Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 80)
1. Yang diminta seorang 'arif dari Allah adalah ketulusan dalam beribadah dan pemenuhan hak-hak Tuhan-Nya.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
YANG DIMINTA OLEH orang 'arif ini lebih tinggi daripada yang diminta oleh orang selainnya, baik itu ahli ibadah, zahid, maupun alim. Hal itu dikarenakan, yang diminta oleh orang 'arif hanyalah bagaimana bisa tulus dalam beribadah dan menghambakan diri, yakni dengan memperhatikan etika penghambaan, berakhlak dengan akhlak hamba, dan melaksanakan hak-hak Allah.
Hak-hak Allah itu adalah bersyukur atas karunia-Nya, bersabar atas musibah-Nya, memusuhi orang yang memusuhi-Nya, bertawakal kepada-Nya, merasa diawasi-Nya (muraqabah), berdiri di hadapan pintu-Nya sambil mengenakan pakaian tawadhu' dan kerendahan, mengulurkan tangan kepada yang butuh, memegang tali harapan kepada-Nya, mengenakan serban ketakutan di hadapan-Nya, serta sifat-sifat dan akhlak 'Ubudiyyah lainnya.
Siapa yang tulus dalam mengerjakan itu semua berarti ia telah menunaikan segala kewajiban yang dibebankan Allah kepadanya. Contoh memenuhi hak-hak Tuhan secara lahir adalah dengan taat secara lahir, muraqabah secara batin, dan selalu merasakan kehadiran-Nya dalam dirinya.
Hikmah di atas menjelaskan bahwa seorang 'arif hanya meminta dua perkara, tanpa memperhatikan keuntungan diri. Artinya, orang-orang 'arif memisahkan antara tujuan dan keuntungan diri dalam permintaan mereka. Sementara itu, yang lain tidak pernah memisahkan antara keuntungan dengan tujuan. Oleh sebab itu, permintaan seorang 'arif lebih tinggi daripada permintaan selainnya.
Abu Madyan berkata, "Ada perbedaan antara orang yang tekadnya bidadari dan istana surga dengan orang yang keinginannya tersingkap hijab dan hadir bersama Allah."
(Pasal 81)
2. Alam ini lahirnya berupa tipuan, sedangkan batinnya berupa pelajaran. Diri (nafsu) melihat kepada lahirnya yang menipu, sedangkan kalbu melihat kepada batinnya yang menjadi pelajaran.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
MAKSUD "ALAM" di sini adalah segala kenikmatan dan pernak-pernik duniawi yang di dalamnya nafsu meraih keuntungannya. Alam membuat jiwa tertipu karena keindahan dan kilauannya. Namun hakikatnya, alam sesungguhnya adalah objek untuk diambil pelajarannya dan dijauhi karena keburukan, kehinaan, dan kefanaannya.
Secara lahir, alam ini indah dipandang, sedangkan secara batin, ia amat buruk. Siapa yang melihat kepada lahirnya, ia akan mendapatinya hijau, indah, dan menyilaukan. Pasti ia tertipu karenanya dan akan suka melihatnya. Namun, siapa yang melihat hakikat batinnya, ia akan mendapatinya kering, mati, dan kotor sehingga akan menjadikannya bahan pelajaran dan menjauhinya.
Nafsu selalu melihat kepada hiasan alam yang menyilaukan sehingga ia tertipu dan pemiliknya akan binasa. Namun, kalbu akan melihat pada batinnya atau keburukannya sehingga ia akan berkaca di sana dan akan terhindar dari keburukannya.
(Pasal 82)
3. Dia memberimu kelapangan agar kau tidak terus berada dalam kesempitan. Dia memberimu kesempitan agar kau tidak terus berada dalam kelapangan. Dia mengeluarkanmu dari kelapangan dan kesempitan agar kau tidak bergantung kepada selain-Nya.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
SAAT DALAM KESEMPITAN, kau merasa tertekan dan sakit. Saat lapang, kau akan merasa beruntung dan senang. Allah akan mengeluarkanmu dari kesempitan dan kelapangan dengan cara membuatmu merasa fana dan kau memilih abadi dengan-Nya.
Oleh karena itu, jangan terus-menerus berada dalam sifat dan keadaanmu yang menyakitkan atau menyenangkan agar itu tidak menjadi hijab antara dirimu dengan Tuhanmu dan agar kondisimu seimbang dan berada di tengah; tidak sempit, tidak pula lapang.
Maknanya, warnailah keadaan batinmu agar kau bisa menaklukannya dan merasa fana darinya. Kesempitan diperuntukkan bagi orang-orang 'arif pemula. Sekiranya tanpa kesempitan, hakikat-hakikat mereka tidak akan terkumpul dan tidak terhenti dari keinginan dan syahwat.
Adapun kelapangan diperuntukkan bagi orang-orang yang mendapatkan cahaya awal kemenangan agar mereka mengerahkan segenap kekuatannya dan merasa nyaman dengan embusan napas Tuhan dan tanda-tanda penyaksian terhadap keridaan-Nya.
Sementara itu, keseimbangan diperuntukkan bagi ahli nihayah (orang yang mendapatkan akhir perjalanannya) agar ahwal mereka lurus, amal mereka bersih, dan mereka selalu berada di hadapan Tuhan tanpa cacat dan kekurangan.
Kesimpulannya, kesempitan dan kekurangan merupakan kondisi yang masih kurang karena masih membutuhkan eksistensi dan keberadaan seorang hamba di dunia. Namun, keduanya dapat membuat hamba itu menjadi tegar.
Itu merupakan salah satu tanda kelembutan Allah kepada hamba-Nya. Allah mewarnai hamba-Nya dengan dua kondisi itu, lalu mengeluarkannya dari sana dengan menjadikan hamba itu merasa fana dan berada bersama-Nya. Kesempitan dan kelapangan adalah kondisi kaum 'arif pemula. Pada masa-masa itu, mereka masih tercemari. Persis seperti murid pemula yang keadaannya diwarnai harap dan takut. Kendati demikian, keduanya tetap berbeda. Harap dan takut yang dirasakan murid berkaitan dengan perkara yang diperkirakan akan terjadi di masa mendatang, baik itu yang ditakuti maupun yang dicintai.
Adapun kesempitan dan kelapangan yang menimpa kaum 'arif berkaitan dengan perkara yang tidak diperkirakan kedatangannya. Jika perkara yang tiba-tiba datang itu adalah perkara yang ditakuti, itu adalah kesempitan. Jika perkara yang tiba-tiba datang itu adalah perkara yang dicintai, itu adalah kelapangan.
Sebab adanya kesempitan dan kelapangan itu adalah asupan-asupan yang masuk ke dalam batin seorang 'arif. Jika yang masuk ke dalam hati adalah asupan keagungan Ilahi, terjadilah kesempitan. Jika asupannya berupa keindahan Ilahi, terjadilah kelapangan.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar