Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Kedua).
(Pasal 7).
1. Hilangkan pandangan makhluk padamu dengan pandangan Allah. Lupakan sambutan mereka dengan menyaksikan sambutan-Nya padamu.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
SINGKIRKAN PANDANGAN makhluk kepadamu. Jangan menoleh kepada pandangan mereka terhadapmu. Jangan mencarinya. Jauhkan pandangan mereka itu dari dirimu. Jauhkan ia dengan pandangan Allah terhadapmu! Hendaknya yang kau harap dan kau cari hanyalah pandangan Allah terhadapmu.
Lupakan sambutan mereka kepadamu dengan menyaksikan sambutan Allah kepadamu. Jangan pernah menoleh kepada kehangatan sambutan mereka, apalagi mencarinya. Namun, jadikan tolehan dan pencarianmu hanya kepada sambutan Allah karena sambutan makhluk kepada murîd sebelum ia mencapai kesempurnaan justru akan mendorongnya untuk berpura-pura dan sok alim di hadapan mereka. Tentu itu akan membuat derajatnya turun dan jatuh di mata Allah swt., na'udzu billah.
Tak ada yang rida dengan sambutan makhluk kepada dirinya, kecuali orang yang berakal sempit dan bertekad rendah. Hal itu dikarenakan, keridaan manusia merupakan sesuatu yang tak bisa diketahui dengan pasti. Manusia terbodoh adalah yang mencari sesuatu yang tidak diketahuinya. Adapun orang yang berakal cerdas dan luas, ia tidak akan cenderung, kecuali pada sambutan Allah terhadapnya, tanpa peduli dengan celaan atau hinaan orang-orang kepadanya.
Seorang bijak berkata, "Orang yang tulus adalah orang yang tidak peduli jika seluruh kehormatannya sirna dari hati makhluk demi memperbaiki hatinya. Ia tidak suka jika manusia mengetahui sebiji sawi kesalehan amalnya dan tidak dibenci jika mereka mengetahui keburukan amalnya. Jika ia benci keburukannya diketahui, itu pertanda bahwa ia berharap lebih dari manusia. Ini bukanlah keikhlasan para shâdiqîn."
(Pasal 8)
2. Siapa yang mengenal Allah, ia akan menyaksikan-Nya dalam segala sesuatu. Siapa yang fana dengan-Nya, ia akan lenyap dari segala sesuatu. Siapa yang mencintai-Nya, ia tidak akan mengutamakan selain-Nya.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
SIAPA YANG MENDAPATKAN makrifat Allah, ia akan melihat Allah tampak dalam segala sesuatu. Ia tidak akan merasa terasing, tidak pula merisaukan segala hal, sebagaimana sifat-sifat orang 'ârif.
Siapa yang merasakan kefanaan dengan wujud Allah, ia tidak lagi melihat fenomena wujud, kecuali Allah, dan dia akan mengabaikan diri dan indranya sendiri. Ia tidak akan melihat dirinya berwujud.
Lain halnya dengan orang-orang 'ârif, mereka telah mendapatkan maqâm keabadian. Mereka melihat makhluk sekaligus melihat Sang Khalik. Mereka melihat Sang Khalik tampak pada segala sesuatu dan berada di sana, tetapi mereka tidak merasakan kefanaan diri dan inderanya. Orang yang kehendak dan syahwatnya hanya kepada Allah adalah orang yang telah meraih maqâm-maqâm tersebut.
(Pasal 9)
3. Yang membuat Allah terhijab darimu adalah karena kedekatan-Nya yang amat sangat kepadamu.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
KARENA ALLAH begitu dekat denganmu, kau pun terhijab dari melihat-Nya. Adanya hijab, selain akibat jarak yang jauh, juga akibat jarak yang terlalu dekat. Telapak tangan, jika didekatkan ke mata, mata takkan dapat melihatnya. Lain halnya jika ia dijauhkan dari mata.
Demikian pula Tuhan, kita tidak bisa melihat-Nya karena Dia meliputi kita dan mendekatkan Diri-Nya kepada kita. Tak ada yang menyadari hal itu, kecuali para pemilik mata batin karena di mata mereka Allah amat tampak. Oleh sebab itu, Allah mengangkat hijab dari mereka sehingga mereka melihat-Nya ada pada segala sesuatu dan meliputinya.
(Pasal 10)
4. Dia terhijab lantaran sangat jelas dan Dia tersembunyi dari pandangan makhluk lantaran cahaya-Nya yang agung.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
ALLAH TERHALANG dari pandangan dan tak bisa diketahui karena cahaya-Nya yang dahsyat. Seperti halnya matahari, ia tak bisa dilihat karena cahaya-Nya lebih kuat daripada cahaya lain. Kekuatan cahaya itulah yang membuatnya tak bisa dilihat oleh mata yang lemah sehingga inti dan hakikatnya tidak diketahui.
Penampakan matahari yang ditimbulkan oleh cahayanya yang kuat menjadi hijab tersendiri baginya. Hijab di sini bukan hijab sesungguhnya karena sesuatu yang lahir, tentu tidak akan terhalang. Ia terhijab karena lemahnya pandangan orang yang melihat pancaran cahayanya. Ini sesuai dengan hikmah sebelumnya.
(Pasal 11)
5. Jangan sampai permintaanmu kau jadikan sebagai sebab pemberian sehingga kau kurang memahami-Nya. Namun, jadikanlah permintaanmu sebagai sarana memperlihatkan 'Ubudiyyah dan untuk melaksanakan hak-hak rububiyyah.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
JANGAN KAU TUJUKAN permintaan dan amal salehmu kepada-Nya untuk mendapatkan karunia-Nya. Jangan pula kau yakini bahwa semua permintaan dan amal salehmu itu adalah sebab datangnya karunia, sehingga pemahamanmu tentang Allah dan hikmah-Nya dalam memerintahkan hamba-Nya untuk berdoa menjadi berkurang.
Akan tetapi, jadikanlah permintaanmu sebagai bentuk penghambaanmu kepada-Nya atau untuk menampakkan status kehambaanmu yang hina, lemah, dan amat membutuhkan pertolongan Tuhan. Permintaan juga bisa merupakan pelaksanaan hak-hak rububiyyah-Nya karena rububiyyah menuntut kerendahan diri dan ketundukan orang yang menyembah-Nya.
Maksudnya, Allah swt. tidak memerintahkan hamba-Nya meminta dan berdoa, kecuali untuk menampakkan rasa butuh mereka kepada-Nya dan menyatakan kehinaan dan kelemahan mereka di hadapan-Nya, bukan untuk menjadikan doa itu sebagai sebab mendapatkan permintaan dan keinginan mereka. Inilah pemahaman para 'ârifîn tentang Allah.
Siapa yang keadaannya seperti itu, permintaannya tak akan pernah terputus dan keinginannya tak akan pernah terhenti walaupun Allah selalu mewujudkan semua permintaannya dan mengaruniakan semua keinginannya. Orang seperti ini tidak pernah membeda-bedakan antara ketika Allah memberi dan ketika Allah menahan pemberian-Nya. Dengan begitu, dalam semua keadaan tersebut, ia tetap menjadi hamba Allah dan Allah pun tetap sebagai Tuhannya.
Amat buruk jika seorang hamba memalingkan wajahnya dari pintu Tuhannya setelah Dia memenuhi segala keinginannya.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar