Sabtu, 20 Oktober 2018

Kitab al-Hikam (Pasal 73-78) : Tanda-tanda Diterimanya Sebuah Amal

Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).

(Pasal 73)
1. Siapa yang merasakan buah amalnya di dunia maka itu bukti bahwa amalnya diterima di akhirat.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

YANG DIMAKSUD DENGAN "buah amal di dunia" adalah kenikmatan dalam beramal. Bila seseorang sudah merasakan nikmatnya beramal, itu berarti bahwa amal tersebut telah diterima Allah selagi masih di dunia.

Abu Turab berkata, "Jika seorang hamba tulus dalam amalnya, ia akan mendapatkan manisnya amal itu sebelum mengerjakannya. Jika ia ikhlas dalam amalnya, ia akan mendapatkan manisnya amal itu saat mengerjakannya."

Amal yang memiliki sifat-sifat seperti ini akan diterima Allah. Bila Allah telah menerima amal seorang hamba di dunia, itu adalah tanda bahwa kelak di akhirat, Dia akan memberinya pahala, sebagaimana yang akan dijelaskan.

Sekalipun telah merasakan manisnya beramal, seorang hamba tidak layak untuk terlena dan merasa bahagia terlebih dahulu. Ia juga tidak layak berharap agar amal tersebut terus berlangsung lantaran ia merasa nikmat dan mujur di dalamnya. Hal itu bisa merusak keikhlasannya dalam beribadah dan ketulusan niatnya.

(Pasal 74)
2. Jika engkau ingin mengetahui kedudukanmu di sisi Allah, perhatikanlah di mana Dia menempatkanmu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

APAKAH KAU TERMASUK orang-orang yang maqbul (diterima amalnya) dan bahagia ataukah termasuk orang-orang yang mardud (ditolal amalnya) dan menderita? Jika kau ingin tahu dirimu, perhatikan di mana Allah menempatkanmu, apakah di dalam ketaatan atau sebaliknya?.

Siapa yang termasuk orang-orang yang maqbul dan bahagia maka Allah akan mempekerjakannya dalam amal yang diridhai-Nya, berupa bermacam ketaatan. Siapa yang termasuk orang yang mardud dan menderita maka Allah akan mempekerjakannya dalam hal yang dibenci-Nya, berupa ragam pelanggaran. Ini berlaku bagi orang-orang awam. Adapun bagi orang-orang khusus (khawwash) maka kalimatnya adalah, "Jika kau ingin tahu kedudukanmu di sisi-Nya, apakah kau termasuk muqarrabin atau tidak, lihatlah di mana Allah menempatkanmu dan pengetahuan apa yang diberikan-Nya ke dalam hatimu?."

Rasulullah saw. bersabda, "Siapa yang ingin tahu kedudukannya di sisi Allah, hendaknya ia mengetahui kedudukan Allah di hatinya."

(Pasal 75)
3. Ketika Allah menganugerahimu ketaatan dan engkau merasa cukup dengan-Nya, berarti Dia telah mencurahkan nikmat-Nya, lahir dan batin.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

"KETAATAN" IALAH melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan secara lahir. Adapun makna "merasa cukup dengan-Nya" adalah kau tidak terlalu bergantung pada ketaatan itu dalam mendapatkan keinginanmu, tetapi hanya bergantung kepada Tuhanmu dan menyisihkan segala hal selain-Nya.

Jika demikian, ketahuilah bahwa Allah telah menganugerahkan segala karunia-Nya, baik yang lahir, seperti ketaatan, maupun yang batin, seperti makrifat yang mewajibkanmu untuk mengabaikan dan tidak melihat selain-Nya.

(Pasal 76)
4. Sebaik-baik yang kauminta kepada-Nya adalah apa yang Dia tuntut darimu.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

SEBAIK-BAIK PERKARA yang kauminta dari Allah adalah yang Allah minta darimu, berupa sikap istiqamah di jalan 'Ubudiyyah. Ini lebih baik bagimu daripada permintaanmu berupa nasib baik dan keinginan dunia atau akhiratmu karena itu hanyalah keuntungan bagi dirimu sendiri.

(Pasal 77)
5. Sedih karena kehilangan kesempatan berbuat ketaatan, namun tanpa disertai upaya untuk bangkit mengerjakannya, merupakan salah satu tanda ketertipuan.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

KESEDIHAN SEPERTI INI biasanya merupakan akibat ketergantungan atas sesuatu yang tidak ada wujudnya. Inilah kesedihan semu yang biasanya disertai dengan tangisan yang juga semu. Dalam pepatah disebutkan, "Berapa banyak mata yang meneteskan air mata, tetapi hati tetap keras."

Orang yang bersedih semu itu akan merasa aman dari makar Allah yang tersamar. Allah akan menahan apa yang berguna baginya dan memberi apa yang membuatnya sedih dan menangis. Dengan begitu, ia menganggap baik ahwal-nya dan menganggap dirinya berguna. Adapun kesedihan yang tulus dan bersungguh-sungguh adalah yang mendorong kepada ketaatan dan diiringi dengan tangisan yang benar. Ini adalah maqam para salik.

Abu Ali ad-Daqqaq yang selalu bersedih menuturkan bahwa ia meniti jalan Allah dalam sebulan seperti orang yang belum pernah menempuh jalan Allah selama bertahun-tahun.

(Pasal 78)
6. Tidak disebut 'arif orang yang jika memberi isyarat, ia merasa Allah lebih dekat daripada isyaratnya. Namun, orang 'arif adalah orang yang tidak mempunyai isyarat karena telah sirna dalam wujud-Nya dan lenyap dalam penyaksian terhadap-Nya.

(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).

"MEMBERI ISYARAT" ialah menunjukkan sebagian rahasia Allah dengan isyarat. "Merasa Allah lebih dekat" berarti ia merasa bahwa Allah selalu hadir bersama-Nya dan tak pernah gaib, bahkan serasa Allah memperhatikannya saat ia menunjukkan sebagian rahasia Ilahi itu.

Tentu, orang seperti ini bukanlah seorang 'arif yang sesungguhnya karena ia selalu merasa dirinya ada dan kekal. Pola pikirnya masih seperti orang yang mahjub, karena mengandaikan adanya wujud sebanyak "yang menunjukkan", wujud objek "yang ditunjukkan", dan wujud media "yang digunakan untuk menunjukkan". Selama ia sadar dengan akalnya bahwa ia sedang menunjukkan sesuatu, yaitu Allah, yang ditunjukkannya melalui media ucapan, maka artinya selama itu pula ia tidak merasa dirinya sirna dan fana karena ia belum keluar dari ranah indranya.

Isyarat lebih halus bentuknya daripada ungkapan karena ia sekadar pertanda, bukan pernyataan. Isyarat kerap digunakan oleh ahli tarekat di antara mereka saat mereka berzikir. Mereka telah dibukakan oleh Allah rahasia-rahasia tauhid, ilmu laduni, dan pengalaman-pengalaman yang didapat melalui perasaan.

Orang yang mengisyaratkan sesuatu, namun selalu memperhatikan isyaratnya walaupun ia sadar bahwa Allah lebih dekat kepadanya dan tidak gaib darinya saat ia memberi isyarat maka orang ini tidak 'arif. Ia tidak lenyap dalam penyaksian terhadap-Nya. Orang 'arif sesungguhnya ialah orang yang tampak tidak memiliki isyarat sama sekali walaupun isyarat itu terjadi darinya karena ia telah melebur dan fana dalam wujud Allah. Ia lenyap dalam penyaksian terhadap-Nya.

Maknanya, seorang 'arif sejati adalah orang yang sirna dari isyarat, yang diisyaratkan, dan alat isyaratnya. Jika terjadi isyarat darinya, ia tidak menyatakannya dan tidak merasakannya karena yang mengisyaratkan dan yang diisyaratkan saat itu hanya Allah swt. Di sini ia sedang melebur dengan penyaksian terhadap-Nya, bukan malah memisahkan diri dari sana. Maka dari itu, siapa yang melakukan hal ini, berarti ia tidak lagi akan melihat dirinya sendiri.

Syekh Yusuf al-'Ajami berkata, "Siapa yang berbicara di maqam peleburan, berarti ia seakan tidak berbicara. Yang berbicara adalah Yang Maha Haq melalui lisan hamba-Nya."

Ini sesuai dengan firman Allah dalam sebuah hadist qudsi, "Dengan-Ku, dia (hamba) mendengar, dengan-Ku pula dia melihat, dan dengan-Ku dia berbicara."

Seseorang dari mereka ditanya tentang kefanaan diri (peleburan diri). Ia menjawab, "Keagungan dan kemuliaan Allah tampak pada diri seorang hamba sehingga membuatnya lupa dunia dan akhirat, derajat dan ahwal, maqam dan zikir, dan ia merasa fana dari segala sesuatu; akalnya, dirinya, bahkan fana dari kefanaan itu sendiri sampai ia merasa tenggelam dalam keagungan Ilahi."

Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar