Minggu, 11 November 2018

Kitab al-Hikam (Pasal 44-47) : Kebanyakan Manusia Tidak Mengerti Nilai Kenikmatan kecuali Setelah Berlalu

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).

(Pasal 44)
1. Orang yang tidak mengetahui nilai nikmat tatkala mendatanginya akan sadar tatkala sudah lepas dari dirinya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

INI ADALAH penegasan dari hikmah sebelumnya, Ibnu Atha'illah berkata, "Turunnya kegelapan adalah sebagai pertanda dan pengenal besarnya kenikmatan karena segala sesuatu akan semakin jelas dengan adanya kebalikannya." Saat ada lawan atau tandingannya, akan tampaklah keutamaan sebuah benda. Nikmat pandangan akan diketahui manakala seseorang diuji dengan kebutaan. Kadar air dan nilainya akan diketahui seseorang manakala ia diuji dengan rasa haus yang berat di tengah padang pasir tandus. Nilai air tidak akan diketahui oleh orang yang ada di pinggir danau atau sungai yang mengalir. Nikmat itu baru terasa oleh seseorang tatkala nikmat itu sudah hilang darinya.

(Pasal 45)
2. Jangan sampai nikmat yang berlimpah membuatmu lalai dalam menunaikan kewajiban bersyukur karena hal itu dapat merendahkan harga dirimu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

JANGAN SAMPAI limpahan nikmat membuatmu terpesona dan lalai dalam menunaikan kewajiban-kewajiban syukurmu kepada Tuhan atas nikmat itu. Misalnya, dengan melihat kelemahan dirimu dalam menunaikan hak-hak itu sehingga kau lupa bersyukur. Sikap lalai itulah yang dapat merendahkan harga dirimu. Allah telah mengangkat harga dirimu dan membuat yang sedikit padamu menjadi banyak. Allah swt. berfirman, "Barang siapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya." (QS. al-An'am [6]: 160)

Jangan sampai banyaknya nikmat yang diberikan Allah kepadamu membuat dirimu lupa bersyukur kepada-Nya. Jangan sampai pula kau berpandangan bahwa nikmat yang kau rasakan itu datang dengan sendirinya sehingga kau tidak mau bersyukur kepada yang memberinya. Kedua sikap ini adalah sikap yang bodoh dan tercela.

Di antara bentuk syukur dengan lisan adalah berzikir mengingat Allah, atau membaca wirid setelah shalat lima waktu.

(Pasal 46)
3. Kelezatan hawa nafsu yang sudah bersarang di kalbu merupakan penyakit kronis.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KECENDERUNGAN SYAHWAT dan sumber kecintaan terhadap dunia yang bersarang di kalbu merupakan penyakit yang kronis dan sulit diobati. Penyakit ini tak bisa dihilangkan dengan berbagai cara dan obat, termasuk dengan iman, makrifat, dan keyakinan karena sebuah penyakit, jika sudah bersarang di kalbu, tak ada lagi obat yang mampu menawarnya. Akibatnya ia menjadi kronis dan sulit disembuhkan. Tak lagi ada yang mampu mengobatinya, kecuali wirid atau karunia Ilahi, sebagaimana yang diisyaratkan Ibnu Atha'illah dalam ucapannya:

(Pasal 47)
4. Tiada yang bisa mengusir syahwat dari hati, kecuali rasa takut yang menggetarkan atau rasa rindu yang menggelisahkan.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

TIADA YANG bisa mengusir syahwat dari hati, kecuali rasa takut yang mengganggu dan menguasai relung hati sebagai buah dari penyaksian terhadap sifat-sifat Tuhan Yang Maha Mulia. Caranya adalah dengan melihat tanda-tanda kebesaran-Nya, mencermati ayat-ayat-Nya yang berisi ancaman, dan mengingat maut, alam kubur, pertanyaan para malaikat, dan hari kiamat.

Bisa juga yang mengusir syahwat dari hati adalah rasa rindu yang menggelisahkan yang masuk ke dalam hati dan berpangkal dari penyaksian sifat-sifat keindahan-Nya. Sumber rasa rindu itu ialah kebiasaan melihat dan mengingat ayat-ayat-Nya yang mengandung janji Allah bagi ahli ketaatan dan para wali-Nya, berupa surga yang tak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar telinga, dan tak pernah terbertik sedikit pun di hati manusia, serta kebiasaan menghadiri majelis-majelis zikir. Zikir merupakan terapi dan cara yang efektif untuk meraih semua itu. Hal itu dikarenakan, zikir sedikit demi sedikit dapat menenangkan hati dan menumbuhkan rasa takut dan rindu.

Sumber: Kitab al-Hikam Terjemah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar