Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).
(Pasal 12)
1. Bagaimana mungkin permintaanmu yang datangnya kemudian menjadi sebab bagi pemberian-Nya yang sudah ditentukan sebelumnya?.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
BAGAIMANA MUNGKIN permintaanmu sekarang ini menjadi sebab pemberian Allah atas sesuatu yang sudah ditetapkan-Nya sejak zaman azali? Pemberian Allah merupakan hubungan antara kehendak-Nya di masa azali dengan pelaksanaannya yang juga sejak azali. Di dalamnya, permintaan tidak menjadi sebab karena permintaan itu datang belakangan setelah pemberian. Padahal, sebab seharusnya datang terlebih dahulu daripada akibatnya. Oleh sebab itu, Ibnu Atha'illah berkata:
(Pasal 13)
2. Terlalu agung bila putusan Allah yang azali disandarkan kepada rangkaian sebab.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
ADALAH SIKAP mengecilkan putusan Allah bila kita menghubungkan putusan yang telah ada di masa azali, yaitu karunia Allah, dengan sebab-sebab.
Jika ada yang berkata, "Terkadang, pemberian bergantung pada permintaan. Dengan demikian, permintaan menjadi sebab adanya pemberian." jawabannya: sebab hakiki datangnya karunia adalah penangguhan kehendak Allah di waktu azali. Kau meminta-Nya atas sesuatu yang sudah ditetapkan, namun belum dilaksanakan.
(Pasal 14)
3. Perhatian Allah kepadamu bukanlah karena sesuatu yang timbul dari dirimu. Di manakah kau ketika perhatian dan pemeliharaan-Nya menemuimu, padahal di zaman azali belum ada keikhlasan amal ataupun ahwâl. Bahkan, belum ada apa-apa selain banyaknya karunia dan pemberian semata.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
PERHATIAN ATAU pemberian Allah kepadamu bukan karena doa atau amal saleh yang kau lakukan. Coba ingat, di mana dirimu ketika
Allah memberimu perhatian dan perlindungan-Nya? Maknanya, di masa azali kau sendiri tidak ada. Tentu saja, itu menafikan semua yang bersumber darimu. Jika dirimu dahulu tidak ada, berarti tak ada pula sesuatu yang bersumber darimu, baik doa maupun amal saleh. Meskipun demikian, Allah tetap memberimu perhatian dan karunia.
Di masa azali, belum ada amal yang ikhlas, seperti doa, shalat, dan puasa, tidak pula ada ahwâl. Bahkan, belum ada apa-apa selain karunia dan pemberian Allah semata. Oleh karena itu, doa bukanlah sebab terwujudnya sesuatu yang diminta. Demikian pula amal saleh, itu bukanlah sebab yang memengaruhi pemberian dan perhatian Allah atau sebab seseorang masuk surga dan selamat dari neraka.
(Pasal 15)
4. Allah mengetahui bila hamba ingin agar rahasia pertolongan-Nya tampak. Dia berfirman, "Dia yang menentukan rahmat-Nya untuk siapa yang Dia kehendaki." Allah juga mengetahui bila mereka dibiarkan begitu saja, tentu mereka tidak akan beramal karena bersandar pada keputusan azali. Oleh karena itu, Dia berfirman, "Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik."
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
"RAHASIA" ADALAH sesuatu yang tertutup karena ia tersembunyi dari kita. Ketika Allah mengetahui bahwa kita menghendaki pertolongan itu terjadi dan kita memintanya dengan doa dan amal saleh serta yakin bahwa keduanya berpengaruh pada datangnya pertolongan yang kita inginkan itu, Dia langsung berfirman, "Dia yang menentukan rahmat-Nya untuk siapa yang dikehendakinya."
Firman Allah ini menghentikan kita dan memutus ketamakan kita karena mungkin pertolongan Allah itu khusus diberikan kepada beberapa manusia saja. Sebagaimana halnya kenabian, ketika orang-orang merindukan datangnya nabi di akhir zaman, banyak orang yang mengaku sebagai nabi. Namun, Allah mematahkan klaim mereka dengan firman-Nya, "Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan." (QS. al-An'am [6]: 124)
Allah juga mengetahui bahwa jika mereka dibiarkan begitu saja setelah mendapati bahwa pertolongan azali itu khusus diterima sebagian orang saja dan bukan untuk umum, niscaya mereka tidak akan beramal karena hanya bersandar kepada putusan azali itu. Mereka akan berkata, "Jika di masa azali telah ditetapkan bahwa kami adalah orang-orang khusus yang mendapat pertolongan Allah, niscaya kami akan selamat dari neraka dan akan masuk surga. Maka dari itu, kami tidak perlu lagi beramal atau berdoa.
Allah swt. berfirman, "Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik." Orang yang berbuat baik adalah orang yang sering beramal saleh. Kedekatan rahmat Allah itu adalah tanda pertolongan azali Allah. Walaupun tidak menjadi sebab yang mendatangkan pertolongan itu, amal saleh tidak patut ditinggalkan hanya karena bersandar pada putusan azali.
(Pasal 16)
5. Kepada kehendak-Nya segala sesuatu bergantung, sementara kehendak-Nya bergantung pada sesuatu.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
SETIAP YANG MEMILIKI wujud bersandar kepada kehendak Allah karena kehendak Allah sudah ditetapkan sejak azali. Sementara itu, kehendak Allah tidak bergantung pada sesuatu yang memiliki wujud.
"kehendak Allah" bermakna sesuatu yang diputuskan sejak azali dan padanya bergantung keinginan hamba yang sudah diketahui Allah, karena permintaan hamba dengan doa dan amal saleh tidak menjadi sebab yang mempengaruhi kehendak Allah itu.
Ungkapan Ibnu Atha'illah di atas adalah ungkapan yang amat tepat. Di dalamnya terkandung isyarat adanya ketergantungan segala sesuatu pada putusan-putusan azali dan dikesampingkannya sebab-sebab. Oleh karena itu, seorang hamba harus senantiasa melakukan 'Ubudiyyah, merasa butuh kepada-Nya, dan mengabaikan pengaturan dan pilihan dirinya.
Abu Bakar al-Wasithi berkata, "Sesungguhnya, Allah tidak mendekati seorang fakir karena kefakirannya dan tidak menjauhi seorang kaya karena kekayaannya. Allah tidak peduli dengan berbagai keadaan hamba untuk memberi atau menahan karunia-Nya. Sekiranya dunia dan akhirat dikerahkan untuk bisa sampai kepada-Nya, niscaya tidak akan membuatmu sampai kepada-Nya. Jika kau singkirkan keduanya pun, niscaya tidak akan memutus jalanmu kepada-Nya, tidak memutus jalan orang-orang yang mendekati-Nya tanpa sebab, dan tidak menjauhkan orang yang menjauhi-Nya tanpa sebab. Allah swt. berfirman, "Barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun." (QS. an-Nur [24]: 40)
(Pasal 17)
6. Terkadang, adab membuat orang-orang 'ârif tidak meminta karena mereka telah bersandar kepada pembagian-Nya dan sibuk mengingat-Nya sehingga lupa meminta kepada-Nya.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
MAKSUDNYA, ORANG 'ârif terkadang diliputi sikap pasrah dan tawakal sehingga tidak mau meminta kepada Allah karena merasa cukup dengan pembagian dan ketetapan azali. Di antara orang yang kita lihat benar-benar meraih maqâm ini adalah Syekh Musthafa Afandi at-Turki al-Qasthimuni al-Jarkasi.
Orang-orang berbeda pendapat, manakah yang lebih utama: berdoa kepada Allah ataukah hanya diam dan rela dengan pembagian-Nya? Di antara mereka ada yang berkata, "Doa lebih utama karena di dalam doa terkandung ibadah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw., 'Doa adalah inti ibadah'. Melaksanakan sesuatu yang mengandung unsur ibadah lebih utama daripada meninggalkannya."
Ada pula yang berpendapat bahwa diam dan pasrah terhadap hukum dan ketetapan Allah lebih utama dan lebih sempurna karena hal yang sudah dipilihkan Allah untukmu lebih baik daripada pilihanmu sendiri. Dalam hadis qudsi di sebutkan, "Siapa yang zikirnya kepada-Ku membuatnya sibuk sehingga tidak meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya yang lebih baik daripada yang Ku berikan kepada orang yang meminta."
Sebagian orang berkata, "Waktu itu bermacam-macam. Jika seseorang merasakan dorongan untuk berdoa di hatinya, seperti kelapangan dan kekhusyukan, doa baginya lebih utama. Namun, jika ia merasakan di hatinya dorongan untuk diam, seperti tidak khusyuk atau gelisah, diam baginya lebih baik. Apabila ia tidak mendapati dorongan apapun di hatinya, berdoa ataupun tidak berdoa sama saja baginya. Namun, jika yang mendominasi kala itu adalah makrifat, diam lebih baik."
Ibnu Atha'illah menegaskan ucapannya tentang adab di atas dengan menyatakan bahwa terkadang adab itu terpelihara pada saat seseorang tidak meminta. Ia berkata:
(Pasal 18)
7. Yang perlu diingatkan adalah yang bisa lupa dan yang perlu ditegur adalah yang mungkin teledor.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
YANG PERLU DIINGATKAN dengan doa dan permintaan adalah yang bisa lupa dan tidak menyadari ada yang meminta. Yang perlu ditegur adalah yang mungkin teledor dan tidak teliti. Sifat lupa dan teledor ini amat mustahil bagi Allah. Oleh sebab itu, tidak meminta kepada Allah, menurut orang-orang 'ârif, adalah adab karena tanpa diminta dan diingatkan pun Allah tidak akan lupa dan teledor.
Al-Wasithi pernah diminta untuk berdoa maka jawabannya, "Aku takut jika aku berdoa dikatakan kepadaku, 'Jika kau meminta Kami apa yang kau miliki pada Kami, berarti kau menuduh Kami. Jika kau meminta apa yang tak kau miliki, berarti kau telah buruk dalam memuji Kami. Jika kau rela dan rida, Kami akan memberimu berbagai perkara yang telah Kami putuskan sepanjang masa.'"
(Pasal 19)
8. Datangnya beragam kesukaran merupakan hari raya bagi para murîd.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
HARI RAYA adalah hari di saat kebahagiaan meliputi seluruh orang. Bagi para murîd, kesukaran adalah hari raya yang mendatangkan kebahagiaan. Para murîd merasa bahagia dengan kesukaran karena kesukaran dapat mempercepat sampainya mereka kepada tujuan. Selain itu, di dalam kesukaran terkandung penghinaan dan pembatasan hawa nafsu. Orang-orang awam amat senang dengan kedatangan hari raya karena mereka bisa mendapatkan keinginan hawa nafsunya, berupa makanan lezat, pakaian baru, dan lain sebagainya.
(Pasal 20)
9. Barangkali, pada saat sulit, kau mendapatkan tambahan karunia yang tidak kau temukan dalam puasa dan shalat.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
WAHAI MURÎD, barangkali saat kau mengalami kesulitan, kau mendapatkan tambahan karunia berupa kesucian batin, cahaya, dan makrifat yang tidak kau dapatkan pada puasa dan shalat karena bisa jadi puasa dan shalat yang kau lakukan lebih didasari keinginan nafsumu dan keuntungannya.
Ibadah seperti ini adalah ibadah yang tidak terbebas dari kekurangan sehingga tidak bisa digunakan untuk menyucikan hati. Di saat sulit, hawa nafsu dan syahwat tertahan. Oleh karena itu, saat sulit, karunia yang didapat seorang hamba lebih banyak daripada yang didapatnya dalam puasa dan shalat.
(Pasal 21)
10. Ragam ujian merupakan hamparan anugerah.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
RAGAM UJIAN seumpama hamparan permadani yang dipenuhi karunia dan pemberian Ilahi bagi yang duduk di atasnya. Sebagaimana halnya orang yang duduk di atas permadani raja, ia tentu akan mendapatkan kenikmatan yang diberikan raja kepadanya.
Ujian yang berupa kesulitan membuatmu selalu hadir bersama Tuhanmu dan mendudukkanmu di permadani ketulusan. Pada saat hadir itulah, kau akan diberi karunia rabbani dan embusan kasih sayang-Nya.
Ibnu Atha'illah berkata:
(Pasal 22)
11. Jika kau mengharapkan datangnya karunia, luruskan rasa papa dan butuh pada dirimu karena "Sedekah hanya diberikan kepada mereka yang fakir (butuh)."
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
JIKA KAU ingin mendapatkan karunia Allah, luruskan rasa miskin dan butuh pada dirimu. Caranya adalah dengan mewujudkan keduanya pada dirimu secara total sehingga kau tidak lagi membutuhkan selain-Nya dengan cara apa pun. Saat itulah, karunia Ilahi akan datang kepadamu. Ini sesuai dengan firman Allah, "Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir...." (QS. at-Taubah [9]: 60)
(Pasal 23)
12. Tampakkan sifat-sifatmu, niscaya Dia akan membantumu dengan sifat-sifat-Nya. Tampakkan kehinaanmu, niscaya Dia membantumu dengan kemuliaan-Nya. Tampakkan kelemahanmu, niscaya Dia membantu dengan kekuasaan-Nya. Tampakkan ketidakberdayaanmu, niscaya Dia membantu dengan daya dan kekuatan-Nya.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
TUNJUKKAN SIFAT-SIFATMU, niscaya Dia akan membantumu dengan sifat-sifat-Nya. Wujudkan sifat kehinaanmu, niscaya Dia akan memberimu kemuliaan-Nya sehingga kau akan menjadi mulia, bukan dengan dirimu sendiri. Wujudkan sifat kelemahanmu, niscaya Dia akan membantumu dengan kekuatan-Nya sehingga kau mampu berbuat apa saja, bukan dengan dirimu sendiri. Tampakkan ketidakberdayaanmu, niscaya Dia membantumu dengan kekuatan dan daya-Nya sehingga kau menjadi kuat dengan kekuatan-Nya, bukan dengan kekuatan dirimu sendiri.
Demikian pula jika kau tampakkan kebutuhan dan kemiskinanmu, Dia akan membantumu dengan kekayaan-Nya. Seandainya kau duduk di permadani kehinaan, lalu kau katakan, "Wahai Yang Maha Mulia, siapa lagi yang memberi kemuliaan kepada yang hina selain Diri-Mu?" kau duduk di permadani kelemahan, lalu kau katakan, "Wahai Yang Maha Kuasa, siapa yang memberi kuasa kepada yang lemah selain Diri-Mu?" kau duduk di atas permadani ketidakberdayaan, lalu kau katakan, "Wahai Yang Maha Kuat, siapa yang memberi kekuatan kepada yang lemah selain Diri-Mu?" kau duduk di permadani kemiskinan dan kesulitan sambil berkata, "Wahai Yang Maha Kaya, siapa yang memberi kekayaan kepada orang yang miskin selain Diri-Mu?" niscaya kau akan mendapatkan jawaban seakan jawaban itu datang berdasarkan kehendak dan keinginanmu.
(Pasal 24)
13. Bisa jadi, karamah diberikan kepada orang yang belum benar-benar beristiqamah.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
BISA JADI, karamah atau perkara luar biasa diberikan kepada orang-orang yang belum sempurna istiqamahnya. Oleh sebab itu, seorang murîd tidak layak mempedulikannya dan mengharap kemunculannya. Mungkin, keistimewaan yang diberikan tersebut hanyalah pertolongan, bukan karamah sebenarnya. Karamah sebenarnya adalah kesempurnaan istiqamah. Sumbernya ada dua: kebenaran iman kepada Allah dan pelaksanaan terhadap apa yang dibawa Rasulullah secara lahir maupun batin.
Oleh karena itu, yang wajib bagi seorang murîd adalah tidak mempedulikan dan mengharap, kecuali dua hal itu. Ia tidak boleh memiliki tekad lain, kecuali untuk meraihnya. Adapun karamah, yang berarti kemampuan luar biasa, tak pernah dibincangkan oleh para muhaqqiq.
(Pasal 25)
14. Di antara tanda Dia menempatkanmu pada satu kedudukan adalah ketika Dia menempatkanmu di dalamnya disertai buah yang nyata.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
DI ANTARA tanda bahwa Allah menempatkanmu dalam satu keadaan, antara bekerja dan mensucikan diri dengan ibadah, adalah ketika Dia memudahkanmu mendapatkan sebab-sebabnya dan melestarikanmu di sana. Dia menempatkanmu di sana dengan memberimu buah yang nyata dari perbuatanmu itu, seperti selamatnya agama atau adanya keuntungan dari hasil pekerjaanmu.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar