Kitab al-Hikam Terjemah (Buku Pertama).
(Pasal 58)
1. Cahaya adalah tentara kalbu dan kegelapan adalah prajurit nafsu. Jika Allah ingin menolong hamba-Nya, Allah akan membantunya dengan bala tentara cahaya dan memutus bantuan prajurit kegelapan dan keduniaan.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
DENGAN IRINGAN TENTARA KALBU (cahaya), hati bisa sampai ke hadirat Allah dengan mudah dan selamat, sebagaimana seorang raja yang diiringi bala tentaranya menuju tujuannya, yaitu mengalahkan musuh. Inilah pengertian yang dapat kita petik dari hikmah di atas.
"Kegelapan", yang merupakan tabiat seorang hamba, dianggap sebagai bala bantuan dan prajurit nafsu yang mengiringi seorang hamba sampai kepada tujuan, yaitu meraih keduniaan.
Perang antara hati dan nafsu akan terus berlangsung sepanjang waktu. Jika Allah ingin membantu hamba-Nya mengalahkan nafsunya, Dia akan mengirim bala bantuan-Nya berupa cahaya. Jika hamba itu mendapat bantuan-Nya, ia akan menyadari keburukan syahwat yang menghambatnya untuk sampai kepada Allah. Selain itu, Allah juga akan membinasakan prajurit kegelapan dan tipuan dunia yang akan membantu nafsu.
Sebaliknya, jika Allah ingin menghinakan seorang hamba, Dia akan memberinya prajurit kegelapan. Hati yang cenderung kepada amal saleh (misalnya, ingin berbuka) akan bertempur dan saling membunuh. Saat itu, cahaya dan rahmat Allah akan segera membantu hati, sedangkan kegelapan akan menolong nafsu. Saat kedua barisan pasukan itu bertemu dan pertempuran semakin sengit, tak ada jalan lain bagi seorang hamba kecuali ia harus takut kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya. Seperti itulah yang terjadi dalam setiap amal saleh yang dikerjakannya hingga ia berhasil sampai kehadirat Allah. Saat itu, kekuasaan nafsu akan terputus dan kalah.
(Pasal 59)
2. Cahaya bisa menyingkap, mata hati dapat mengetahui, sedangkan hati bisa menerima dan menolak.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
CAHAYA YANG DIPANCARKAN Allah ke dalam hati seorang murid bisa menyibak berbagai makna dan hal gaib, seperti baiknya ketaatan dan buruknya maksiat. Mata hati bisa melihatnya. Dalam melihat makna dan hal gaib ini, mata hati membutuhkan cahaya, seperti halnya mata biasa yang membutuhkan bantuan cahaya lentera atau matahari ketika akan melihat sesuatu. Cahaya yang dibutuhkan mata hati itu adalah cahaya batin.
Selanjutnya, yang dilihat oleh mata hati itu akan diterima atau ditolak oleh hati. Jika mata hati melihat baiknya ketaatan, hati akan menerima dan mencintainya, lalu diikuti oleh seluruh anggota tubuh. Bila hati melihat buruknya maksiat, hati akan menolak dan menjauhinya, kemudian diikuti anggota tubuh yang lain.
Hikmah ini juga bisa diartikan bahwa cahaya bisa menyingkap misteri gaib, seperti rahasia takdir, atau memprediksikan apa yang akan terjadi di dunia. Setelah itu, mata hati berperan melihatnya dan hati memastikannya. Terkadang penyingkapan dan penglihatan tersebut tidak sempurna.
Oleh karena itu, seorang mukasyif (yang mampu menyingkap misteri gaib) harus memastikan terlebih dahulu apa yang disingkapkan di hadapannya itu. Ia tidak boleh beramal hanya berdasarkan apa yang disingkapkan untuknya. Ia juga tidak boleh memprediksikan sesuatu sebelum bertanya kepada hatinya, apakah hatinya itu menerima atau menolaknya. Itulah sebabnya prediksi sebagian wali ada yang tidak terjadi. Ya, karena ia tidak memastikan terlebih dahulu apa yang disingkapkan di hadapannya itu.
(Pasal 60)
3. Janganlah senang lantaran kau bisa melakukan ketaatan, tetapi senanglah lantaran ketaatan itu dikaruniakan Allah kepadamu.
"Katakanlah, 'Berkat karunia dan rahmat Allahlah hendaknya mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.'" (QS. Yunus [10]: 58).
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
JANGAN MERASA senang jika kau mampu melakukan sebuah ketaatan. Sikap seperti itu adalah sikap tercela, terlarang, dan dapat membatalkan ketaatan. Yang semestinya membuatmu senang bukanlah kemampuanmu melakukan ketaatan, tetapi karena Allah telah menganugerahkan ketaatan itu kepadamu. Inilah sikap yang terpuji dan diharapkan dari seorang hamba. Inilah bentuk kesyukuran seorang hamba atas karunia tersebut.
Ibnu Atha'illah mendasari hikmah itu atas firman Allah, "Katakanlah, 'Berkat karunia dan rahmat Allahlah hendaknya mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.'" (QS. Yunus [10]: 58).
Ketaatan yang bisa dilakukan seorang hamba merupakan bentuk perhatian dan kasih sayang Allah kepadanya. Oleh karena itu, ia patut berbahagia atas hal itu, bukan atas upayanya menjalankan ketaatan itu.
(Pasal 61)
4. Allah membuat orang-orang yang tengah menuju kepada-Nya (sa'irun) dan orang-orang yang telah sampai kepada-Nya (washilun) tidak mampu melihat amal dan keadaan (ahwal) mereka. Karena para sa'irun belum benar-benar ikhlas dalam amal mereka dan karena para washilun terlalu sibuk melihat Tuhan mereka.
(Ibnu Atha'illah al-Iskandari).
ALLAH MENGHALANGI pandangan para sa'irun dan washilun sehingga mereka tidak bisa melihat atau memperhatikan amal lahir dan ahwal hati mereka. Sekalipun sama-sama dihalangi, penyebabnya berbeda. Pandangan para sa'irun dihalangi lantaran Allah melihat hati mereka kurang hadir di hadapan-Nya saat beramal. Sementara itu, pandangan para washilun dihalangi lantaran mereka sibuk melihat Allah sehingga mereka tidak mampu melihat selain dzat-Nya.
Allah telah memberikan karunia-Nya kepada dua kelompok itu. Dia membebaskan keduanya dari ketergantungan terhadap amal dan ahwal mereka. Akan tetapi, Allah memberikan karunia-Nya kepada para salik dengan terpaksa, sedangkan kepada para sa'irun dengan sukarela. Tentu saja kedudukan yang kedua lebih tinggi daripada yang pertama.
Oleh sebab itu, al-Washiti bertanya kepada para sahabat Abu Utsman tentang apa gerangan yang diperintahkan oleh syekh mereka. Mereka menjawab, "Ia memerintahkan kami untuk senantiasa taat dan melihat atau memperhatikan kekurangan di dalam ketaatan yang kami lakukan itu."
Kemudian al-Washiti berkata, "Jika demikian, berarti dia telah memerintahkan kalian untuk mengamalkan ajaran-ajaran kaum Majusi. Maukah kalian ku perintahkan untuk mengabaikan hal itu dan lebih melihat kepada sumber alirannya langsung?" Maksudnya adalah agar mereka meninggikan tekad mereka menuju maqam orang-orang 'arif, bukan merendahkan apa yang mereka alami karena hal itu juga termasuk kebaikan.
Sumber : Kitab al-Hikam Terjemah.
Dikuatirkan amalan amalan baik..kita pertotokan keorg lain.....sepertinya sia2 itu menyebabkan riak dan sombong.
BalasHapus