Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 35)
1. Pangkal segala maksiat, kelalaian, dan syahwat adalah sikap puas terhadap diri sendiri. Pangkal segala ketaatan, kesadaran, dan kesucian adalah sikap tidak puas dengan keadaan diri sendiri.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
MAKSIAT BERARTI menentang semua perintah dan larangan Allah. Kelalaian berarti hati tidak waspada dan tidak sadar tentang kehadiran Allah. Adapun syahwat berarti ketergantungan terhadap sesuatu yang menyibukkan diri dan membuat lupa dari Allah SWT.
Menurut orang-orang 'arif, sebab dari segala maksiat adalah sikap puas terhadap keadaan diri sendiri. Sikap tersebut akan selalu mendorong seseorang berusaha menutup-nutupi aib dan kesalahannya sehingga yang buruk akan dijadikannya baik. Siapa yang puas dengan keadaan dirinya akan menganggap baik semua kondisi pribadinya dan merasa nyaman dengan semua kondisi itu. Siapa yang menganggap baik semua kondisi pribadinya akan lalai dari Allah. Sehingga, hatinya tidak lagi mampu mengawasi dan mengendalikan bisikan-bisikan syahwatnya. Akibatnya, ia dikuasai oleh syahwat. Siapa yang dikuasai oleh syahwat, tentu akan mudah terjerumus pada maksiat.
Adapun ketaatan berarti melaksanakan segala perintah dan larangan Allah. Kesadaran berarti perasaan tentang kehadiran Tuhan dan hal-hal yang diridlai-Nya. Kesucian berarti ketinggian tekad dan kebersihannya dari syahwat.
Pangkal dari segala ketaatan dan kesadaran adalah sikap tidak puas dengan keadaan diri sendiri, ia tidak akan menganggap baik semua kondisinya dan tidak akan tenang dengan semua itu. Barang siapa memiliki sifat seperti ini maka ia akan selalu sadar dan waspada terhadap segala yang datang dan menyerang.
Dengan sikap waspada dan sadar ini, ia dapat menyelidiki dan mendeteksi secara dini bisikan-bisikan hatinya. Saat itu, api syahwatnya akan padam sehingga tidak bisa menguasai dirinya. Buahnya, ia akan menjadi suci. Dengan demikian, ia akan menjauhi semua larangan Allah dan menaati semua perintah-Nya. Itulah makna taat kepada Allah.
Sikap puas terhadap keadaan diri sendiri adalah sikap orang-orang yang mempelajari ilmu lahir yang tidak mau mengakui aib diri sendiri. Oleh karena itu, Ibnu Atha'illah melarang kita untuk berteman dengan orang-orang semacam ini.
(Pasal 36)
2. Berteman dengan orang bodoh yang tidak puas dengan keadaan dirinya lebih baik bagimu daripada berteman dengan orang berilmu yang puas dengan keadaan dirinya. Di mana letak berilmunya orang berilmu yang puas dengan dirinya itu? Di mana pula letak bodohnya orang bodoh yang tidak puas terhadap dirinya itu?.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
ORANG BODOH IALAH orang yang tidak memiliki ilmu lahir. Tidak puas dengan keadaan diri sendiri, misalnya dengan menganggap dirinya hina atau menyadari kekurangannya.
Tidaklah baik berteman dengan seorang yang puas dengan keadaan dirinya sendiri walaupun ia seorang yang alim (orang berilmu). Bagaimanapun, pertemanan dapat mendatangkan pengaruh yang besar padamu. Ketika kau berteman dengan alim yang sudah berpuas diri, kau bisa mendapatkan sifat buruknya sehingga ilmunya tidak berguna bagimu dalam melembutkan jiwamu. Kebodohan yang membuat orang alim puas diri itulah yang berbahaya bagimu. Seakan ia bukan orang yang berilmu karena rela dengan aib yang dimiliki dirinya.
Sebaliknya, berteman dengan orang bodoh yang tidak puas dengan keadaan dirinya lebih baik dan lebih bermanfaat bagimu. Biasanya, tabiat seseorang didapat dari tabiat orang lain; nafsu selalu terdorong untuk mengikuti orang yang dianggap baik kondisinya. Oleh karena itu, kebodohan orang bodoh tidak akan berbahaya bagimu. Namun, ilmunya yang membuatnya tidak puas terhadap keadaan dirinya justru amat berguna bagimu. Seakan ia bukan orang bodoh karena mengetahui kekurangan dirinya sampai tidak merasa puas terhadap dirinya. Dengan demikian, orang bodoh yang tahu kekurangan dirinya bisa disebut orang yang memiliki ilmu. Oleh karena itu, bergaul dengan orang bodoh seperti ini akan bermanfaat dan lebih baik bagimu.
(Pasal 37)
3. "Sinar mata hati" membuatmu menyaksikan kedekatan-Nya denganmu. "Penglihatan mata hati" membuatmu menyaksikan ketiadaanmu karena keberadaan-Nya. "Hakikat mata hati" membuatmu membuatmu menyaksikan keberadaan-Nya, bukan ketiadaanmu dan bukan pula keberadaanmu.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
SINAR MATA HATI sering disebut dengan cahaya akal dan 'ilmul yaqin. Penglihatan mata hati sering disebut dengan cahaya ilmu dan 'ainul yaqin. Hakikat mata hati sering disebut dengan cahaya kebenaran dan haqqul yaqin.
Cahaya-cahaya Ilahi tersebut akan menyinari hati seorang salik. Setiap cahaya tersebut memiliki buah dan manfaatnya sendiri-sendiri.
Seseorang berkata, "Seorang hamba tidak akan sampai pada hakikat tawadhu', kecuali saat terpancarnya cahaya musyahadah dari hatinya." Saat itu, nafsunya akan larut dan tunduk pada Sang Khalik dan bersikap rendah hati di hadapan makhluk.
Melalui hikmah ini, Ibnu Atha'illah menjelaskan bahwa orang yang terbuka dengan cahaya pertama akan merasa kedekatan Allah. Ia akan selalu sadar pengawasan Allah dan malu kepada-Nya. Ia merasa bahwa pandangan Allah tidak pernah luput darinya, baik itu di saat ia melaksanakan perintah-Nya maupun di saat menjauhi larangan-Nya.
Orang yang terbuka dengan cahaya kedua akan merasa ketiadaan segala yang wujud karena wujud Tuhan Yang Maha Haq. Ia akan melihat bahwa alam semesta ini tidak ada tidak memedulikannya lagi karena wujud alam semesta ini hanyalah akibat dari wujud Yang Maha Maujud. Wujud hakiki hanyalah milik Allah SWT. Dalam pandangannya, tak ada lagi yang dijadikan sandaran atau tempat berkeluh kesah, kecuali Allah. Ia hanya akan bertwakal kepada-Nya, ridla, dan memasrahkan diri kepada-Nya.
Sementara itu, orang yang terbuka dengan cahaya ketiga akan memiliki dzat dan jiwa yang suci. Ia akan merasa kefanaan secara total. Kefanaan yang abadi karena luluh dengan wujud Tuhannya. Rahasia-rahasia Ilahi pun terkuak di hadapannya. Jika ia naik dari kefanaan total itu, ia akan menempati maqam keabadian.
Penulis al-'Awarif berkata, "Orang yang abadi di satu maqam tidak akan dihalangi Allah dari makhluk dan tidak akan dihalangi makhluk dari Allah, sedangkan orang yang fana akan terhalangi oleh Yang Maha Haq dari makhluk."
(Pasal 38)
4. Allah telah ada dan tiada sesuatu pun di samping-Nya; kini Dia masih tetap sebagaimana ada-Nya semula.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
INI ADALAH kondisi orang yang menduduki maqam kefanaan. Ia tidak lagi melihat selain Tuhannya (musyahid). Dalam pandangannya, Tuhan masih tetap sebagaimana ada-Nya semula.
Seorang musyahid meyakini bahwa wujud hakiki hanya milik Allah SWT., sedangkan selain-Nya tidak memiliki wujud. Sifat wujud itulah yang melekat pada Allah SWT. Sekarang dan sebelum musyahid itu mengetahuinya. Ketidaktahuan musyahid tentang Tuhan sebelum itu tak lain karena adanya hijab.
(Pasal 39)
5. Jangan sampai tekadmu tertuju kepada selain-Nya karena Tuhan Yang Maha Mulia (karim) tidak mungkin akan terlampaui oleh harapan dan angan.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
JANGAN SAMPAI kau menuju kepada selain Allah dalam memenuhi kebutuhanmu. Akan tetapi, ungkapkan hajatmu kepada-Nya dan mintalah dari-Nya. Tekad yang tinggi selalu mencari pemenuhan kebutuhannya kepada sosok yang mulia; dan tak ada yang benar-benar mulia, kecuali Allah SWT. Setiap orang yang mulia, jika sudah menetapkan sesuatu, pasti akan memenuhinya; jika berjanji, akan menepatinya; jika memberi, akan menambahkan pemberiannya melebihi harapan. Dia tidak peduli berapa banyak dan kepada siapa dia memberi. Dia tidak mengurangi dan tidak pernah mengecewakan siapapun yang berlindung kepadanya. Dia akan mencukupinya dengan segala pertolongan. Sifat-sifat ini tidak dimiliki selain oleh Allah SWT. Karena itu, selayaknya harapan dan asa para pengharap tidak boleh melewatinya dan menuju kepada selain-Nya.
Ketahuilah bahwa meminta kepada makhluk dianggap bertentangan dengan 'ubudiyyah (penghambaan di hadapan-Nya) bila didasari oleh rasa bergantung pada makhluk dan lalai untuk meminta kepada Allah. Lain halnya bila permintaan tersebut diiringi dengan keyakinan bahwa makhluk yang dimintainya hanyalah wasilah (perantara), tetapi sebenarnya memberi adalah Allah sebagai satu-satunya tempat bergantung. Ini tidak bertentangan dengan 'Ubudiyyah.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar