupakan keterhalanganmu dari karunia Allah. Karena dalam hal ini kau tidak melihat Allah dan terlalu menggantungkan diri pada nasib mujurmu.

Jika Allah enggan memberimu, sesungguhnya itu adalah karunia untukmu. Dengan cara itu, hatimu tidak akan pernah melupakan-Nya. Walaupun secara lahir Allah tidak memberimu, namun secara batin itu adalah pemberian-Nya kepadamu. Allah memaksamu untuk berdiri di depan pintu-Nya dan membebaskanmu dari hijab-Nya.

Kesimpulannya, pemberian dari makhluk adalah keterhalangan karena di dalamnya tersimpan kecintaanmu terhadap mereka akibat pemberian itu. Kau pasti selalu mengikuti keinginan mereka agar bisa mengambil pemberian itu. Sementara itu, penangguhan pemberian Allah merupakan kebaikan untukmu karena Dia adalah kekasihmu. Setiap yang dilakukan seorang kekasih, tentu dicintai oleh yang mengasihinya.

Dalam wasiatnya, Ali bin Abi Thalib berkata, "Jangan anggap ada pemberi nikmat selain Allah! Anggap nikmat yang kau terima dari selain-Nya sebagai utang yang harus kau bayar!."

(Pasal 90)
8. Mustahil Allah menangguhkan balasan pahala bagi hamba yang beramal baik kepada-Nya secara kontan.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

"KONTAN" DI SINI bermakna menghadap Allah melalui bermacam ketaatan dan tanpa menunda-nunda. Bila Allah tidak langsung memberinya pahala, itu adalah hak Allah. Namun, itu bukanlah kebiasaan Tuhan Yang Maha Mulia dan Maha Kuasa. Pahala amal tidak hanya diberi di hari akhir. Allah terkadang memberikan sebagian pahala untuk beberapa orang wali-Nya di dunia untuk mendorong mereka agar terus bersungguh-sungguh dalam beramal.

Dengan demikian, para wali itu langsung merasa bahwa amalnya dikabulkan Allah. Dalam hal ini, Ibnu Atha'illah menjelaskan tentang pahala langsung itu dengan ucapannya berikut.

(Pasal 91)
9. Cukuplah sebagai balasan Allah atas ketaatanmu, ketika Dia meridaimu sebagai pelaku ketaatan.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

MAKNANYA, ALLAH MEMBERI pahala langsung kepadamu dengan membimbingmu agar selalu melakukan ketaatan dan menakdirkanmu untuk itu. Jika tidak, sadarilah bahwa sifat-sifat aslimu adalah malas dan tidak peduli pada ketaatan. Jika Allah membimbingmu untuk melakukan ketaatan, berarti itulah pahala-Nya yang langsung untukmu di dunia karena hal itu bisa membuatmu dekat dengan-Nya. Lagu pula, kau hanyalah hamba yang lemah dan tak layak untuk memberikan pelayanan kepada Sang Raja Diraja. Oleh sebab itu, saat kau dekat untuk melayani-Nya dan Dia meridaimu sebagai ahli ketaatan, itulah nikmat terbesar untukmu dari-Nya.

Ibnu Atha'illah menyebutkan pahala langsung lainnya dengan ucapan:

(Pasal 92)
10. Cukuplah sebagai balasan bagi orang-orang yang beramal, apa yang membuat hati mereka terbuka pada ketaatan dan apa yang membuat hati mereka puas karena dekat dengan-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

SAAT MEREKA taat kepada Allah, Dia memberi mereka pemberian-pemberian Ilahi, ilham Laduni, dan manisnya duduk di hadapan Sang Raja Diraja.

Seseorang berkata, "Di dunia ini tidak ada waktu yang senikmat kenikmatan ahli surga, kecuali manisnya waktu bermunajat yang didapat ahli tamalluq (yang biasa duduk manja di hadapan Tuhannya) di malam hari."

Rasa manis dan nikmat munajat inilah yang disebut oleh para ahli tarekat sebagai ahwal (keadaan batin), mawajid (emosi), dan adzwaq (perasaan). Kesenangan dan rasa manis itu terjadi setelah sebuah amal rampung.

Orang-orang mengatakan, tiada kesenangan paling tinggi selain rasa bahagia hati karena melihat indahnya kekasih. Ini adalah kondisi yang membuat seorang yang sedang jatuh cinta semakin segar dan semangat, membuat waktunya semakin jernih, dan di dalamnya ia takut petaka kehinaan.

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar